Internet, Kontroversi, dan Otoritas

Sabtu, 11 April 2015 - 10:32 WIB
Internet, Kontroversi,...
Internet, Kontroversi, dan Otoritas
A A A
Kebijakan blokir puluhan situs Islam yang dituding radikal akhir Maret 2015 ini telah memancing kontroversi berkepanjangan.

Pada saat National Telecommunication & Information Administration (NTIA) Department of Commerce AS (mbah-nya internet) sudah mengalihkan pengurusan atau pelaksanaan fungsi-fungsi internet assigned numbers authority (IANA) kepada komunitas internet global, Indonesia malah mencoba mengungkunginya dengan kebijakan blokir.

Sebagian tanggung jawab NTIA yang kini dialihkan oleh Pemerintah AS adalah menyangkut peranan prosedural maupun administrasi database yang berisi daftar nama dan seluruh top-level domain (TLD). Kini dampak pengalihan itu misalnya mulai terlihat dalam pengurusan internet`s domain name system (DNS) yang saat ini dikoordinasikan oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Mungkin langkah itu ibaratnya memiliki motivasi kepentingan serupa dengan kebijakan blokir situs terlarang dilatari oleh keinginan menggelindingkan gagasan single roof yang bertanggung jawab penuh terhadap penanganan DNS.

Mengelola Kontroversi

Tantangan tersebut sesungguhnya sebagian besar merupakan respons terhadap upaya yang harus dilakukan komunitas internasional dalam menangani tantangan global internet governance (IG). Pemanfaatan internet kini menjadi sangat sensitif. Sebelumnya tidak banyak memperoleh perhatian internasional karena semua menikmati internet secara bebas hingga kemudian muncul kasus Edward Snowden.

Tokoh ini dituduh telah membocorkan dokumen paling sensitif milik lembaga intelijen AS, CIA, melalui situs terbuka internet. Unsur public policy internet mulai gencar mengemuka dalam dua tahun terakhir ini pascakasus Snowden. Sisi kontroversinya menyajikan perspektif tentang siapa sesungguhnya yang dinilai patut bertanggung jawab terhadap registrasi situs-situs kontroversial.

Contohnya, Amazon.com yang memperoleh penolakan dari banyak negara Amerika Latin (karena mengklaim nama yang menjadi kredit geografis negara-negara di kawasan itu) atau Islam.com yang mengatasnamakan klaim keyakinan tertentu maupun situssitus lainnya.

Apalagi kecenderungan kebijakan otoritatif tertentu kini condong dikembangkan untuk mengawasi aktivitas online pengguna internet yang selanjutnya memicu perdebatan serius antara zona kebebasan dan privasi internet maupunaspek security-nya.

Sejujurnya terlepas dari kontroversi yang mengitarinya satu hal yang dikhawatirkan adalah industri itu berkembang di tengah kekosongan apa yang disebut “one global internet multi-stakeholder model“.

Sebuah model yang berwenang terhadap operasionalisasi internet, baik secara teknis maupun ekonomis dan politis. Bagaimanapun, pengelolaan akuntabilitas terhadap internet atau DNS nanti diperkirakan akan lebih banyak didominasi oleh sisi politis (kasus blokir situs radikal) daripada segi operasionalisasinya (secara teknis).

Secara prinsipil harus diakui bahwa dalam prosesnya, tidak satu pun pihak dapat mengontrol internet sehingga membutuhkan pengelolaan yang mesti bersifat “mutual space “. Di tengah kekosongan “internet governance platform“, komunitas internasional jelas memerlukan suatu protocol parameter yang menjamin tidak ada benturan antara kebebasan berekspresi atau privasi internet dan sense of security.

Karena itu, konsep IG yang progresif harus bersifat terbuka, participatory, saling menguntungkan, serta menciptakan inisiatif yang bersifat enabler dan solusi pada setiap desain platform IG.

