Dialektika Mega-Jokowi

Jum'at, 01 Mei 2015 - 07:50 WIB
Dialektika Mega-Jokowi
Dialektika Mega-Jokowi
A A A
Tajuk KORAN SINDO berjudul ”Megawati dan Jokowi ” (13/4/2015) menyajikan banyak hal. Anomali intrik kekuasaan yang ditata serampangan.

Presiden yang rikuh dan Megawati yang dominan. Semua dikemas dalam sorotan media penuh interpretasi. Publik pun dibuat curious, menganga dan bertanya-tanya. Ada apa sesungguhnya di antara kedua tokoh politik satu partai ini? KORAN SINDO memberikan kritik halus yang penting diperhatikan. Jokowi dan Megawati disarankan kembali duduk bersama.

Keduanya mesti mendiskusikan platform politik Nawacita yang dulu mereka tawarkan sepanjang kampanye. Kesenjangan das sein dan das solen selama lima bulan terakhir ini telah menggerogoti wibawa Presiden.

Menurunkan rating kredibilitas Presiden Jokowi yang disanjung setinggi langit selama musim kampanye. Lebih fatal lagi, serangkaian blunder kebijakan yang dibuat menjadikannya teralienasi dari konstituennya, termasuk PDIP, pilar politik yang memperjuangkannya.

Megasentris

Salah satu dari banyak hal yang menarik diulas untuk menjelaskan tafsiran tajuk KORAN SINDO adalah sikap dan pengaruh Megawati. Dari sekilas gesture yang selalu diperlihatkan Presiden Jokowi ketika berada di sekitar Mega, Ketua PDIP itu terekspos sangat dominan dan mobis .

Megawati tidak menggubris Jokowi ketika duduk di sampingnya pada saat Kongres PDIP baru lalu. Bahkan sebagai presiden pun Jokowi tidak diberi kesempatan berpidato. Sesuatu yang selama ini sebenarnya telah menjadi tradisi ketika presiden RI hadir dalam berbagai perhelatan sebuah parpol.

Persoalannya, sikap Mega terhadap Jokowi, khususnya atas keputusan-keputusan politik maupun kebijakan pemerintah yang diambil Jokowi, lebih banyak dipertontonkan seperti drama. Ada intrik, agitasi, kompetisi internal, by pass, pengkhianatan, stubbornness , pembusukan, power game, dan lain-lain.

Dari serangkaian peristiwa politik yang mempertautkan kepentingan maupun kedudukan keduanya, Megawati jarang atau tidak pernah tampil ke depan menjelaskan concern, keberatan, atau pandangan-pandangannya. Kalaupun dilakukan, hal itu selalu melalui orang ketiga, pengurus partai, orang kepercayaan, atau putrinya sendiri.

Sebaliknya, Jokowi hanya menyinggungnya ketika ditanya media dengan keterangan minimal. Bahasa yang digunakan Jokowi pun tipikal khas dia: guyon dan bercanda. Hal itu membuat absensi politik Megawati—sikapnya yang diam dan pasif—sedikit agak terbantu tertutupi oleh gaya politik populis Jokowi yang disukai publik.

Sebenarnya, untuk menyudahi ”unnecessary error” dan ”exhausted drama” antara kedua tokoh politik, termasuk pula dengan figur-figur politik lain, sikap interaktif Megawati terhadap Presiden Jokowi harusnya lebih terbuka dan komunikatif. Pengertian terbuka tidak harus diartikan selalu dilakukan di hadapan publik atau media.

Tetapi arahnya lebih terbuka kepada Presiden dan tidak mendiamkannya ketika terjadi miskomunikasi ataupun keputusan yang tidak dapat mereka terima. Bagaimanapun, Presiden Jokowi tidak dapat ”dipaksa” untuk bersikap akomodatif atau outreach terhadap seluruh kepentingan partai politik. Karena semua itu sudah memiliki saluran tersendiri di parlemen dan KIH sebagai ruling coalition .

