Membendung Alih Fungsi Lahan
A
A
A
Masifnya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi dewasa ini menjadi salah satu bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga keberlangsungan lahan pertanian dan sekaligus menandakan ketidakberpihakan terhadap petani di tengah derasnya arus pembangunan infrastruktur di republik ini.
Hal tersebut membuat kita semua turut prihatin. Bagaimana tidak, alih fungsi lahan pertanian yang terjadi seakan membuat kondisi sektor pertanian berada di zona kritis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lahan persawahan di Indonesia pada tahun 2002 berada pada angka 11,5 juta hektare, tetapi setelah itu terjadi penurunan drastis di mana hingga tahun 2012 tersisa sekitar 8,08 juta hektare saja.
Sebagian besar lahan yang dulunya merupakan lahan pertanian yang produktif diubah menjadi kawasan industri, area perumahan, lahan perkebunan, dan area yang bersifat komersial lainnya. Sangat riskan nantinya apabila tetap dibiarkan karena akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Di Pulau Jawa, khususnya di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan daerah penghasil pangan di Indonesia, sangat rentan pelaksanaan alih fungsi lahan ini.
Kejadian serupa juga berlangsung di luar Pulau Jawa seperti di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan yang notabene termasuk kategori daerah sentra pangan nasional. Memang, ini bukan cuma pekerjaan pemerintah semata, tatapi seluruh stakeholder yang terlibat.
Baik itu sektor swasta yang sebagian besar bertindak sebagai pelaksana pengembangan infrastruktur maupun masyarakat, khususnya para petani, mestilah tidak mudah terpengaruh untuk menjual lahan pertanian miliknya demi kepentingan sesaat.
Di tengah usaha pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia, sebaiknya perlu untuk dapat menyeimbangkan porsi antara membangun infrastruktur dan harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan, terutama untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian. Komitmen dan sikap pemerintah pun layak ditunggu.
Komitmen tersebut dapat ditunjukkan melalui peraturan dan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang prokeberadaan lahan pertanian. Kemudian perlu melakukan pembukaan sawah baru untuk mengganti lahan yang telah dikonversi ke bidang lain.
Landrikus H S Pandiangan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Padjadjaran
Hal tersebut membuat kita semua turut prihatin. Bagaimana tidak, alih fungsi lahan pertanian yang terjadi seakan membuat kondisi sektor pertanian berada di zona kritis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lahan persawahan di Indonesia pada tahun 2002 berada pada angka 11,5 juta hektare, tetapi setelah itu terjadi penurunan drastis di mana hingga tahun 2012 tersisa sekitar 8,08 juta hektare saja.
Sebagian besar lahan yang dulunya merupakan lahan pertanian yang produktif diubah menjadi kawasan industri, area perumahan, lahan perkebunan, dan area yang bersifat komersial lainnya. Sangat riskan nantinya apabila tetap dibiarkan karena akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Di Pulau Jawa, khususnya di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan daerah penghasil pangan di Indonesia, sangat rentan pelaksanaan alih fungsi lahan ini.
Kejadian serupa juga berlangsung di luar Pulau Jawa seperti di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan yang notabene termasuk kategori daerah sentra pangan nasional. Memang, ini bukan cuma pekerjaan pemerintah semata, tatapi seluruh stakeholder yang terlibat.
Baik itu sektor swasta yang sebagian besar bertindak sebagai pelaksana pengembangan infrastruktur maupun masyarakat, khususnya para petani, mestilah tidak mudah terpengaruh untuk menjual lahan pertanian miliknya demi kepentingan sesaat.
Di tengah usaha pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia, sebaiknya perlu untuk dapat menyeimbangkan porsi antara membangun infrastruktur dan harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan, terutama untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian. Komitmen dan sikap pemerintah pun layak ditunggu.
Komitmen tersebut dapat ditunjukkan melalui peraturan dan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang prokeberadaan lahan pertanian. Kemudian perlu melakukan pembukaan sawah baru untuk mengganti lahan yang telah dikonversi ke bidang lain.
Landrikus H S Pandiangan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Padjadjaran
(ftr)