Lulusan Akpol Terbaik 2010 Jadi Pertimbangan Meringankan Tuntutan Irfan Widyanto
Jum'at, 27 Januari 2023 - 16:07 WIB
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut selama satu tahun penjara terhadap terdakwa dugaan kasus obstruction of justice kematian Brigadir J, Irfan Widyanto . Dalam tuntutannya itu, ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan jaksa.
"Hal meringankan, terdakwa pernah mengabdi pada negara dan pernah berprestasi sebagai penerima penghargaan Adimakayaksa atau lulusan Akpol Terbaik tahun 2010 sehingga diharapkan bisa memperbaiki perilakunya di kemudian hari, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, dan terdakwa masih muda, serta mempunyai tanggungan keluarga," ujar Jaksa di persidangan, Jumat (27/1/2023).
Adapun hal memberatkan Irfan Widyanto dalam tuntutannya itu, kata JPU, Irfan merupakan perwira Polri yang seharusnya mempunyai pengetahuan yang lebih, terutama terkait tugas dan kewenangan dalam kegiatan penyidikan dan tindakan terhadap barang-barang yang berhubungan dengan tindak pidana. Terdakwa merupakan salah satu penyidik aktif di Dirtipidum Bareskrim Polri yang seharusnya menjadi contoh bagi penyidik lainnya.
"Namun, terdakwa malah turut serta dalam perbuatannya, menyalahi ketentuan perundang-undangan, dan memgakibatkan terganggunya sistem elektronik dan atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tak bekerja sebagaimana mestinya," tuturnya.
Jaksa juga membeberkan perihal alasan-alasan tak terpenuhinya penerapan alasan pembenar atau alasan pemaaf bagi terdakwa Irfan dalam perkara tersebut terkait ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Bahwa kedatangan terdakwa ke lokasi, TKP Duren Tiga Nomor 46 didasarkan dari perintah saksi Ari Cahya Nugaraha yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menyuruh terdakwa pergi ke TKP.
"Bahwa memang benar saksi Ari Cahya Nurgraha merupakan atasan langsung terdakwa pada Dirtipidum Bareskrim Polri, namun saksi Ari Cahya Nugraha tak mempunyai kewenangan terkait peristiwa pidana di TKP ataupun terkait kewenangan Paminal yang mana faktanya bahkan saksi Ari Cahya Nugraha tak pernah melaporkan kedatangannya di TKP pada tanggal 8 Juli 2022 pada pembuna fungsionalnya, baik pada Kasubdit maupun pada Dirtipidum," jelasnya.
Sehingga, lanjut JPU, perintah Ari Cahya Nugraha yang dia berikan pada terdakwa di luar tupoksi dan kewenangan terkait jabatan yang dimilikinya. Lalu, berdasarkan ukuran-ukuran objektif, saksi Ari Cahya Nugraha maupun saksi Agus Nurpatria pada terdakwa tak memenuhi keabsahan secara objektif sehingga asalan pembenar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) tak terpenuhi dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa.
"Perbuatan terdakwa tak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (2). Dapat diketahui tak ada paksaan terhadap terdakwa, memiliki itikad baik secara objektif sehingga alasan pemaaf pun tak terpenuhi dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa," kata JPU lagi. Baca juga:
Maka itu, tambah JPU, tak diketemukannya alasan pembenar dan pemaaf, terdakwa harus dianggap sebagai orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
"Hal meringankan, terdakwa pernah mengabdi pada negara dan pernah berprestasi sebagai penerima penghargaan Adimakayaksa atau lulusan Akpol Terbaik tahun 2010 sehingga diharapkan bisa memperbaiki perilakunya di kemudian hari, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, dan terdakwa masih muda, serta mempunyai tanggungan keluarga," ujar Jaksa di persidangan, Jumat (27/1/2023).
Adapun hal memberatkan Irfan Widyanto dalam tuntutannya itu, kata JPU, Irfan merupakan perwira Polri yang seharusnya mempunyai pengetahuan yang lebih, terutama terkait tugas dan kewenangan dalam kegiatan penyidikan dan tindakan terhadap barang-barang yang berhubungan dengan tindak pidana. Terdakwa merupakan salah satu penyidik aktif di Dirtipidum Bareskrim Polri yang seharusnya menjadi contoh bagi penyidik lainnya.
"Namun, terdakwa malah turut serta dalam perbuatannya, menyalahi ketentuan perundang-undangan, dan memgakibatkan terganggunya sistem elektronik dan atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tak bekerja sebagaimana mestinya," tuturnya.
Jaksa juga membeberkan perihal alasan-alasan tak terpenuhinya penerapan alasan pembenar atau alasan pemaaf bagi terdakwa Irfan dalam perkara tersebut terkait ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Bahwa kedatangan terdakwa ke lokasi, TKP Duren Tiga Nomor 46 didasarkan dari perintah saksi Ari Cahya Nugaraha yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menyuruh terdakwa pergi ke TKP.
"Bahwa memang benar saksi Ari Cahya Nurgraha merupakan atasan langsung terdakwa pada Dirtipidum Bareskrim Polri, namun saksi Ari Cahya Nugraha tak mempunyai kewenangan terkait peristiwa pidana di TKP ataupun terkait kewenangan Paminal yang mana faktanya bahkan saksi Ari Cahya Nugraha tak pernah melaporkan kedatangannya di TKP pada tanggal 8 Juli 2022 pada pembuna fungsionalnya, baik pada Kasubdit maupun pada Dirtipidum," jelasnya.
Sehingga, lanjut JPU, perintah Ari Cahya Nugraha yang dia berikan pada terdakwa di luar tupoksi dan kewenangan terkait jabatan yang dimilikinya. Lalu, berdasarkan ukuran-ukuran objektif, saksi Ari Cahya Nugraha maupun saksi Agus Nurpatria pada terdakwa tak memenuhi keabsahan secara objektif sehingga asalan pembenar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) tak terpenuhi dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa.
"Perbuatan terdakwa tak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (2). Dapat diketahui tak ada paksaan terhadap terdakwa, memiliki itikad baik secara objektif sehingga alasan pemaaf pun tak terpenuhi dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa," kata JPU lagi. Baca juga:
Maka itu, tambah JPU, tak diketemukannya alasan pembenar dan pemaaf, terdakwa harus dianggap sebagai orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
(kri)
tulis komentar anda