Jatah Daerah di Mahakam
A
A
A
Jalan PT Pertamina (persero) mengambil alih Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari operator Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation semakin licin.
Pemerintah memastikan perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah itu menjadi operator baru pada 1 Januari 2018, menyusul berakhirnya kontrak blok migas tersebut pada akhir 2017. Pemerintah menjamin tidak akan ada pengurangan sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI.
Keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam pada Pertamina telah memunculkan beberapa persoalan yang harus segera diantisipasi. Di antaranya persiapan masa transisi operasional. Pada saat transisi pengalihan produksi blok migas tersebut diharapkan tetap konstan, sementara waktu transisi termasuk sangat singkat.
Lainnya, penyediaan sumber pembiayaan, apakah sepenuhnya menjadi tanggungan 100% Pertamina atau tetap menggandeng perusahaan lain yang sudah banyak menyatakan berminat bergabung. Dalam urusan mitra bisnis, pemerintah menyerahkan sepenuhnya pada manajemen salah satu perusahaan penyumbang dividen terbesar ke negara itu untuk memutuskannya.
Kendati demikian, pemerintah mengusulkan memberi prioritas kepada operator lama yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Pertimbangannya, dua penguasa Blok Mahakam yang segera berakhir masa kontraknya lebih memahami dan menguasai pengelolaan blok migas itu. Pekan ini dijadwalkan penandatanganan head of agreement (HoA) untuk memasuki masa transisi pengolahan.
Selain penyiapan masa transisi dan pembiayaan yang mendapat perhatian penuh dari pemerintah, persoalan jatah kepemilikan saham pemerintah daerah (participating interest) tak bisa diabaikan. Suara tuntutan dari daerah kini terus bergema yang meminta jatah kepemilikan saham di atas 10%. Bila merujuk pada Peraturan Pemerintah (Perppu) No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas, pemerintah daerah mendapatkan hak partisipasi sekitar 10%. Masalahnya, perppu tersebut ditujukan pada blok migas baru.
Adapun blok migas perpanjangan belum ada ketentuan yang mengatur berapa jatah saham pemerintah daerah. Nah, kalau kebijakan soal saham jatah daerah tidak mendapat kesepakatan bulat, bisa jadi ganjalan yang memperlambat pengalihan blok migas tersebut. Sebelumnya Indonesian Resource Studies sudah melayangkan petisi yang bertajuk, ”Blok Mahakam untuk Rakyat” kepada Kementerian ESDM.
Intinya, meminta pemerintah berperan aktif mengendalikan dan menjamin penyerahan 10% saham Blok Mahakam kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten( Pemkab) KutaiKertanegara. Selainitu, memintapemerintah menertibkan oknum pejabat yang mencari keuntungan dengan menggiring opini publik agar asing dapat memiliki saham Blok Mahakam.
Menyambut penggantian operator blok migas tersebut, pemerintah daerah setempat rupanya sudah pasang kuda-kuda sedini mungkin. Sebuah badan usaha milik daerah (BUMD) sudah terbentuk yakni PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Masalahnya, pemerintah daerah hanya bermodalkan badan usaha, namun tidak memiliki dana untuk membayar saham yang diminta.
Kabarnya, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sudah membuka pintu untuk sebuah perusahaan swasta yakni PT Yudhistira Bumi Energi (YBM) yang siap menutupi semua biaya yang muncul untuk pengalihan saham 10% itu. Bagaimana dengan pola bagi hasilnya? Karena dana pembelian saham sepenuhnya ditanggung YBM, berhak mengantongi 75% dan MPP kebagian sekitar 25%.
Pihak pemerintah daerah mengklaim sebagai perjanjian bisnis yang saling menguntungkan karena sama sekali tak mengeluarkan anggaran. Meski demikian, tetap harus diwaspadai jangan sampai pihak swasta hanya membonceng untuk meraih keuntungan. Pola kerja sama mirip ini sudah dipraktikkan pada pengambilalihan saham Newmont Nusa Tenggara, pemda menggandeng swasta dengan porsi bagi hasil 25% : 75%.
Semua pembiayaan ditanggung swasta. Sangat disayangkan, jatah pemda yang diperuntukkan kesejahteraan rakyat sangat kecil.
