Perlindungan Petani Adat
A
A
A
Jauh dari kata maju dengan sumber daya agrarisnya, negara agraris Indonesia justru sibuk dengan permasalahan sendiri.
KPA mencatat 472 kasus konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2014, meningkat 27,91% dibandingkan tahun sebelumnya. Ada kecenderungan jumlah konflik agraria memang semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 89 konflik (2009), 106 konflik (2010), 163 konflik (2011), dan 198 konflik (2012).
Menurut WALHI, ada ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, bahkan pemilihan caracara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria terhadap kelompok masyarakat petani dan komunitas adat.
Hal tersebut telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 orang mengalami luka-luka, 110 orang tertembak peluru aparat, serta 70 orang tewas di wilayah-wilayah konflik agraria selama periode 2004-2014. Awalnya adalah kolonialisasi oleh Belanda yang melakukan pencangkokan hukum (legal transplantation) terhadap Indonesia.
Hukum asing yang diberlakukan melalui kolonialisme kepada masyarakat pribumi merupakan bentuk pencangkokan hukum paksa (Peter De Cruz, 1999). Jangan harap hukum yang dibentuk seperti itu dapat berlaku dengan baik pada masyarakat. Kesalahannya, pascakolonialisme pemerintah Indonesia serta-merta memberlakukan hukum warisan negara penjajah, termasuk dibidang kepemilikan tanah.
Meski banyak pembaruan dalam peraturan perundang-undangan, jiwa hukum barat masih secara estafet dilanjutkan. Berbagai peraturan tersebut secara empiris dipraktikkan di wilayah-wilayah tradisional, termasuk masyarakat hukum adat yang sesungguhnya tidak mengenal konsep-konsep hukum yang demikian dan memiliki hukum aslinya sendiri.
Pemerintah berbasis hak menguasai negara secara sepihak mengeluarkan izin di atas kawasan yang sudah dihuni dan dimiliki oleh masyarakat lokal/adat. Penolakan dari masyarakat yang asli yang memanfaatkan tanah terhadap hukum yang tidak mereka kenal dan tidak sesuai dengan tradisi mereka berujung konflik. Penanganan yang represif dari aparat negara meningkatkan kekerasan kepada para petani.
Tindakan mereka yang tidak memiliki landasan dari hukum nasional membawa mereka ke peradilan hukum nasional. Saatnya negara lebih memahami hukum lokal, hukum asli mereka, dan biarkan mereka bekerja dengan kearifan lokal. Para petani adat bukan pihak yang perlu ditakuti untuk melakukan eksploitasi tanah meski banyak tindakan mereka belum diberi alas hak hukum formal.
Mereka bukan manusia anarkis yang hidup tanpa hukum, para petani adat justru mewarisi tradisi asli Indonesia yang belum tersentuh tangan para kolonial. Melindungi para petani adat adalah kewajiban negara Indonesia.
M Adnan Yazar Zulfikar
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
KPA mencatat 472 kasus konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2014, meningkat 27,91% dibandingkan tahun sebelumnya. Ada kecenderungan jumlah konflik agraria memang semakin meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 89 konflik (2009), 106 konflik (2010), 163 konflik (2011), dan 198 konflik (2012).
Menurut WALHI, ada ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, bahkan pemilihan caracara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria terhadap kelompok masyarakat petani dan komunitas adat.
Hal tersebut telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 orang mengalami luka-luka, 110 orang tertembak peluru aparat, serta 70 orang tewas di wilayah-wilayah konflik agraria selama periode 2004-2014. Awalnya adalah kolonialisasi oleh Belanda yang melakukan pencangkokan hukum (legal transplantation) terhadap Indonesia.
Hukum asing yang diberlakukan melalui kolonialisme kepada masyarakat pribumi merupakan bentuk pencangkokan hukum paksa (Peter De Cruz, 1999). Jangan harap hukum yang dibentuk seperti itu dapat berlaku dengan baik pada masyarakat. Kesalahannya, pascakolonialisme pemerintah Indonesia serta-merta memberlakukan hukum warisan negara penjajah, termasuk dibidang kepemilikan tanah.
Meski banyak pembaruan dalam peraturan perundang-undangan, jiwa hukum barat masih secara estafet dilanjutkan. Berbagai peraturan tersebut secara empiris dipraktikkan di wilayah-wilayah tradisional, termasuk masyarakat hukum adat yang sesungguhnya tidak mengenal konsep-konsep hukum yang demikian dan memiliki hukum aslinya sendiri.
Pemerintah berbasis hak menguasai negara secara sepihak mengeluarkan izin di atas kawasan yang sudah dihuni dan dimiliki oleh masyarakat lokal/adat. Penolakan dari masyarakat yang asli yang memanfaatkan tanah terhadap hukum yang tidak mereka kenal dan tidak sesuai dengan tradisi mereka berujung konflik. Penanganan yang represif dari aparat negara meningkatkan kekerasan kepada para petani.
Tindakan mereka yang tidak memiliki landasan dari hukum nasional membawa mereka ke peradilan hukum nasional. Saatnya negara lebih memahami hukum lokal, hukum asli mereka, dan biarkan mereka bekerja dengan kearifan lokal. Para petani adat bukan pihak yang perlu ditakuti untuk melakukan eksploitasi tanah meski banyak tindakan mereka belum diberi alas hak hukum formal.
Mereka bukan manusia anarkis yang hidup tanpa hukum, para petani adat justru mewarisi tradisi asli Indonesia yang belum tersentuh tangan para kolonial. Melindungi para petani adat adalah kewajiban negara Indonesia.
M Adnan Yazar Zulfikar
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(ftr)