Menuju Indonesia Hebat
A
A
A
Sudah selayaknya bangsa Indonesia muncul sebagai salah satu bangsa yang dihormati oleh bangsa manapun. Bagaimana tidak, kekayaannya begitu melimpah dan sumber daya manusianya juga banyak yang unggul. Pada dasarnya, Indonesia mempunyai persyaratan yang hampir sempurna untuk menjadi bangsa sekaligus negara yang kuat dan terhormat.
Namun demikian, badai problem begitu gencar menerpa Indonesia. Praktikpraktik korupsi menjadi perilaku abadi yang sampai kini terus menguras kekayaan negara. Keserakahan para elite politik menjadikan rakyat hidup serba kesusahan. Lebih parahnya lagi, agenda penyejahteraan rakyat tidak dinomorsatukan, tetapi dinomorsekiankan yang entah nomor berapa.
Anies Baswedan, salah seorang tokoh bangsa ini mempunyai keseriusan teramat tinggi yang berusaha untuk membebaskan Indonesia dari berbagai kekangan problematika nasional. Melalui bukunya yang berjudul Merawat Tenun Kebangsaan; Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan ini, dia bersuara menyatakan pendapatnya untuk rekonstruksi bangsa yang sebenarnya sangat mempunyai potensi untuk menjadi negara hebat.
Problem republik ini sangat kompleks. Untuk bisa keluar dari berbagai problematika tersebut, harus ada penguraian satu per satu sehingga semuanya bisa dituntaskan. Sementara, dalam buku ini Anies mengurai tiga hal pokok, yakni tentang kepemimpinan, demokrasi, dan pendidikan. Dari ketiga hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet kepemerintahan 2014-2019 ini memaparkan berbagai detailnya.
Dimulai dari persoalan kepemimpinan, Anies memaparkan bahwa sebenarnya di republik ini masih terdapat banyak sosok yang berjiwa pemimpin. Pada dasarnya orang-orang yang berjiwa pemimpin tetapi jujur, amanah, dan baik di republik ini tidak terlalu susah dicari. Hanya saja, mereka itu berdiri tidak di atas panggung politik. Pemimpin yang ingin dilihat rakyat adalah yang tidak mengejar penghormatan, tetapi yang menjaga kehor-matan.
Penghormatan bisa dipanggungkan dan bisa dibeli, karenanya mudah didapat. Namun, kehormatan tidak untuk diperjualbelikan. Pemi-pin yang gagasan dan langkahnya terhormat, dengan sendirinya akan dapat kehormatan. Mencari rujukan tentang pemimpin itu sesungguhnya mudah. Ada terlalu banyak contoh pemimpin di sekitar kita. Di republik ini, masih amat banyak pemimpin yang solid, yang keteladanannya jadi rujukan, yang gagasannya diikuti, yang langkahnya menginspirasi.
Masalahnya adalah banyak dari mereka justru tidak berada di panggung penting republik ini. Di panggungpanggung penting justru sering ditemui orang-orang berkuasa tanpa kepemimpinan. (halaman 62). Itulah masalahnya. Para pemimpin justru memimpin dengan tangan dingin dan mementingkan penghormatan dirinya. Sementara, kepentingan rakyat diabaikan begitu saja tanpa mengagendakan aksi-aksi yang prorakyat.
Jikalau ada agenda yang prorakyat, justru dibumbui dengan mengejar citra, sehingga yang ada adalah mengejar penghormatan. Negara ini merupakan negara demokrasi. Artinya, memilih pemimpin itu melalui mekanisme yang demokratis. Sayang sekali, sistem demokrasi justru disalahgunakan oleh para elite politik sehingga demokrasi di republik ini seolah menjadi topeng untuk memenuhi kepentingan segelintir oknum dan mengabaikan rakyat banyak.
Sistem demokrasi yang terlihat di republik ini sepertinya hanya ketika menjelang pemilu dan ketika pemilu berlangsung. Hal itu dikarenakan bahwa pemilu menjadi lambang demokrasi, bahwa pemimpin itu dipilih dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hanya saja, para kandidat pemimpin (mulai dari caleg hingga capres) justru sibuk mengumbar janji dan entah janji itu akan menjadi realisasi atau tidak.
