Maraknya KKN dalam Penyelenggaraan Negara
Kamis, 09 Februari 2023 - 18:11 WIB
Dalam posisi perkara seperti ini maka intelijen Kejaksaan Agung harus meneliti hubungan kekerabatan atau hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah yang dicurigai diduga terlibat di dalamnya sebelum sampai pada penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggara tipikor eks Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Tahun 1999/2001.
Padahal, ketika pembentukan UU aquo, dua ketentuan di dalam UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dimaksudkan agar tidak terdapat celah hukum yang dapat meloloskan perbuatan penyelenggara negara yang bertentangn atau melanggar asas-asas umum penyelenggaraan negara, yaitu 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.
Dari ketujuh asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut dipastikan dalam setiap perkara yang merupakan mega-skandal korupsi, akan selalu terkait pada perbuatan kolusi dan nepotisme; diperkuat dengan ketentuan mengenai gratifikasi yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain terhadap perkara mega-skandal korupsi, Kejaksaan Agung dan KPK menjadi leading sector. Juga fungsi dan peranan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga intelijen, dalam aliran dana hasil pencucian uang sudah seharusnya berada di front terdepan untuk memperkuat dugaan tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas.
Hanya dengan cara tersebut, transfer aset hasil curian/korupsi tidak dapat segera dicegah sejauh mungkin melalui pembekuan (freezing) dan pemblokiran aset.
Pola penegakan hukum terhadap aset mega-skandal korupsi seharusnya merujuk pada pola jaring laba-laba, sekali terganggu semua jaring bergerak/tergerak sendirnya sehingga meningkatkan kewaspadaan lembaga penegak hukum yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membongkar jaringan dan mengidentifikasi pelaku-pelakunya.
Jangan lagi ada peristiwa memalukan yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mana rekening seorang diblokir akan tetapi kemudian terjadi kesalahan objek karena yang diblokir rekening seorang tukang becak.
Hampir dapat dipastikan bahwa baik pihak kejaksaan maupun KPK tidak fokus pada tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme, terutama pada kasus skandal megakorupsi sekalipun telah ditemukan bukti permulaan cukup atas tujuan tersebut.
Padahal, ketika pembentukan UU aquo, dua ketentuan di dalam UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dimaksudkan agar tidak terdapat celah hukum yang dapat meloloskan perbuatan penyelenggara negara yang bertentangn atau melanggar asas-asas umum penyelenggaraan negara, yaitu 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.
Dari ketujuh asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut dipastikan dalam setiap perkara yang merupakan mega-skandal korupsi, akan selalu terkait pada perbuatan kolusi dan nepotisme; diperkuat dengan ketentuan mengenai gratifikasi yang telah dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain terhadap perkara mega-skandal korupsi, Kejaksaan Agung dan KPK menjadi leading sector. Juga fungsi dan peranan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga intelijen, dalam aliran dana hasil pencucian uang sudah seharusnya berada di front terdepan untuk memperkuat dugaan tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas.
Hanya dengan cara tersebut, transfer aset hasil curian/korupsi tidak dapat segera dicegah sejauh mungkin melalui pembekuan (freezing) dan pemblokiran aset.
Pola penegakan hukum terhadap aset mega-skandal korupsi seharusnya merujuk pada pola jaring laba-laba, sekali terganggu semua jaring bergerak/tergerak sendirnya sehingga meningkatkan kewaspadaan lembaga penegak hukum yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membongkar jaringan dan mengidentifikasi pelaku-pelakunya.
Jangan lagi ada peristiwa memalukan yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mana rekening seorang diblokir akan tetapi kemudian terjadi kesalahan objek karena yang diblokir rekening seorang tukang becak.
Hampir dapat dipastikan bahwa baik pihak kejaksaan maupun KPK tidak fokus pada tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme, terutama pada kasus skandal megakorupsi sekalipun telah ditemukan bukti permulaan cukup atas tujuan tersebut.
(bmm)
tulis komentar anda