Rakyat Tak Butuh Hak Angket
A
A
A
DINATALIA R GURNING
Mahasiswi Jurusan Ilmu Jurnalistik,
Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Padjadjaran
Panitia Hak Angket DPRRI dan DPRD DKI Jakarta sudah harus dipertanyakan kinerjanya. Ibarat bermain pedang, hak penyelidikan ini sudah dihunus ke semua arah.
Mari mengakui bahwa penggunaan hak angket yang selama ini dilakukan bukan sematamata didasari keinginan mulia anggota Dewan untuk mengawasi jalan pemerintahan. Tak bisa ditampik, muncul anggapan bahwa hak angket dimanfaatkan sebagai media balas dendam politik.
Anggapan tersebut menemukan pembenaran kala Panitia Angket memanggil istri Ahok yang sama sekali tak berkaitan dengan sengketa APBD. Begitu pun dengan perihal hak angket menkum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Di bawah kepemimpinan Agung, Partai Golkar resmi hengkang dari kelompok politik Koalisi Merah Putih (KMP).
Mayoritas masyarakat, seperti terekam dalam sejumlah hasil survei, menyatakan hak angket tak dibutuhkan. Hasil polling yang diadakan Lingkaran Survei Indonesia misalnya, sebanyak 60,77% masyarakat percaya Ahok berkomitmen dalam menjalankan pemerintahan bersih. Tugas utama dewan tidak optimal. Fungsi anggaran masih beraroma transaksi politik.
Kepentingan rakyat dipinggirkan dalam sengketa yang akhirnya buntu ini. DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal membangun konsensus. APBD 2015 mestinya berlaku sejak 1 Januari hingga 31 Desember. Kenyataannya, hingga April 2015, DKI belum memiliki APBD sahih sehingga realisasi triwulan pertama kosong melompong.
Amat jelas kepentingan rakyat Jakarta dinomorduakan dan diganti sajian tontonan kekisruhan para wakil rakyat yang terhormat di parlemen. Kelompok legislatif terkesan hanya memperjuangkan kepentingan kelompok politik masing-masing. Pertikaian kelompok politik elite hanya menciptakan kebisingan bagi telinga masyarakat.
Rakyat menyeru, baik kepada DPRD DKI Jakarta pun Ahok, agar selalu sadar bahwa esensi dari kekuasaan adalah untuk kepentingan rakyat. Biarkanlah keputusan menkum dan HAM berjalan di jalurnya, menjadi urusan hukum yang tak perlu ditarik ke politik. Pegal kalau mendengar para elite politik saling bertarung, saling melapor, saling menuding.
Masih banyak pekerjaan lain yang lebih bermanfaat untuk ditangani anggota dewan. Negara ini butuh langkah bijak dan cara cerdas dari para politikus ketimbang trik-trik politik sesaat yang tak elegan. Bangsa ini jenuh dengan semua kegaduhan yang tidak memberi manfaat. Sudah saatnya politikus Indonesia memberikan kesejukan dan harapan bagi rakyatnya.
Mahasiswi Jurusan Ilmu Jurnalistik,
Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Padjadjaran
Panitia Hak Angket DPRRI dan DPRD DKI Jakarta sudah harus dipertanyakan kinerjanya. Ibarat bermain pedang, hak penyelidikan ini sudah dihunus ke semua arah.
Mari mengakui bahwa penggunaan hak angket yang selama ini dilakukan bukan sematamata didasari keinginan mulia anggota Dewan untuk mengawasi jalan pemerintahan. Tak bisa ditampik, muncul anggapan bahwa hak angket dimanfaatkan sebagai media balas dendam politik.
Anggapan tersebut menemukan pembenaran kala Panitia Angket memanggil istri Ahok yang sama sekali tak berkaitan dengan sengketa APBD. Begitu pun dengan perihal hak angket menkum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Di bawah kepemimpinan Agung, Partai Golkar resmi hengkang dari kelompok politik Koalisi Merah Putih (KMP).
Mayoritas masyarakat, seperti terekam dalam sejumlah hasil survei, menyatakan hak angket tak dibutuhkan. Hasil polling yang diadakan Lingkaran Survei Indonesia misalnya, sebanyak 60,77% masyarakat percaya Ahok berkomitmen dalam menjalankan pemerintahan bersih. Tugas utama dewan tidak optimal. Fungsi anggaran masih beraroma transaksi politik.
Kepentingan rakyat dipinggirkan dalam sengketa yang akhirnya buntu ini. DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal membangun konsensus. APBD 2015 mestinya berlaku sejak 1 Januari hingga 31 Desember. Kenyataannya, hingga April 2015, DKI belum memiliki APBD sahih sehingga realisasi triwulan pertama kosong melompong.
Amat jelas kepentingan rakyat Jakarta dinomorduakan dan diganti sajian tontonan kekisruhan para wakil rakyat yang terhormat di parlemen. Kelompok legislatif terkesan hanya memperjuangkan kepentingan kelompok politik masing-masing. Pertikaian kelompok politik elite hanya menciptakan kebisingan bagi telinga masyarakat.
Rakyat menyeru, baik kepada DPRD DKI Jakarta pun Ahok, agar selalu sadar bahwa esensi dari kekuasaan adalah untuk kepentingan rakyat. Biarkanlah keputusan menkum dan HAM berjalan di jalurnya, menjadi urusan hukum yang tak perlu ditarik ke politik. Pegal kalau mendengar para elite politik saling bertarung, saling melapor, saling menuding.
Masih banyak pekerjaan lain yang lebih bermanfaat untuk ditangani anggota dewan. Negara ini butuh langkah bijak dan cara cerdas dari para politikus ketimbang trik-trik politik sesaat yang tak elegan. Bangsa ini jenuh dengan semua kegaduhan yang tidak memberi manfaat. Sudah saatnya politikus Indonesia memberikan kesejukan dan harapan bagi rakyatnya.
(bbg)