Hiruk-pikuk menjelang pemilu ini adalah “demam demokrasi” yang biasa menjangkiti negaranegara yang menjalankan demokrasi. Fenomena ini mirip demam sepak bola yang menjangkiti dunia setiap empat tahun sekali. Setiap putaran final piala dunia sepak bola, ribuan penggemar dari berbagai belahan dunia membayar ribuan dolar untuk ongkos pesawat, hotel, dan tiket masuk agar bisa menyaksikan pertandingan dari dekat.
Selain itu, ratusan juta penggemar di seluruh dunia juga menonton melalui televisi. (halaman 101). Fenomena ini menarik karena para pendukung benar-benar total memberikan dukungan mereka. Fenomena ini menjadi relevan dengan kampanye pemilu dan demokrasi di Indonesia. Ketika kampanye, para pendukung caloncalon tertentu memberikan dukungan mereka bahkan secara fanatik.
Dengan demikian, bisa dimunculkan pertanyaan kritikan: siapa mendapat apa dan mengapa? (hlm. 102). Untuk berbagai problem kepemimpinan dan demokrasi yang terkait erat dengan politik, di republik ini panggung politiknya justru diisi oleh oknum-oknum terpelajar tetapi sepertinya mereka tidak terdidik. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana mereka bersikap dan membuat kebijakan.
Mereka cerdas, tetapi hati nurani mereka hilang. Dengan begitu, untuk menyelamatkan republik ini di masa depan adalah menyiapkan generasi penerus yang terpelajar sekaligus terdidik. Hal ini menjadi PR dalam ranah pendidikan nasional. Sungguh, republik ini harus segera menyiapkan sebuah rekayasa masa depan melalui pendidikan. Republik ini tidak bisa mendiamkan proses terbentuknya struktur yang menghalangi tersedianya pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negeri ini harus membayar lunas janji kemerdekaan untuk seluruh anak bangsa; munculnya generasi baru yang cerdas dan sejahtera. (halaman 200). Akhirnya, dengan membaca buku berjudul Merawat Tenun Kebangsaan; Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan ini, para pembaca diajak untuk segera beraksi menuju kemajuan.
Setidaknya, hal itu harus dimulai dari diri sendiri karena untuk mengubah yang banyak, harus terlebih dahulu mengubah yang sedikit. Jika perubahan itu dilakukan secara terus-menerus tanpa patah semangat, maka perubahan menuju arah yang lebih baik akan terealisasi. Dan, Indonesia akan tampil di pentas dunia sebagai bangsa dan negara yang hebat.
Lusiana Dewi
Pembaca buku, tinggal di Cirebon
Namun demikian, badai problem begitu gencar menerpa Indonesia. Praktikpraktik korupsi menjadi perilaku abadi yang sampai kini terus menguras kekayaan negara. Keserakahan para elite politik menjadikan rakyat hidup serba kesusahan. Lebih parahnya lagi, agenda penyejahteraan rakyat tidak dinomorsatukan, tetapi dinomorsekiankan yang entah nomor berapa.
Anies Baswedan, salah seorang tokoh bangsa ini mempunyai keseriusan teramat tinggi yang berusaha untuk membebaskan Indonesia dari berbagai kekangan problematika nasional. Melalui bukunya yang berjudul Merawat Tenun Kebangsaan; Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan ini, dia bersuara menyatakan pendapatnya untuk rekonstruksi bangsa yang sebenarnya sangat mempunyai potensi untuk menjadi negara hebat.
Problem republik ini sangat kompleks. Untuk bisa keluar dari berbagai problematika tersebut, harus ada penguraian satu per satu sehingga semuanya bisa dituntaskan. Sementara, dalam buku ini Anies mengurai tiga hal pokok, yakni tentang kepemimpinan, demokrasi, dan pendidikan. Dari ketiga hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet kepemerintahan 2014-2019 ini memaparkan berbagai detailnya.
Dimulai dari persoalan kepemimpinan, Anies memaparkan bahwa sebenarnya di republik ini masih terdapat banyak sosok yang berjiwa pemimpin. Pada dasarnya orang-orang yang berjiwa pemimpin tetapi jujur, amanah, dan baik di republik ini tidak terlalu susah dicari. Hanya saja, mereka itu berdiri tidak di atas panggung politik. Pemimpin yang ingin dilihat rakyat adalah yang tidak mengejar penghormatan, tetapi yang menjaga kehor-matan.
