Maraknya KKN dalam Penyelenggaraan Negara
Kamis, 09 Februari 2023 - 18:11 WIB
Ancaman sanksi atas pelanggaran Pasal 21 (kolusi) diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Sedangkan ancaman pidana atas pelanggaran ketentuan tentang nepotisme, yakni dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratu juta rupiah).
Sesungguhnya upaya pemberantasan korupsi di dalam masyarakat Indonesia yang tepat dan cocok dimulai dengan pencegahan. Jika perlu dilakukan penindakan terhadap kebiasaan lama yang telah diakui sebagai budaya masyarakat (society’s culture), yakni kolusi dan nepotisme dalam bentuk gratifikasi yang sering terjadi setiap tahun baru atau tahun baru Imlek-- yang mana di dalam kegiatan penyelenggaraan negara telah dinormatifkan—agar diberi sanksi yang berat dan sama beratnya dengan betuk tindakan korupsi itu sendiri.
Kesulitan aparatur hukum menghadapi kedua tindak pidana korupsi tersebut adalah masalah pembuktian secara hukum, yakni semata-mata untuk menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan peristiwa pidana dan menetapkan siapa tersangkanya.
Satu dan lain hal disebabkan adanya “gerakan tutup mulut” (GTM) di antara pelaku yang terlibat di dalamnya. Contoh, kesulitan Kejaksaan Agung dalam kasus BTS proyek Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di mana GPL terlibat di dalam pengadaan sarana dan prasarana proyek sedangkan yang bersangkutan bukan siapa-siapa.
Dia bukan pejabat struktural Kemenkominfo atau pihak swasta, atau subkontraktor, tetapi ia memperoleh fasilitas pelayanan perjalanan ke LN dari sub-kontraktor PT swasta tersebut.
Selain perkara BTS, hal yang sama terjadi pada perkara ekspor sawit proyek Kementerian Perdagangan di mana konsultan swasta kementerian tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa tetapi majelis hakim PN Jakarta Barat telah menjatuhkan vonis dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging).
Sesungguhnya jika yang bersangkutan didakwa dengan tindak pidana kolusi dan nepotisme kemungkinan putusan pengadilan akan berbeda.
Dalam banyak hal perkara mega-korupsi terkait nilai triliunan rupiah di berbagai sektor kegiatan pemerintah telah tampak pelaku-pelaku yang berbeda dengan tipikor biasa; antara lain, pelaku mega-skandal korupsi melibatkan keluarga atau kerabat atau orang dekat dari pejabat kementerian.
Dan, hal ini secara nyata terjadi asalkan penyelidikan dilakukan dengan jeli, dan rinci serta keasabaran tinggi, tidak tergesa-gesa.
Sedangkan ancaman pidana atas pelanggaran ketentuan tentang nepotisme, yakni dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratu juta rupiah).
Sesungguhnya upaya pemberantasan korupsi di dalam masyarakat Indonesia yang tepat dan cocok dimulai dengan pencegahan. Jika perlu dilakukan penindakan terhadap kebiasaan lama yang telah diakui sebagai budaya masyarakat (society’s culture), yakni kolusi dan nepotisme dalam bentuk gratifikasi yang sering terjadi setiap tahun baru atau tahun baru Imlek-- yang mana di dalam kegiatan penyelenggaraan negara telah dinormatifkan—agar diberi sanksi yang berat dan sama beratnya dengan betuk tindakan korupsi itu sendiri.
Kesulitan aparatur hukum menghadapi kedua tindak pidana korupsi tersebut adalah masalah pembuktian secara hukum, yakni semata-mata untuk menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan peristiwa pidana dan menetapkan siapa tersangkanya.
Satu dan lain hal disebabkan adanya “gerakan tutup mulut” (GTM) di antara pelaku yang terlibat di dalamnya. Contoh, kesulitan Kejaksaan Agung dalam kasus BTS proyek Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di mana GPL terlibat di dalam pengadaan sarana dan prasarana proyek sedangkan yang bersangkutan bukan siapa-siapa.
Dia bukan pejabat struktural Kemenkominfo atau pihak swasta, atau subkontraktor, tetapi ia memperoleh fasilitas pelayanan perjalanan ke LN dari sub-kontraktor PT swasta tersebut.
Selain perkara BTS, hal yang sama terjadi pada perkara ekspor sawit proyek Kementerian Perdagangan di mana konsultan swasta kementerian tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa tetapi majelis hakim PN Jakarta Barat telah menjatuhkan vonis dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging).
Sesungguhnya jika yang bersangkutan didakwa dengan tindak pidana kolusi dan nepotisme kemungkinan putusan pengadilan akan berbeda.
Dalam banyak hal perkara mega-korupsi terkait nilai triliunan rupiah di berbagai sektor kegiatan pemerintah telah tampak pelaku-pelaku yang berbeda dengan tipikor biasa; antara lain, pelaku mega-skandal korupsi melibatkan keluarga atau kerabat atau orang dekat dari pejabat kementerian.
Dan, hal ini secara nyata terjadi asalkan penyelidikan dilakukan dengan jeli, dan rinci serta keasabaran tinggi, tidak tergesa-gesa.
tulis komentar anda