Mendidik Penguasa
A
A
A
Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”
Begitulah yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jejak Langkah . Ide ini tentu saja menarik bukan karena rakyat hobinya berdemonstrasi, tapi karena mereka selalu menjadi korban kekisruhan politik dan perlakuan negara yang lalim.
Ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, rakyat hanya diberi tahu mana yang terbaik untuknya tanpa pernah dilibatkan langsung menjadi subjek atau menjadi orientasi para penguasa dalam pembuatan kebijakan. Yang ada di pikiran kebanyakan penguasa saat ini hanyalah nafsu kuasa dan melanggengkan kekuasaan itu selamanya.
Hal itu bisa terjadi karena selama ini penguasa dipahami sebagai pendidik andal. Mereka berasal dari kalangan terdidik dengan segala gelarnya yang Mahaagung. Adapun rakyat ialah sekumpulan orang mayor bernada minor karena minimnya kalangan terdidik. Oleh karena itu, para penguasa yang mengemudikan negara ini menjadi superior dan antikritik.
Pemahaman di atas mengisyaratkan kedangkalan berpikir. Perlu diingat, negara hadir karena adanya rakyat. Maka sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk hadir ke tengah rakyat. Negara harus melindungi, mencerdaskan, dan memastikan rasa aman mereka. Namun yang dipahami tentang negara bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Negara ialah mereka yang suka menembak, memukul, mengambil yang bukan haknya, bersikap sewenang-wenang .
Andai saja negara tetap bersikukuh dengan sikapnya yang arogan itu, di sinilah letak rakyat bersikap. Rakyat butuh ikhtiar lebih dibandingkan hanya diam dan mendiamkan penguasa. Rakyat harus mulai berorganisasi dan berjejaring bersama gerakan-gerakan sosial yang ada di masyarakat dengan lebih serius; rakyat harus mulai membaca koran ataupun buku-buku tebal yang dikarang para filsuf dan berani menulis di koran-koran serta berargumen di muka umum.
Semua itu dilakukan dalam rangka memengaruhi opini publik bahwa penguasa sedang mabuk. Rakyat tak perlu menggulingkan penguasa. Rakyat hanya perlu mengingatkan penguasa bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Rakyat harus berani mendidik penguasa dengan perlawanan yang bijak.
Sebagai penutup, sekali lagi, kami ingin mengutip pernyataan Pramoedya bahwa kata dongeng: negeri itu memasyhurkan, menjunjung, dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Kami ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan. Mari mendidik penguasa!
Alfath B P EL Nur Indonesia
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, Kepala Departemen Kajian Strategis Dema Fisipol
Begitulah yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jejak Langkah . Ide ini tentu saja menarik bukan karena rakyat hobinya berdemonstrasi, tapi karena mereka selalu menjadi korban kekisruhan politik dan perlakuan negara yang lalim.
Ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, rakyat hanya diberi tahu mana yang terbaik untuknya tanpa pernah dilibatkan langsung menjadi subjek atau menjadi orientasi para penguasa dalam pembuatan kebijakan. Yang ada di pikiran kebanyakan penguasa saat ini hanyalah nafsu kuasa dan melanggengkan kekuasaan itu selamanya.
Hal itu bisa terjadi karena selama ini penguasa dipahami sebagai pendidik andal. Mereka berasal dari kalangan terdidik dengan segala gelarnya yang Mahaagung. Adapun rakyat ialah sekumpulan orang mayor bernada minor karena minimnya kalangan terdidik. Oleh karena itu, para penguasa yang mengemudikan negara ini menjadi superior dan antikritik.
Pemahaman di atas mengisyaratkan kedangkalan berpikir. Perlu diingat, negara hadir karena adanya rakyat. Maka sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk hadir ke tengah rakyat. Negara harus melindungi, mencerdaskan, dan memastikan rasa aman mereka. Namun yang dipahami tentang negara bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Negara ialah mereka yang suka menembak, memukul, mengambil yang bukan haknya, bersikap sewenang-wenang .
Andai saja negara tetap bersikukuh dengan sikapnya yang arogan itu, di sinilah letak rakyat bersikap. Rakyat butuh ikhtiar lebih dibandingkan hanya diam dan mendiamkan penguasa. Rakyat harus mulai berorganisasi dan berjejaring bersama gerakan-gerakan sosial yang ada di masyarakat dengan lebih serius; rakyat harus mulai membaca koran ataupun buku-buku tebal yang dikarang para filsuf dan berani menulis di koran-koran serta berargumen di muka umum.
Semua itu dilakukan dalam rangka memengaruhi opini publik bahwa penguasa sedang mabuk. Rakyat tak perlu menggulingkan penguasa. Rakyat hanya perlu mengingatkan penguasa bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Rakyat harus berani mendidik penguasa dengan perlawanan yang bijak.
Sebagai penutup, sekali lagi, kami ingin mengutip pernyataan Pramoedya bahwa kata dongeng: negeri itu memasyhurkan, menjunjung, dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Kami ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan. Mari mendidik penguasa!
Alfath B P EL Nur Indonesia
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, Kepala Departemen Kajian Strategis Dema Fisipol
(ftr)