Romansa Politik Oportunis
A
A
A
Bi dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ada dua kata utama, yaitu hardware dan software. Berbicara kecanggihan software ataupun aplikasi, seolah mengingatkan kita pada adagium klasik mengenai ”harga menentukan kualitas”.
Namun rupanya kini tidak lagi seperti itu. Sejalan dengan substansi demokrasi elektoral, ”kualitas ditentukan oleh popularitas”. Paling tidak ini merepresentasikan dua hal penting, pertama pada adagium klasik kualitas masih dihargai dengan menjaminnya melalui stratum harga, kedua di era demokratisasi apa yang disebut harga menjadi apriori dan tersisihkan oleh popularitas.
Ilustrasi tersebut menggambarkan dalam pergolakan politik Indonesia saat ini, hardware diumpamakan seperti negara itu sendiri dan berbagai macam partai politik diumpamakan sebagai software. Janji-janji politik saat kampanye adalah bentuk branding untuk sekadar menawarkan kepada rakyat untuk memilih ”software ” di tampuk pemerintahan.
Tapi kecewa menjadi hal yang lumrah ketika pembeli mendapati bahwa harapan tidak sesuai dengan retorika iklan yang tertera di kotak kemasan. Begitulah trik pedagang culas guna mendapatkan untung besar. Inilah politik oportunis, sebuah ungkapan untuk memaknai kepentingan politik yang bukan lagi berdasarkan pengabdian, tetapi sebagai sebuah kepentingan untuk mencari duniawi.
Negara menjadi sapi perah, hukum yang dijalankan tumpul ke atas, proses politik tidak berlaku kalau sudah menyangkut nenek renta, proses politik hanya sibuk pada urusan ”cicak buaya” yang kalau dipikir-pikir bukan mencari keadilan, tetapi pembenaran.
User yang cerdas harus cermat dalam memilih software yang berkualitas, bukan hanya berpatokan pada rating, tetapi pilih yang memang betul-betul menjawab kebutuhan fungsi komputasi. Harus diakui, tulisan ”barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” kadang menjengkelkan kalaulah ternyata konten barang tidak sesuai ekspektasi.
Dan apa boleh buat jika telanjur membeli, yang penting software tersebut masih bisa menerima aplikasi- aplikasi lain dan berharap tidak mudah terkena virus yang justru merusak sistem.
Tauchid Komara Yuda
Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI
Namun rupanya kini tidak lagi seperti itu. Sejalan dengan substansi demokrasi elektoral, ”kualitas ditentukan oleh popularitas”. Paling tidak ini merepresentasikan dua hal penting, pertama pada adagium klasik kualitas masih dihargai dengan menjaminnya melalui stratum harga, kedua di era demokratisasi apa yang disebut harga menjadi apriori dan tersisihkan oleh popularitas.
Ilustrasi tersebut menggambarkan dalam pergolakan politik Indonesia saat ini, hardware diumpamakan seperti negara itu sendiri dan berbagai macam partai politik diumpamakan sebagai software. Janji-janji politik saat kampanye adalah bentuk branding untuk sekadar menawarkan kepada rakyat untuk memilih ”software ” di tampuk pemerintahan.
Tapi kecewa menjadi hal yang lumrah ketika pembeli mendapati bahwa harapan tidak sesuai dengan retorika iklan yang tertera di kotak kemasan. Begitulah trik pedagang culas guna mendapatkan untung besar. Inilah politik oportunis, sebuah ungkapan untuk memaknai kepentingan politik yang bukan lagi berdasarkan pengabdian, tetapi sebagai sebuah kepentingan untuk mencari duniawi.
Negara menjadi sapi perah, hukum yang dijalankan tumpul ke atas, proses politik tidak berlaku kalau sudah menyangkut nenek renta, proses politik hanya sibuk pada urusan ”cicak buaya” yang kalau dipikir-pikir bukan mencari keadilan, tetapi pembenaran.
User yang cerdas harus cermat dalam memilih software yang berkualitas, bukan hanya berpatokan pada rating, tetapi pilih yang memang betul-betul menjawab kebutuhan fungsi komputasi. Harus diakui, tulisan ”barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” kadang menjengkelkan kalaulah ternyata konten barang tidak sesuai ekspektasi.
Dan apa boleh buat jika telanjur membeli, yang penting software tersebut masih bisa menerima aplikasi- aplikasi lain dan berharap tidak mudah terkena virus yang justru merusak sistem.
Tauchid Komara Yuda
Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI
(ftr)