Lagi pula, sebagai presiden, Jokowi tidak lagi menjadi representasi kekuasaan PDIP, melainkan telah menjadi milik dan aset seluruh rakyat Indonesia. Kecenderungan Megasentris yang membayangi pemerintahan Jokowi mesti dikikis. Jika pun tidak dapat dikurangi, Mega mesti meletakkan kontrolnya terhadap kekuasaan Jokowi tetap sebagai parpol biasa.

Sama dengan parpol lain, baik di KIH ataupun KMP. Bukan sebagai perwujudan refleksi relasi ketua partai dan petugas partai. Bila ini terjadi, Mega hanya membuat double jeopardy bagi dirinya, maupun terhadap popularitas dan kredibilitas Presiden.

Trust Deficit

Heboh munculnya istilah ”the messenger ”, ”menusuk dari belakang”, ”sembelih” dan petugas partai terus menambah kekisruhan dialektika kekuasaan Megawati dan Jokowi. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jika kekisruhan itu justru bukan akibat buruknya komunikasi politik keduanya. Publik pun sebenarnya mesti fair terhadap Mega atau Jokowi.

Kita juga harus memberikan benefit of the doubt. Bisa jadi hubungan dingin tercipta di luar kontrol mereka. Tetapi dikarenakan power play yang sengaja dimainkan atau setting yang diciptakan oleh spin doctor di sekitar Megawati ataupun Jokowi. Ucapan Presiden soal ”the messenger ” menyiratkan hal tersebut.

Dipastikan bahwa kekisruhan berlarut-larut seperti ini hanya mengebiri efektivitas Presiden dalam menjalankan agenda-agenda yang dipercayakan rakyat kepadanya. Jokowi memerlukan ruang manuver yang tenang untuk mewujudkan janji-janjinya. Megawati harus memberikan ketenangan atmosfer yang dibutuhkan, termasuk menghindari uneasiness yang timbul akibat kompleksitas hubungan tersebut.

Dominasi penguatan kontrol PDIP terhadap aktivitas Presiden tidak boleh lagi dilakukan secara careless dan provokatif. Sebagai seorang figur politik baru di tingkat nasional, turbulensi kekuasaan hanya akan membuat kenaifan atau karutmarut pemerintahan Jokowi menjadi lebih terekspos.

Sebaliknya, dukungan dan confidence kita terhadap Jokowi jangan terus digerus oleh blunder kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya ataupun Presiden sendiri. Hal itu hanya akan melanggengkan ”trust deficit” yang akan sangat memengaruhi sikap bersama publik vis-a-vis Jokowi, baik bagi yang berafiliasi maupun oposisi.

Penting bagi Jokowi untuk bersikap prudent , hati-hati, dan cautious dalam menjalankan kekuasaannya. Semakin noisy urusan di sekitar Jokowi, semakin tinggi probabilitas terjadinya gaffe politik yang berimplikasi pada kepercayaan publik. Cara mengelola hubungan yang rumit dengan Mega ataupun para pentolan koalisi KIH, termasuk KMP, adalah test case terhadap masa depan dan kesinambungan kekuasaan Jokowi.

Manajemennya bukan lagi bertumpu pada trial and error . Kekuasaan yang diraih sejak awal sudah sarat pertarungan. Maka kelanggengannya sangat tergantung pada konsistensi righteous path yang ditempuh Jokowi dan koalisi politiknya. Kepercayaan publik sebagai fondasi paling utama dari koalisi itu menjadi satu-satunya legitimasi yang dapat menyelamatkan keterpurukan tersebut.

Kapitalisasinya tidak dapat digantikan oleh manuver politik apa pun, termasuk pencitraan yang sudah telanjur dipahami publik sebagai klise . Baik Jokowi maupun Megawati, tidak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan reputasi mereka berdua. Reputasi itu juga akan sangat menentukan masa depan PDIP sebagai partai wong cilik dalam ajang pemilu mendatang.

Nilai plusminus kepemimpinan mereka tidak akan mudah dilupakan konstituen. Hanya dengan cara itu publik akan belajar dalam memilih rasionalitas politik terbaik yang dapat mewakili, memperjuangkan, dan menjaga kepentingan mereka sebagai pemegang kedaulatan negeri ini.

Muhammad Takdir
Policy Scenario Analyst di Swiss
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8380 seconds (0.1#10.140)