Mengembalikan Khitah Politisi

Selasa, 07 April 2015 - 08:41 WIB
Mengembalikan Khitah Politisi
Mengembalikan Khitah Politisi
A A A
Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno dalam bukunya berjudul Menggapai Indonesia Merdeka memberikan harapan pada partai untuk kemajuan suatu peradaban.

Menurutnya, partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau sehingga menjadi jalan terang. Kendati demikian, partai tak akan dapat menjalankan fungsi semestinya apabila tidak ada politisi.

Dalam literatur Yunani kuno politisi dikenal dengan bersih moralnya, memiliki kompetensi, bertanggung jawab, dan dicintai oleh rakyatnya (konstituen). Kaitannya dengan ini, Plato berpandangan bahwa pemimpin seharusnya sosok seorang filsuf yang mampu melihat ke depan, berpikir rasional, dan mencintai kebijaksanaan. Demikian khitah politisi sesungguhnya.

Namun, saat ini justru sebaliknya. Politisi yang diharapkan menjadi problem solver justru menjadi problem maker. Ia justru memperkeruh masalah hingga tidak berkesudahan. Realitas ini dapat terlihat pada maraknya politisi yang tersangkut kasus korupsi, konflik DPRD dan Pemda DKI Jakarta, konflik internal partai sehingga terbelah sesuai dengan kubu ini dan kubu itu, dan berbagai masalah lainnya.

Tak ayal, mereka hanya menjadi penonton budiman. Pimpinan KPK dan aktivis antikorupsi yang dengan gigih melawan pemberantasan korupsi dikriminalisasi, tetapi mereka hanya menyimak. Seorang nenek tua bernama Asyani yang tidak mengerti hukum harus menghadapi jeruji besi sebagai buah kriminalisasi dibiarkan berjuang sendiri.

Apabila keberadaan para politisi demikian tetap dibiarkan, tunggulah saatnya partainya akan ditinggalkan oleh rakyat yang semakin cerdas. Berdasarkan segudang masalah di atas membuat politisi harus kembali kepada khitahnya.

Pertama, politisi harus merumuskan dan mempertegas kembali posisinya. Posisi politisi adalah hamba rakyat yang senantiasa melakukan kerja-kerja semata demi rakyat bukan demi golongannya.

Kedua, membongkar paradigma dan redefinisi peran serta fungsi politisi yang sebenarnya. Proses pembongkaran ini sebagai upaya menentukan posisi sejati politisi di mata rakyat dan mempertegas visi profetiknya yaitu keberpihakan pada cita-cita menyejahterakan rakyat.

Dua poin diatas penting untuk dilakukan sebagai jalan untuk mengembalikan khitah politisi yang sejatinya. Politisi harus berani melakukan evaluasi dan perbaikan bila tidak ingin dicap oleh rakyat Indonesia sebagai pengkhianat amanah rakyat. Wallahu aWallahu alam.

M Syamsul Arifin
Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi, Aktivis HMIUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3259 seconds (0.1#10.140)