Resonansi Pesan KAA

Jum'at, 24 April 2015 - 08:36 WIB
Resonansi Pesan KAA
Resonansi Pesan KAA
A A A
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Peringatan Ke-60 Konferensi Asia-Afrika (KAA) berakhir Jumat (24/4) di Kota Bandung. Kota yang menjadi penanda sejarah inisiatif kerja sama negara-negara di Asia dan Afrika pada 1955.

Bagi Indonesia, inisiatif ini pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif yang dicanangkan sejak 1948. Ini selaras dengan landasan konstitusi yang mengamanatkan agar Indonesia berpartisipasi dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan pilar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pesan kuat saat itu, KAA menjadi afiliasi baru sekaligus penyeimbang di tengah tarik-menarik duaraksasadanpemainbesardunia yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Konferensi ini menjadi ”rahim” Gerakan Nonblok, sebagai afiliasi yang cukup diperhitungkan saat itu.

Sekarang akankah gagasan Pesan Bandung (Bandung Message) dan beragam keputusankeputusan lain yang dibuat selama KAA kali ini memiliki resonansi atau gaung di kancah dunia internasional?

Prinsip Dasar

Ada tiga dokumen yang menjadi target capaian KAA ke- 60 yakni Pesan Bandung (Bandung Message), Kerja Sama Strategis Asia-Afrika (New Asian-African Strategic Partnership ), dan dokumen pengakuan atas kemerdekaan Palestina.

Tentu saja, semua butir-butir turunan pada tiga dokumen tersebut mengacu pada tiga pilar bahasan yakni solidaritas politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial. Solidaritas politik menjadi sangat mendasar untuk digaungkan kembali saat ini. Masyarakat global harus diingatkan ulang pada pesan kuat yang sempat bergema dari Dasasila Bandung.

Kini bobot pesan Dasasila Bandung harusnya diperkuat dalam konteks yang lebih operasional dan diselaraskan dengan dinamika kontemporer di negara- negara Asia dan Afrika maupun di kancah dunia. Pesan Bandung harus menjadi poin penting bagi kiprah negara-negara di Asia dan Afrika.

Misalnya konflik Laut China Selatan yang menyebabkan ketegangan hubungan Jepang dengan China serta beberapa negara lain di Asia harus segara diatasi. Secara psikologis, ketegangan akibat konflik semacam ini melemahkan solidaritas politik dan kerja sama antarnegara.

Pun demikian, persoalan-persoalan menyangkut konflik perbatasan seperti pernah dialami Indonesia dan Malaysia juga sangat mungkin terjadi di banyak negara lain harus diselesaikan melalui caracara damai dan beradab bukan dengan kekerasan. Kerja sama ekonomi juga haruslebihoperasionaldalamagenda- agenda yang jelas dan prioritas yang tegas.

Misalnya pemerintahan Indonesia harus turut mengambil inisiatif terarah dari apa yang diwacanakan Jokowi dalam pidato pembukaan KAA, Kamis (23/4). Poin menarik pidato Jokowi ada pada kritik tajamnya soal pengelolaan ekonomi dunia yang tak bisa diserahkan hanya pada tiga lembaga keuangan internasional yakni International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Asia Development Bank (ADB).

Pesan Jokowi, kita wajib membangun sebuah tata ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatankekuatan ekonomi baru. Jokowi mendesak dilakukan reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain. Kendati demikian, langkah strategis apa yang harus dilakukan negara-negara Asia-Afrika dalam melawan atau mengurangi dominasi tiga lembaga keuangan internasional tersebut? Lantas, di mana peran Indonesia dalam reformasi arsitektur keuangan global tersebut?

Penjelasan detil soal ini belum kita temukan dalam penjelasan pidato Jokowi maupun penjelasan para menterinya. Hubungan sosial pun kondisi objektifnya masih terganggu akibat kekuasaan hegemonik negara- negara maju. Secara faktual masih sering terjadi negaranegara kaya merasa mudah mengubah dunia dengan kekuasaannya.

Ini menyebabkan ketidakseimbangan global, terlebih di banyak kasus PBB juga tak berdaya dalam memfasilitasi penyelesaian beragam sengketa dan perselisihan antarnegara. Terutama karena ada tekanan negara-negara adikuasa.

Peran Indonesia

Indonesia harus mengoptimalkan kemauan dan kemampuan dalam menjawab tantangan global ini. Jika Indonesia berperan signifikan dalam memfasilitasi solidaritas politik, kerja sama ekonomi dan efektifnya afiliasi negara-negara Asia- Afrika, bukan mustahil Indonesia akan kembali disegani di kawasan baik Asia maupun Afrika.

Ada sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan Pemerintah Indonesia memiliki visi-misi dan strategi yang jelas, terarah, serta adaptif dengan konteks perubahan. Tahun ini Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community).

Masyarakat Ekonomi ASEAN ini bertujuan untuk memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs). Kesepakatan yang dirancang sejak 2003 oleh para pemimpin 10 negara ASEAN ini tentu saja memberi peluang sekaligus tantangan bagi kesiapan Indonesia untuk mengikutinya dengan percaya diri dan peran optimal, bukan semata-mata siap menjadi pasar dan penonton.

Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara sehat di berbagai bidang. Di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini, Indonesia belum tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah.

Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis. Keberadaan Indonesia dianggap hanya menjadi kanal kepentingan negara-negara ekonomi maju. Dengan spirit KAA, harusnya Indonesia tampil lebih percaya diri.

Afiliasi negara-negara di Asia dan Afrika menjadi modal pendorong Indonesia bisa berdiri sama tegak dengan negara-negara maju. Di berbagai forum atau kerja sama internasional, Indonesia harus mengambil inisiatif untuk menggaungkan suara Indonesia dan agenda-agenda strategis afiliasi Asia-Afrika.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0549 seconds (0.1#10.140)