Imlek 2023, Momentum Memulai Lembaran Baru Menjaga Keutuhan Bangsa
Senin, 30 Januari 2023 - 11:44 WIB
JAKARTA - Setiap perayaan hari besar agama maupun etnis, sebagian dari masyarakat barangkali akan mudah menemui berbagai macam perdebatan. Semisal tak perlu soal sejauh mana toleransi dan menghargai hari besar umat dan etnis lain.
Tidak terkecuali saat perayaan Imlek 2023, beberapa hari lalu, juga tidak luput dari perselisihan dan sentiment kebencian etnis ditengah kebhinekaan bangsa. Padahal, perayaan Imlek di Indonesia sejatinya merupakan salah satu bentuk rekognisi dan afirmasi negara terhadap keragaman.
Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Prof Philip Kuntjoro Widjaja menilai, sejatinya sentimen-sentimen kebencian terhadap suku, agama atau etnis tertentu sangat jauh dari spirit perayaan Imlek. Karena sejatinya Imlek sendiri membawa makna dimulainya lembaran baru, harapan, dan kesuksesan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragam.
"Jadi spirit dan makna itu kita bawakan dari tahun ke tahun kita rayakan dan kita bawa agar setiap tahun membawa harapan baru, mendapatkan spirit baru dan semangat kerja keras mewujudkan harapannya," kata Philip K Widjaja, Senin (30/1/2023).
Ia menjelaskan, perayaan imlek pada dasarnya merupakan momen suka cita kebangsaan, yang juga bisa dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama.
"Imlek sejatinya tidak tertuju pada agama tertentu. Setiap suku, agama, dan ras boleh-boleh saja merayakan Imlek, sebagaimana perayaan tahun baru Masehi, semua orang boleh merayakan. Jadi bisa dibilang Imlek ini momen sukacita untuk seluruh masyarakat Indonesia," kata pria yang juga merupakan tokoh keturunan Tionghoa ini.
Philips tidak menampik masih banyak bergulir fenomena diskriminasi dan sentimen rasis, baik secara langsung maupun di dunia maya yang kerap dihembuskan orang ataupun kelompok intoleran dan ekstremis yang alergi terhadap keragaman.
"Saya kira pada tahun berikutnya akan masih terus bergulir (sentimen dan narasi rasisme), dan isu ini dan selalu digunakan untuk kepentingan tertentu yang perlu menggulirkan ini yang dulu kita sebut SARA. Karena suku dan agama itu adalah isu yang gampang sekali digulirkan," katanya.
Lulusan Kennedy Western University ini menilai setidaknya ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap daya tangkal masyarakat yang mudah terprovokasi oleh narasi intoleran yang memecah-belah. Ketiganya adalah pendidikan, kesejahteraan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Tidak terkecuali saat perayaan Imlek 2023, beberapa hari lalu, juga tidak luput dari perselisihan dan sentiment kebencian etnis ditengah kebhinekaan bangsa. Padahal, perayaan Imlek di Indonesia sejatinya merupakan salah satu bentuk rekognisi dan afirmasi negara terhadap keragaman.
Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Prof Philip Kuntjoro Widjaja menilai, sejatinya sentimen-sentimen kebencian terhadap suku, agama atau etnis tertentu sangat jauh dari spirit perayaan Imlek. Karena sejatinya Imlek sendiri membawa makna dimulainya lembaran baru, harapan, dan kesuksesan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragam.
"Jadi spirit dan makna itu kita bawakan dari tahun ke tahun kita rayakan dan kita bawa agar setiap tahun membawa harapan baru, mendapatkan spirit baru dan semangat kerja keras mewujudkan harapannya," kata Philip K Widjaja, Senin (30/1/2023).
Ia menjelaskan, perayaan imlek pada dasarnya merupakan momen suka cita kebangsaan, yang juga bisa dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama.
"Imlek sejatinya tidak tertuju pada agama tertentu. Setiap suku, agama, dan ras boleh-boleh saja merayakan Imlek, sebagaimana perayaan tahun baru Masehi, semua orang boleh merayakan. Jadi bisa dibilang Imlek ini momen sukacita untuk seluruh masyarakat Indonesia," kata pria yang juga merupakan tokoh keturunan Tionghoa ini.
Philips tidak menampik masih banyak bergulir fenomena diskriminasi dan sentimen rasis, baik secara langsung maupun di dunia maya yang kerap dihembuskan orang ataupun kelompok intoleran dan ekstremis yang alergi terhadap keragaman.
"Saya kira pada tahun berikutnya akan masih terus bergulir (sentimen dan narasi rasisme), dan isu ini dan selalu digunakan untuk kepentingan tertentu yang perlu menggulirkan ini yang dulu kita sebut SARA. Karena suku dan agama itu adalah isu yang gampang sekali digulirkan," katanya.
Lulusan Kennedy Western University ini menilai setidaknya ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap daya tangkal masyarakat yang mudah terprovokasi oleh narasi intoleran yang memecah-belah. Ketiganya adalah pendidikan, kesejahteraan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan.
tulis komentar anda