Smart City
A
A
A
Sudah menjadi pakem di dunia birokrasi, pemerintah hampir selalu tertinggal dengan kemajuan masyarakat.
Kalaupun tidak menolak perubahan, seringkali pemerintah menjadi pihak yang agak kurang mau untuk mengikuti ritme perubahan (laggard) atau yang biasa kita kenal dengan modernisasi. Alhasil, pemerintah—baik pemerintah daerah atau pemerintah pusat—yang seharusnya menjadi pelayan yang baik akan segala kebutuhan rakyatnya dalam banyak hal seringkali justru menjadi titik lemah dari kemajuan itu sendiri.
Lihat saja sebagai contoh saat berbagai industri di Indonesia membutuhkan data-data demografi negeri ini demi kemajuan industri yang ada dalam kondisi market drivenini, ternyata pemerintah belum bisamemberikandatayang reliable. Jangankandatauntukpara industriawan atau berbagai kelompok industri jasa, untuk pemilu saja pemerintah negeri ini belum mampu menghadirkan data yang bisa dipertanggungjawabkan 100%.
Padahal, kita tahu industri dalam negeri bisa makin kuat jika menjadi tuan rumah dinegeri sendirijikatahu apayangdiinginkanpenduduknegeri ini. Sayangnya, banyakindustri, terutama di level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang tidak bisa mendapatkan data yang sangat mereka butuhkan itu. Mereka terpaksa harus mengembangkan pasarnya dengan data yang sangat minim, sementara industri-industri besar terpaksa mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk riset data dasar.
Padahal, kalau bicara bisa atau tidak, sebenarnya sangat mudah bagi pemerintah daerah atau pusat untuk mengumpulkan semua data dan menciptakan suatu smart card. Pencapaian teknologi sudah jauh melebihi kebutuhan dasar itu. Ini sebenarnya yang dicoba untuk dijalankan sebagiannya oleh E-KTP yang sayangnya implementasinya berantakan.
KORAN SINDOmenjadi saksi sejarah dengan melihat langsung dan mendapatkan penjelasan langsung dari Wali Kota Makassar Danny Pomanto sebagai salah satu kepala daerah yang mengusung smart city. Kota di wilayah timur Indonesia ini ingin menjadi contoh dengan mulai mengimplementasikan 25.000 smart card sebagai pilot project.
Dalam satu kartu nanti semua data penduduk Makassar akan disimpan, bahkan hingga ke kondisi kesehatan penduduk. Akan lebih mudah bagi pemerintah kota dalam menelurkan berbagai kebijakan yang langsung menyasar ke sumber masalah ketika tahu kondisi riil penduduknya. Konsep smart citydi Makassar ini yang menjadikan smart card sebagai ujung tombak pelayanan publik harus didukung agar sukses dan direplikasi oleh semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Smart city ini bisa menjadi jalan masuk untuk menjadikan suatu kota memiliki sistem layanan dari layanan kependudukan, layanan kesehatan, hingga layanan transportasi yang terintegrasi, bahkan bisa sampai ke tahap cashless. Teknologi jelas bisa membawa efisiensi, hal yang sepertinya sudah lama ada dalam kamus pelayanan publik di Indonesia, tapi sangat jarang dipakai.
Sebagai contoh simpel, selama ini biaya transportasi publik selalu menjadi salah satu penyumbang angka inflasi daerah karena sekali naik jarang sekali turun. Sementara harga bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini selalu menjadi alasan kenaikan tarif angkutan umum fluktuatif. Suatu saat kita akan mencapai kondisi tarif naik jauh di atas kenaikan BBM.
Dengan konsep smart city yang mengusung pembayaran angkutan yang heavy regulateddan cashless, pemerintah bisa mengaturnya lebih mudah dan tak akan ada alasan teknis semisal harus naik per satuan Rp500 untuk alasan kemudahan transaksi. Dengan smart card, kenaikan atau penurunan Rp1 bahkan bisa diimplementasikan. Memang konsep-konsep secanggih apa pun tak akan bisa diimplementasikan jika tak ada pemimpin yang memiliki visi yang jernih dan kemauan politik yang kuat.
Kita bisa lihat sedemikian banyak penelitian terkait pelayanan publik baik dari segi teknis maupun segi perilaku yang dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian yang akhirnya hanya menjadi konsumsi dunia akademis tanpa pernah dicerna dengan serius oleh para birokrat maupun pemimpin.
Kalaupun ada birokrat-birokrat cerdas dengan visi cemerlang yang berusaha memperbaiki situasi, seringkali akhirnya terbentur pada para pemimpin yang kadangkala tidak punya visi atau kemauan politik sama sekali untuk memperbaiki keadaan.