Satu Otoritas

Kini saatnya industri internet yang sangat multidimensional merumuskan cara dan lembaga single roof yang akan melakukan fungsi-fungsi yang layaknya dipikul oleh IANA. Proses transisi yang dibuka lebar oleh NTIA menjelang kontraknya dengan ICANN berakhir tahun ini adalah tahap terakhir dari privatisasi DNS sebagaimana telah dijabarkan Pemerintah AS pada 1997 (dirintis oleh Wapres AS, Al Gore).

ICANN sesungguhnya memiliki kedudukan yang unik dan patut dicermati dengan baik. Berdasarkan posisinya saat ini sebagai kontraktor yang melakukan fungsi-fungsi IANA dan koordinator global untuk DNS, ICANN mestinya segera merintis proses yang menyiapkan atau merumuskan rencanarencana ke depan dalam transition plan tersebut.

Unsur yang dapat diajak merumuskan single authoritative itu setidaknya dapat diidentifikasi sebagai bagian kolaboratif dari pengembangan proposal itu (selain unsur negara tentunya) antara lain Internet Engineering Task Force (IETF), Internet Architecture Board (IAB), Internet Society (ISOC), Regional Internet Registries (RIRs), para operator TLD, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Terlepas dari agenda ICANN yang relatif ambisius, proses menuju perumusan platform yang bersifat terbuka tampaknya akan berada pada titik krusial. Ini sejalan dengan dinamika politik di AS. Seperti dipahami, sebagian besar politisi AS dari Partai Republik tidak menyetujui dilepasnya peran pengaturan internet atau DNS yang selama ini dilakukan NTIA kepada komunitas multistakeholder.

Jika Partai Republik bersikeras memaksakan penolakannya di Kongres dan Senat, gagasan IG akan mengalami tekanan politik yang cukup serius. Diindikasikan, sebagian pentolan Partai Republik menolak pengebirian peran NTIA sebagaimana diprakarsai Partai Demokrat. Mereka pun kabarnya segera mengajukan RUU Dot.Com Bill yang akan mengkaji kembali kebijakan tersebut.

Langkah itu pun berpotensi memberikan implikasi signifikan terhadap keseluruhan proses yang telah dirintis ICANN. Bagi Indonesia, perdebatan platform IG sama pentingnya dengan isu freedom of expression atau privasi internet pada satu sisi serta arti keamanan pada sisi lainnya.

Dengan sekitar 200 internet service provider (ISP) serta 71 juta pengguna internet yang diproyeksikan pemerintah menjadi 110 juta tahun ini, masalah kenyamanan dan keamanan internet (termasuk arti ekonomisnya) mesti menjadi salah satu kepentingan strategis yang perlu di-nurture paralel dengan proses ICANN.

Apalagi industri jasa internet di Indonesia menghasilkan keuntungan yang ditaksir bernilai Rp3 miliar dalam setiap dua menit. Artinya, industri ini menyimpan potensi keuntungan Rp90 miliar setiap jamnya. Kebijakan blokir situs sama kisruhnya dengan kontroversi salah satu penahanan ISP, pemegang jaringan internet di Indonesia yang dituntut di pengadilan beberapa waktu lalu.

Kecenderungan itu dapat mengancam sustainability jasa internet sehingga cukup menjadi alarming bagi pemerintah untuk segera memperkuat pengaturan IG. Kemenkominfo sebagai regulator telekomunikasi bersama dengan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), serta Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia (APJII) harus mampumenangkap peluang itu untuk menjadi leading dalam isu platform IG.

Peran mereka diharapkan muncul sebagai referensi dalam setiap kebijakan yang terkait industri internet di tingkal lokal maupun global. Perumusan kebijakan yang lebih maju di bidang ini tentu sangat diperlukan mengingat industri yang tergantung pada IG yang baik dan sehat juga tergolong sangat luas.

Sektornya tersebar mulai dari industri perbankan, bursa saham, pusatpusat komersial, online trading, situs informasi, social media, instant messaging, dan lain lain. Twitter yang kini telah membuka kantornya di Indonesia patut menjadi pertanda betapa industri dan market size internet di Indonesia sangat menjanjikan.

Muhammad Takdir
Policy Scenario Analyst, Tinggal di Swiss
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2067 seconds (0.1#10.140)