Pemerintah memastikan perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah itu menjadi operator baru pada 1 Januari 2018, menyusul berakhirnya kontrak blok migas tersebut pada akhir 2017. Pemerintah menjamin tidak akan ada pengurangan sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI.
Keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam pada Pertamina telah memunculkan beberapa persoalan yang harus segera diantisipasi. Di antaranya persiapan masa transisi operasional. Pada saat transisi pengalihan produksi blok migas tersebut diharapkan tetap konstan, sementara waktu transisi termasuk sangat singkat.
Lainnya, penyediaan sumber pembiayaan, apakah sepenuhnya menjadi tanggungan 100% Pertamina atau tetap menggandeng perusahaan lain yang sudah banyak menyatakan berminat bergabung. Dalam urusan mitra bisnis, pemerintah menyerahkan sepenuhnya pada manajemen salah satu perusahaan penyumbang dividen terbesar ke negara itu untuk memutuskannya.
Kendati demikian, pemerintah mengusulkan memberi prioritas kepada operator lama yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Pertimbangannya, dua penguasa Blok Mahakam yang segera berakhir masa kontraknya lebih memahami dan menguasai pengelolaan blok migas itu. Pekan ini dijadwalkan penandatanganan head of agreement (HoA) untuk memasuki masa transisi pengolahan.
Selain penyiapan masa transisi dan pembiayaan yang mendapat perhatian penuh dari pemerintah, persoalan jatah kepemilikan saham pemerintah daerah (participating interest) tak bisa diabaikan. Suara tuntutan dari daerah kini terus bergema yang meminta jatah kepemilikan saham di atas 10%. Bila merujuk pada Peraturan Pemerintah (Perppu) No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas, pemerintah daerah mendapatkan hak partisipasi sekitar 10%. Masalahnya, perppu tersebut ditujukan pada blok migas baru.
Adapun blok migas perpanjangan belum ada ketentuan yang mengatur berapa jatah saham pemerintah daerah. Nah, kalau kebijakan soal saham jatah daerah tidak mendapat kesepakatan bulat, bisa jadi ganjalan yang memperlambat pengalihan blok migas tersebut. Sebelumnya Indonesian Resource Studies sudah melayangkan petisi yang bertajuk, ”Blok Mahakam untuk Rakyat” kepada Kementerian ESDM.
Intinya, meminta pemerintah berperan aktif mengendalikan dan menjamin penyerahan 10% saham Blok Mahakam kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten( Pemkab) KutaiKertanegara. Selainitu, memintapemerintah menertibkan oknum pejabat yang mencari keuntungan dengan menggiring opini publik agar asing dapat memiliki saham Blok Mahakam.
Menyambut penggantian operator blok migas tersebut, pemerintah daerah setempat rupanya sudah pasang kuda-kuda sedini mungkin. Sebuah badan usaha milik daerah (BUMD) sudah terbentuk yakni PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Masalahnya, pemerintah daerah hanya bermodalkan badan usaha, namun tidak memiliki dana untuk membayar saham yang diminta.
Kabarnya, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sudah membuka pintu untuk sebuah perusahaan swasta yakni PT Yudhistira Bumi Energi (YBM) yang siap menutupi semua biaya yang muncul untuk pengalihan saham 10% itu. Bagaimana dengan pola bagi hasilnya? Karena dana pembelian saham sepenuhnya ditanggung YBM, berhak mengantongi 75% dan MPP kebagian sekitar 25%.
Pihak pemerintah daerah mengklaim sebagai perjanjian bisnis yang saling menguntungkan karena sama sekali tak mengeluarkan anggaran. Meski demikian, tetap harus diwaspadai jangan sampai pihak swasta hanya membonceng untuk meraih keuntungan. Pola kerja sama mirip ini sudah dipraktikkan pada pengambilalihan saham Newmont Nusa Tenggara, pemda menggandeng swasta dengan porsi bagi hasil 25% : 75%.
Semua pembiayaan ditanggung swasta. Sangat disayangkan, jatah pemda yang diperuntukkan kesejahteraan rakyat sangat kecil.
(ars)