Solusi Golkar: Akhirnya Munas Juga
A
A
A
Hajriyanto Y Thohari
Mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
Persis seperti yang saya perkirakan sebelumnya rute penyelesaian dualisme Partai Golkar melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG) dan pengadilan hanya memberikan penyelesaian yang bersifat ad hoc.
Meski ada yang menang atau dimenangkan, ada yang kalah atau dikalahkan, dan dengan langkahitualih-alihdualismekepengurusan berakhir dengan sendirinya, PG tetap pecah menjadi seperti rempah-rempah. Tindakan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No: M.HH- 01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Komposisi Personalia DPP Partai Golkar tertanggal 23 Maret 2015 terbukti hanya menyelesaikan dualisme kepengurusan secara de jure belaka.
Secara de facto dualisme kepengurusan ini terus berjalan dengan segala reperkusi dan resonansi politiknya yang bahkan tidak mustahil akan semakin panas dan eksesif. Lihat saja setelah mendapatkan pengesahan pemerintah, DPP hasil Munas Jakarta segera saja melakukan langkah mengubah pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR/MPR dan selanjutnya mengangkat beberapa pelaksana tugas ketua DPD-DPD PG se-Indonesia.
Tidak mustahil langkah ini akan berjalan panas oleh karena DPP hasil Munas Bali juga merespons dengan melakukan langkahlangkah konsolidasi kepemimpinan FPG DPR/MPR dan DPDDPD yang masih mendukungnya untuk melakukan perlawanan habis-habisan atas keputusan pemerintah yang mengesahkan kepengurusan DPP Munas Jakarta yang dianggap tidak adil dan sewenang-wenang itu.
Begitulah konsekuensi dari penyelesaian perpecahan politik sebuah partai politik melalui rute MPG dan pengadilan yang notabene selalubersifat adhoc itu. Walhasil, jika tujuan keputusan MPG dan pengesahan pemerintah adalah untuk mengakhiri perpecahan dan dualisme kepengurusan DPP PG agar perpolitikan nasional stabil, tidak gaduh, dan kondusif bagi jalannya pemerintahan hasil Pemilu 2014, tujuan itu tidak tercapai, untuk tidak mengatakan gagal. Kecuali kalau pemerintah mempunyai tujuan lain yang kita sama sekali tidak tahu.
Pemerintah itu Negara
Saya ingin sampaikan di sini bahwa melawan pemerintah secara frontal atau head to head itu tidak banyak artinya kecuali hanya akan memberikan kepuasan psikologis. Di negeri seperti ini, betapa pun lemahnya secara politik, pemerintah itu tetap saja pemerintah: sangat berkuasa. Apa yang disebut dengan negara memang terdiri atas pemerintah, rakyat, dan wilayah.
Tetapi, pada sejatinya pemerintahlah manifestasi par excellence dari apa yang disebut dengan negara. Maka itu, melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal akan mudah didakwa dan dipelintir sebagi melawan negara. Boleh saja melawan pemerintah, tetapi jangan secara frontal sebab pasti akan kalah! Pemerintah itu mempunyai semua instrumen untuk menang dan memenangkan pertandingan politik.
Maka itu, sekali melawan pemerintahan haruslah dengan canggih. Kalau perlu, dengan langkah memutar melalui rute politik yang namanya munas atau munaslub. Dalam alam demokrasi hanya hasil munas yang demokratis pula yang dapat memaksa ( fait accomply ) pemerintah atau negara untuk mau tidak mau mengesahkannya.
Di mana pun dan kapan pun, apalagi di Indonesia, melawan pemerintah tidak bisa dengan frontal dan head to head , melainkan harus memutar. Pemerintah itu, sekali lagi, mempunyai semua alat-alat kekuasaan untuk menang dan memenangkan sebuah pergumulan politik. Apalagi manakala pemerintah sedang berusaha melakukan konsolidasi, akumulasi, dan kapitalisasi dukungan politik dengan berbagai cara demi jalan pemerintahan yang stabil dan efektif.