Kalaupun tidak menolak perubahan, seringkali pemerintah menjadi pihak yang agak kurang mau untuk mengikuti ritme perubahan (laggard) atau yang biasa kita kenal dengan modernisasi. Alhasil, pemerintah—baik pemerintah daerah atau pemerintah pusat—yang seharusnya menjadi pelayan yang baik akan segala kebutuhan rakyatnya dalam banyak hal seringkali justru menjadi titik lemah dari kemajuan itu sendiri.
Lihat saja sebagai contoh saat berbagai industri di Indonesia membutuhkan data-data demografi negeri ini demi kemajuan industri yang ada dalam kondisi market drivenini, ternyata pemerintah belum bisamemberikandatayang reliable. Jangankandatauntukpara industriawan atau berbagai kelompok industri jasa, untuk pemilu saja pemerintah negeri ini belum mampu menghadirkan data yang bisa dipertanggungjawabkan 100%.
Padahal, kita tahu industri dalam negeri bisa makin kuat jika menjadi tuan rumah dinegeri sendirijikatahu apayangdiinginkanpenduduknegeri ini. Sayangnya, banyakindustri, terutama di level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang tidak bisa mendapatkan data yang sangat mereka butuhkan itu. Mereka terpaksa harus mengembangkan pasarnya dengan data yang sangat minim, sementara industri-industri besar terpaksa mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk riset data dasar.
Padahal, kalau bicara bisa atau tidak, sebenarnya sangat mudah bagi pemerintah daerah atau pusat untuk mengumpulkan semua data dan menciptakan suatu smart card. Pencapaian teknologi sudah jauh melebihi kebutuhan dasar itu. Ini sebenarnya yang dicoba untuk dijalankan sebagiannya oleh E-KTP yang sayangnya implementasinya berantakan.
KORAN SINDOmenjadi saksi sejarah dengan melihat langsung dan mendapatkan penjelasan langsung dari Wali Kota Makassar Danny Pomanto sebagai salah satu kepala daerah yang mengusung smart city. Kota di wilayah timur Indonesia ini ingin menjadi contoh dengan mulai mengimplementasikan 25.000 smart card sebagai pilot project.
Dalam satu kartu nanti semua data penduduk Makassar akan disimpan, bahkan hingga ke kondisi kesehatan penduduk. Akan lebih mudah bagi pemerintah kota dalam menelurkan berbagai kebijakan yang langsung menyasar ke sumber masalah ketika tahu kondisi riil penduduknya. Konsep smart citydi Makassar ini yang menjadikan smart card sebagai ujung tombak pelayanan publik harus didukung agar sukses dan direplikasi oleh semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Smart city ini bisa menjadi jalan masuk untuk menjadikan suatu kota memiliki sistem layanan dari layanan kependudukan, layanan kesehatan, hingga layanan transportasi yang terintegrasi, bahkan bisa sampai ke tahap cashless. Teknologi jelas bisa membawa efisiensi, hal yang sepertinya sudah lama ada dalam kamus pelayanan publik di Indonesia, tapi sangat jarang dipakai.
Sebagai contoh simpel, selama ini biaya transportasi publik selalu menjadi salah satu penyumbang angka inflasi daerah karena sekali naik jarang sekali turun. Sementara harga bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini selalu menjadi alasan kenaikan tarif angkutan umum fluktuatif. Suatu saat kita akan mencapai kondisi tarif naik jauh di atas kenaikan BBM.
Dengan konsep smart city yang mengusung pembayaran angkutan yang heavy regulateddan cashless, pemerintah bisa mengaturnya lebih mudah dan tak akan ada alasan teknis semisal harus naik per satuan Rp500 untuk alasan kemudahan transaksi. Dengan smart card, kenaikan atau penurunan Rp1 bahkan bisa diimplementasikan. Memang konsep-konsep secanggih apa pun tak akan bisa diimplementasikan jika tak ada pemimpin yang memiliki visi yang jernih dan kemauan politik yang kuat.
Kita bisa lihat sedemikian banyak penelitian terkait pelayanan publik baik dari segi teknis maupun segi perilaku yang dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian yang akhirnya hanya menjadi konsumsi dunia akademis tanpa pernah dicerna dengan serius oleh para birokrat maupun pemimpin.
Kalaupun ada birokrat-birokrat cerdas dengan visi cemerlang yang berusaha memperbaiki situasi, seringkali akhirnya terbentur pada para pemimpin yang kadangkala tidak punya visi atau kemauan politik sama sekali untuk memperbaiki keadaan.
(ars)