Mengapa Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?
Jum'at, 27 Januari 2023 - 17:19 WIB
Begitu juga sebenarnya untuk para kandidat potensial namun tidak cukup populer, mereka masih memiliki peluang masuk dalam parlemen jika menggunakan sistem tertutup. Dengan kata lain, sistem tertutup memberikan peluang yang lebih besar bagi kalangan perempuan, minoritas dan mereka yang layak namun kurang populer.
Selain itu, sistem tertutup ini memberikan peluang yang lebih besar bagi partai, khususnya pimpinan partai, untuk melakukan kontrol dan disiplin yang lebih ketat kepada seluruh caleg.
Pimpinan partai dengan kewenangannya sebagai penentu akhir daftar caleg dapat lebih mudah mengarahkan dan memberikan sanksi kepada caleg, sehingga terbangun sebuah soliditas yang tinggi, karena caleg memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pimpinan. Sistem tertutup dengan demikian lebih menjamin kontrol dan soliditas partai.
Mengapa Sistem ini Layak Ditinggalkan?
Salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem tertutup adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya. Sistem ini cenderung kurang menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.
Sebaliknya, caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami orang-orang ataupun wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan. Bisa jadi dengan berbagai pertimbangan, ketua umum partai menempatkan seorang caleg di daerah yang “terasing” buat seorang caleg, dan juga buat para pemilih.
Dengan kata lain, hakikat saling mengenal dan membangun sebuah kontrak sosial dalam makna sebagai wakil rakyat tidak terbangun kokoh. Padahal kedekatan itu adalah sayarat utama dari terlaksananya hakikat “perwakilan rakyat” yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri. Dalam sistem tertutup makna “perwakilan” menjadi ambigu, karena bisa jadi caleg lebih mewakili (kepentingan) partai ketimbang konsituennya.
Selain itu, sistem tertutup kurang mendorong atau “memaksa” caleg untuk membangun komunikasi yang intens kepada masyarakat di dapilnya, untuk dapat dikenal dan meyakinkan mereka agar terpilih.
Caleg cenderung kurang proaktif, karena akhirnya lebih memilih memastikan posisinya di hadapan pimpinan ketimbang di hadapan para pemilih. Situasi ini tidak saja mengukuhkan situasi teralienasinya masyarakat dan wakilnya, namun juga terbengkalainya pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik hingga pendidikan politik. Yang sebenarnya justru dapat dilakukan secara massif (oleh para celeg) pada masa kampanye, jika dilakukan dalam skema terbuka.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada akhirnya sistem tertutup tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan “intervensi konstituen” dalam turut menentukan siapa anggota legislatif yang dipandang mereka sebagai sosok yang benar-benar dekat dan mewakili aspirasinya. Karena terbuka peluang para kandidat yang disukai masyarakat itu tidak berada dalam nomor urut jadi yang disusun oleh pimpinan parpol.
Selain itu, sistem tertutup ini memberikan peluang yang lebih besar bagi partai, khususnya pimpinan partai, untuk melakukan kontrol dan disiplin yang lebih ketat kepada seluruh caleg.
Pimpinan partai dengan kewenangannya sebagai penentu akhir daftar caleg dapat lebih mudah mengarahkan dan memberikan sanksi kepada caleg, sehingga terbangun sebuah soliditas yang tinggi, karena caleg memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pimpinan. Sistem tertutup dengan demikian lebih menjamin kontrol dan soliditas partai.
Mengapa Sistem ini Layak Ditinggalkan?
Salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem tertutup adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya. Sistem ini cenderung kurang menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.
Sebaliknya, caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami orang-orang ataupun wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan. Bisa jadi dengan berbagai pertimbangan, ketua umum partai menempatkan seorang caleg di daerah yang “terasing” buat seorang caleg, dan juga buat para pemilih.
Dengan kata lain, hakikat saling mengenal dan membangun sebuah kontrak sosial dalam makna sebagai wakil rakyat tidak terbangun kokoh. Padahal kedekatan itu adalah sayarat utama dari terlaksananya hakikat “perwakilan rakyat” yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri. Dalam sistem tertutup makna “perwakilan” menjadi ambigu, karena bisa jadi caleg lebih mewakili (kepentingan) partai ketimbang konsituennya.
Selain itu, sistem tertutup kurang mendorong atau “memaksa” caleg untuk membangun komunikasi yang intens kepada masyarakat di dapilnya, untuk dapat dikenal dan meyakinkan mereka agar terpilih.
Caleg cenderung kurang proaktif, karena akhirnya lebih memilih memastikan posisinya di hadapan pimpinan ketimbang di hadapan para pemilih. Situasi ini tidak saja mengukuhkan situasi teralienasinya masyarakat dan wakilnya, namun juga terbengkalainya pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik hingga pendidikan politik. Yang sebenarnya justru dapat dilakukan secara massif (oleh para celeg) pada masa kampanye, jika dilakukan dalam skema terbuka.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada akhirnya sistem tertutup tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan “intervensi konstituen” dalam turut menentukan siapa anggota legislatif yang dipandang mereka sebagai sosok yang benar-benar dekat dan mewakili aspirasinya. Karena terbuka peluang para kandidat yang disukai masyarakat itu tidak berada dalam nomor urut jadi yang disusun oleh pimpinan parpol.
tulis komentar anda