Penghormatan bisa dipanggungkan dan bisa dibeli, karenanya mudah didapat. Namun, kehormatan tidak untuk diperjualbelikan. Pemi-pin yang gagasan dan langkahnya terhormat, dengan sendirinya akan dapat kehormatan. Mencari rujukan tentang pemimpin itu sesungguhnya mudah. Ada terlalu banyak contoh pemimpin di sekitar kita. Di republik ini, masih amat banyak pemimpin yang solid, yang keteladanannya jadi rujukan, yang gagasannya diikuti, yang langkahnya menginspirasi.
Masalahnya adalah banyak dari mereka justru tidak berada di panggung penting republik ini. Di panggungpanggung penting justru sering ditemui orang-orang berkuasa tanpa kepemimpinan. (halaman 62). Itulah masalahnya. Para pemimpin justru memimpin dengan tangan dingin dan mementingkan penghormatan dirinya. Sementara, kepentingan rakyat diabaikan begitu saja tanpa mengagendakan aksi-aksi yang prorakyat.
Jikalau ada agenda yang prorakyat, justru dibumbui dengan mengejar citra, sehingga yang ada adalah mengejar penghormatan. Negara ini merupakan negara demokrasi. Artinya, memilih pemimpin itu melalui mekanisme yang demokratis. Sayang sekali, sistem demokrasi justru disalahgunakan oleh para elite politik sehingga demokrasi di republik ini seolah menjadi topeng untuk memenuhi kepentingan segelintir oknum dan mengabaikan rakyat banyak.
Sistem demokrasi yang terlihat di republik ini sepertinya hanya ketika menjelang pemilu dan ketika pemilu berlangsung. Hal itu dikarenakan bahwa pemilu menjadi lambang demokrasi, bahwa pemimpin itu dipilih dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hanya saja, para kandidat pemimpin (mulai dari caleg hingga capres) justru sibuk mengumbar janji dan entah janji itu akan menjadi realisasi atau tidak.
Hiruk-pikuk menjelang pemilu ini adalah “demam demokrasi” yang biasa menjangkiti negaranegara yang menjalankan demokrasi. Fenomena ini mirip demam sepak bola yang menjangkiti dunia setiap empat tahun sekali. Setiap putaran final piala dunia sepak bola, ribuan penggemar dari berbagai belahan dunia membayar ribuan dolar untuk ongkos pesawat, hotel, dan tiket masuk agar bisa menyaksikan pertandingan dari dekat.
Selain itu, ratusan juta penggemar di seluruh dunia juga menonton melalui televisi. (halaman 101). Fenomena ini menarik karena para pendukung benar-benar total memberikan dukungan mereka. Fenomena ini menjadi relevan dengan kampanye pemilu dan demokrasi di Indonesia. Ketika kampanye, para pendukung caloncalon tertentu memberikan dukungan mereka bahkan secara fanatik.
Dengan demikian, bisa dimunculkan pertanyaan kritikan: siapa mendapat apa dan mengapa? (hlm. 102). Untuk berbagai problem kepemimpinan dan demokrasi yang terkait erat dengan politik, di republik ini panggung politiknya justru diisi oleh oknum-oknum terpelajar tetapi sepertinya mereka tidak terdidik. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana mereka bersikap dan membuat kebijakan.
Mereka cerdas, tetapi hati nurani mereka hilang. Dengan begitu, untuk menyelamatkan republik ini di masa depan adalah menyiapkan generasi penerus yang terpelajar sekaligus terdidik. Hal ini menjadi PR dalam ranah pendidikan nasional. Sungguh, republik ini harus segera menyiapkan sebuah rekayasa masa depan melalui pendidikan. Republik ini tidak bisa mendiamkan proses terbentuknya struktur yang menghalangi tersedianya pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negeri ini harus membayar lunas janji kemerdekaan untuk seluruh anak bangsa; munculnya generasi baru yang cerdas dan sejahtera. (halaman 200). Akhirnya, dengan membaca buku berjudul Merawat Tenun Kebangsaan; Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan ini, para pembaca diajak untuk segera beraksi menuju kemajuan.
Setidaknya, hal itu harus dimulai dari diri sendiri karena untuk mengubah yang banyak, harus terlebih dahulu mengubah yang sedikit. Jika perubahan itu dilakukan secara terus-menerus tanpa patah semangat, maka perubahan menuju arah yang lebih baik akan terealisasi. Dan, Indonesia akan tampil di pentas dunia sebagai bangsa dan negara yang hebat.
Lusiana Dewi
Pembaca buku, tinggal di Cirebon
(bbg)