Cium Tangan Yuddy ke Puan Maharani Dinilai Tak Pantas
A
A
A
JAKARTA - Pengamat politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar mengatakan, sulit menduga apa maksud aksi cium tangan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani.
"Apakah sebagai bentuk penghormatan? Tapi apakah perlu hingga cium tangan seperti halnya seorang muda usia kepada orang yang lebih tua?" ujar Idil kepada Sindonews, Rabu (1/4/2015).
Kendati demikian, dalam bahasa politik aksi cium tangan itu dianggapnya bisa dibaca sebagai ketaatan, seperti halnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dulu selalu mencium tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
"Hanya, taat dalam hal apa dan bagaimana, itu tentu hanya Menteri Yuddy dan Puan yang paham," tuturnya.
Dia berpendapat, jika dalam konteks rasa hormat, jelas aksi cium tangan itu tidak pantas dilakukan. "Sebab Yuddy lebih tua dari Puan. Pun dalam hal kesetaraan jabatan politik sebagai sesama menteri," imbuhnya.
Akan tetapi, lanjut dia, jika dibaca sebagai ketaatan tentu ini bukan lagi bicara wajar atau tidak, pantas atau tidak.
"Tapi hal itu terkait psikologi seseorang yang menaruh kepatuhan pada orang lain karena sebab tertentu," pungkasnya.
"Apakah sebagai bentuk penghormatan? Tapi apakah perlu hingga cium tangan seperti halnya seorang muda usia kepada orang yang lebih tua?" ujar Idil kepada Sindonews, Rabu (1/4/2015).
Kendati demikian, dalam bahasa politik aksi cium tangan itu dianggapnya bisa dibaca sebagai ketaatan, seperti halnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dulu selalu mencium tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
"Hanya, taat dalam hal apa dan bagaimana, itu tentu hanya Menteri Yuddy dan Puan yang paham," tuturnya.
Dia berpendapat, jika dalam konteks rasa hormat, jelas aksi cium tangan itu tidak pantas dilakukan. "Sebab Yuddy lebih tua dari Puan. Pun dalam hal kesetaraan jabatan politik sebagai sesama menteri," imbuhnya.
Akan tetapi, lanjut dia, jika dibaca sebagai ketaatan tentu ini bukan lagi bicara wajar atau tidak, pantas atau tidak.
"Tapi hal itu terkait psikologi seseorang yang menaruh kepatuhan pada orang lain karena sebab tertentu," pungkasnya.
(maf)