Fair Use dan Fair Dealing dalam UU Hak Cipta
Kamis, 09 Februari 2023 - 12:49 WIB
Kemala Atmojo
Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Saat ini gugatan perkara Hak Cipta semakin marak. Hal itu bisa dilihat di daftar gugatan yang ada di setiap pengadilan niaga di beberapa kota besar. Sebagai karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, hak cipta memang perlu dilindungi melalui perundang-undangan.
Sebab, secara sederhana, rasanya tidak adil bagi pencipta jika hasil kreativitasnya itu tidak mendapat perlindungan hukum apapun (prinsip keadilan). Apa yang dihasilkan oleh pencipta itu juga dapat memiliki nilai ekonomi yang dapat menunjang kehidupan pencipta dan masyarakat. Tak jarang pula dalam menciptakan sesuatu, seorang pencipta juga memerlukan investasi. Maka, hasil kreativitas itu perlu dilindungi (prinsip ekonomi).
Sebagai sebuah karya yang melibatkan cipta, rasa, karsa, ia adalah produk kebudayaan. Maka dia adalah aset nasional yang berkontribusi terhadap pembangunan budaya dan dapat mendorong penciptaan-penciptaan baru demi peradaban yang lebih baik (prinsip kebudayaan). Dan akhirnya, hak atau perlindungan hukum yang diberikan kepada seseorang atau sekolompok orang, pada dasarnya tidak semata-mata hanya untuk kepentingan mereka yang menerima saja, tetapi sebenarrnya juga untuk kepentingan seluruh masyarakat. Manusia tidak hidup sendiri. Ia selalu selalu beriteraksi dengan orang lain. Peraturan dan/atau perlindungan itu perlu agar tidak saling bertabrakan (prinsip sosial).
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kita selain memberikan hak dan perlindungan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta, juga memberikan batasan-batasan tertentu, misalnya tentang masa berlaku eksploitasi ekonomi ciptaan tertentu. Atau ada ciptaan-ciptaan tertentu yang dianggap tidak memiliki hak cipta. Hal ini agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dari sebuah ciptaan.
Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kepentingan individu pemilik hak cipta dengan kepentingan masyarakat. Penggunaan karya cipta yang bebas bayar dan bebas izin inilah yang disebut "fair use"dan "fair dealing". Jika fair use menekankan pada penggunaan untuk transformasi karya cepta, maka fair dealing lebih meruoakan pengecualian dari pelanggaran hak cipta yang diatur undang-undang. Jadi, siapapun Anda, sesuai dengan peraturan yang ada, dapat menggunakan doktrin ini untuk kepentingan tertentu atau untuk pengembangan ciptaan baru. Atau, Anda bisa gunakan sebagai argumen ketika Anda berperkara di pengadilan, misalnya.
Benar bahwa dalam UUHC kita tidak mengenal terminologi “fair use” (penggunaan yang wajar) atau “fair dealing” (pengecualian dari pelangaran hak cipta). Tetapi undang-undang kita menggunakan beberapa istilah lain yang bermakna sama. Misalnya, “Pembatasan Perlindungan”; “Tidak Ada Hak Cipta”; “Masa Berlaku Hak Cipta”, dan beberapa lainnya.
Sebagai contoh, “Pembatasan Perlindungan” Hak Cipta” yang ada di. Pasal 26. Pasal ini mengenai pembatasan perlindungan Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan, Hak Ekonomi Produsen Fonogram, dan Hak Ekonomi Lembaga Penyiaran. Pembatasan tersebut mengenai pengecualian perlindungan terhadap, misalnya, penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual.
Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Saat ini gugatan perkara Hak Cipta semakin marak. Hal itu bisa dilihat di daftar gugatan yang ada di setiap pengadilan niaga di beberapa kota besar. Sebagai karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, hak cipta memang perlu dilindungi melalui perundang-undangan.
Sebab, secara sederhana, rasanya tidak adil bagi pencipta jika hasil kreativitasnya itu tidak mendapat perlindungan hukum apapun (prinsip keadilan). Apa yang dihasilkan oleh pencipta itu juga dapat memiliki nilai ekonomi yang dapat menunjang kehidupan pencipta dan masyarakat. Tak jarang pula dalam menciptakan sesuatu, seorang pencipta juga memerlukan investasi. Maka, hasil kreativitas itu perlu dilindungi (prinsip ekonomi).
Sebagai sebuah karya yang melibatkan cipta, rasa, karsa, ia adalah produk kebudayaan. Maka dia adalah aset nasional yang berkontribusi terhadap pembangunan budaya dan dapat mendorong penciptaan-penciptaan baru demi peradaban yang lebih baik (prinsip kebudayaan). Dan akhirnya, hak atau perlindungan hukum yang diberikan kepada seseorang atau sekolompok orang, pada dasarnya tidak semata-mata hanya untuk kepentingan mereka yang menerima saja, tetapi sebenarrnya juga untuk kepentingan seluruh masyarakat. Manusia tidak hidup sendiri. Ia selalu selalu beriteraksi dengan orang lain. Peraturan dan/atau perlindungan itu perlu agar tidak saling bertabrakan (prinsip sosial).
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kita selain memberikan hak dan perlindungan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta, juga memberikan batasan-batasan tertentu, misalnya tentang masa berlaku eksploitasi ekonomi ciptaan tertentu. Atau ada ciptaan-ciptaan tertentu yang dianggap tidak memiliki hak cipta. Hal ini agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dari sebuah ciptaan.
Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kepentingan individu pemilik hak cipta dengan kepentingan masyarakat. Penggunaan karya cipta yang bebas bayar dan bebas izin inilah yang disebut "fair use"dan "fair dealing". Jika fair use menekankan pada penggunaan untuk transformasi karya cepta, maka fair dealing lebih meruoakan pengecualian dari pelanggaran hak cipta yang diatur undang-undang. Jadi, siapapun Anda, sesuai dengan peraturan yang ada, dapat menggunakan doktrin ini untuk kepentingan tertentu atau untuk pengembangan ciptaan baru. Atau, Anda bisa gunakan sebagai argumen ketika Anda berperkara di pengadilan, misalnya.
Benar bahwa dalam UUHC kita tidak mengenal terminologi “fair use” (penggunaan yang wajar) atau “fair dealing” (pengecualian dari pelangaran hak cipta). Tetapi undang-undang kita menggunakan beberapa istilah lain yang bermakna sama. Misalnya, “Pembatasan Perlindungan”; “Tidak Ada Hak Cipta”; “Masa Berlaku Hak Cipta”, dan beberapa lainnya.
Sebagai contoh, “Pembatasan Perlindungan” Hak Cipta” yang ada di. Pasal 26. Pasal ini mengenai pembatasan perlindungan Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan, Hak Ekonomi Produsen Fonogram, dan Hak Ekonomi Lembaga Penyiaran. Pembatasan tersebut mengenai pengecualian perlindungan terhadap, misalnya, penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual.
tulis komentar anda