Memang kubu DPP Munas Bali sekarang masih ada pendukungnya. Tetapi, step by step, sedikit demi sedikit, anggota FPG dan DPD-DPD PG itu akan menyerah juga. Pelan tapi pasti (slow but sure) pragmatisme politiklah yang akan menang dan dominan! Pengalaman Parmusi pada 1970 juga begitu: semua wilayah dan daerah waktu itu mengaku berada di belakang kepemimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo.
Tetapi, begitu pengesahan pemerintah dikeluarkan, semua wilayah dan daerah step by step , pelan tapi pasti, “balik kanan”, berpindah mendukung kepengurusan yang disahkan pemerintah. Artinya, kubu DPP Munas Bali kemungkinan besar pasti akan kalah vis a vis negara. Negara itu, sekali lagi, punya semua instrumen kekuasaan untuk menang. Maka itu, pemerintah sering disebut “penguasa” karena memang berkuasa. Ala kulli hal, apa pun yang akan terjadi, pemerintah mustahil menganulir keputusan itu.
Jika mau belajar dari pengalaman lama, pilihan yang paling realistis bagi kubu DPP hasil Munas Bali sekarang ini adalah menunggu secara aktif dan proaktif munas yang oleh pemerintah sendiri diminta dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2016. Di dalam amar Putusan MPG dan SK Kemenkumham itu ada frase yang berbunyi: “segera melaksanakan musyawarah-musyawarah daerah dan munas selambat-lambatnya tahun 2016”.
Pilihan yang tersedia tinggal satu ini! Dulu ketika belum ada amar Putusan MPG dan pengesahan pemerintah, kubu DPP Munas Bali memang memiliki kekuasaan untuk menggelar munas (lub). Tetapi, sekarang momentum itu sudah lewat, gone with the wind. Jika sekarang kubu Munas Bali meminta munas (lub) sebagai modus dan rute penyelesaian dualisme kepengurusan partai,
itu sudah terlambat karena sudah dianggap terlalu kecil (too late and too little) oleh lawannya. Pilihan bagi DPP Munas Bali sungguh semakin sempit: tinggal Munas 2016, kecuali ada putusan pengadilan atau PTUN yang berbunyi lain. Ini pun, harus diingat, tidak akan juga menyelesaikan perpecahan yang sudah sangat eksesif ini. Akhirnya
Melalui Munas Juga
Perpecahan PG adalah perpecahan politik. Perpecahan politik hanya bisa diselesaikan secara tuntas melalui forum dan mekanisme politik pula: munas atau munaslub. Saya konsisten dengan sikap saya dari semula bahwa hanya dengan munas (munaslub)-lah rekonsiliasi PG dapat diwujudkan. MPG dan pemerintah betapa pun rumusan keputusannya tidak ideal telah memberikan peta politik ( political roadmap ) agar munas diselenggarakan selambat-lambatnya pada 2016.
Karena itu, munas harus segera digelar demi teruwujud rekonsiliasi. Munas 2016 atau munaslub adalah satu-satunya jalan (the one and the only ) untuk menyelesaikan perpecahan PG secara terhormat dan bermartabat. Sangat meyakinkan apa yang disebut dengan Munas 2016 tidak harus menunggu berlama-lama sampai pada 2016.
Pertanyaannya sekarang adalah masih adakah tersisa sikap kenegarawanan dalam diri pimpinan dua kubu yang berseteru itu untuk -betapa pun pahitnya, apa boleh buat bersikap legawa menerima solusi melalui munas 2016 itu? Jika masih ada tersisa sikap legawa dan kenegarawanan, keduanya harus segera menerimasolusiMunas2016itu dengan sebuah kesepakatan ( gentlemen agreement ) mengenai waktu dan kepanitiaan munas.
Ini jauh lebih realistis daripada terus melakukan perlawanan yang menguras energi itu. Sikap kenegarawanan ini ada atau tidak akan berjalan paralel dengan cepat atau lambatnya pelaksanaan munas (selambatlambatnya 2016) itu sendiri: semakin negarawan keduanya niscaya semakin cepat munas itu digelar. Itu semakin baik. Walhasil, meski berputarputar sedemikian panjangnya rute yang ditempuh, akhirnya melalui munas juga, apa pun namanya. Ini persis seperti yang penulis sarankan sejak semula. Makanya, percayalah padaku!
Mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
Persis seperti yang saya perkirakan sebelumnya rute penyelesaian dualisme Partai Golkar melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG) dan pengadilan hanya memberikan penyelesaian yang bersifat ad hoc.
Meski ada yang menang atau dimenangkan, ada yang kalah atau dikalahkan, dan dengan langkahitualih-alihdualismekepengurusan berakhir dengan sendirinya, PG tetap pecah menjadi seperti rempah-rempah. Tindakan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No: M.HH- 01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Komposisi Personalia DPP Partai Golkar tertanggal 23 Maret 2015 terbukti hanya menyelesaikan dualisme kepengurusan secara de jure belaka.
Secara de facto dualisme kepengurusan ini terus berjalan dengan segala reperkusi dan resonansi politiknya yang bahkan tidak mustahil akan semakin panas dan eksesif. Lihat saja setelah mendapatkan pengesahan pemerintah, DPP hasil Munas Jakarta segera saja melakukan langkah mengubah pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR/MPR dan selanjutnya mengangkat beberapa pelaksana tugas ketua DPD-DPD PG se-Indonesia.
Tidak mustahil langkah ini akan berjalan panas oleh karena DPP hasil Munas Bali juga merespons dengan melakukan langkahlangkah konsolidasi kepemimpinan FPG DPR/MPR dan DPDDPD yang masih mendukungnya untuk melakukan perlawanan habis-habisan atas keputusan pemerintah yang mengesahkan kepengurusan DPP Munas Jakarta yang dianggap tidak adil dan sewenang-wenang itu.
Begitulah konsekuensi dari penyelesaian perpecahan politik sebuah partai politik melalui rute MPG dan pengadilan yang notabene selalubersifat adhoc itu. Walhasil, jika tujuan keputusan MPG dan pengesahan pemerintah adalah untuk mengakhiri perpecahan dan dualisme kepengurusan DPP PG agar perpolitikan nasional stabil, tidak gaduh, dan kondusif bagi jalannya pemerintahan hasil Pemilu 2014, tujuan itu tidak tercapai, untuk tidak mengatakan gagal. Kecuali kalau pemerintah mempunyai tujuan lain yang kita sama sekali tidak tahu.
Pemerintah itu Negara
Saya ingin sampaikan di sini bahwa melawan pemerintah secara frontal atau head to head itu tidak banyak artinya kecuali hanya akan memberikan kepuasan psikologis. Di negeri seperti ini, betapa pun lemahnya secara politik, pemerintah itu tetap saja pemerintah: sangat berkuasa. Apa yang disebut dengan negara memang terdiri atas pemerintah, rakyat, dan wilayah.
Tetapi, pada sejatinya pemerintahlah manifestasi par excellence dari apa yang disebut dengan negara. Maka itu, melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal akan mudah didakwa dan dipelintir sebagi melawan negara. Boleh saja melawan pemerintah, tetapi jangan secara frontal sebab pasti akan kalah! Pemerintah itu mempunyai semua instrumen untuk menang dan memenangkan pertandingan politik.
Maka itu, sekali melawan pemerintahan haruslah dengan canggih. Kalau perlu, dengan langkah memutar melalui rute politik yang namanya munas atau munaslub. Dalam alam demokrasi hanya hasil munas yang demokratis pula yang dapat memaksa ( fait accomply ) pemerintah atau negara untuk mau tidak mau mengesahkannya.
Di mana pun dan kapan pun, apalagi di Indonesia, melawan pemerintah tidak bisa dengan frontal dan head to head , melainkan harus memutar. Pemerintah itu, sekali lagi, mempunyai semua alat-alat kekuasaan untuk menang dan memenangkan sebuah pergumulan politik. Apalagi manakala pemerintah sedang berusaha melakukan konsolidasi, akumulasi, dan kapitalisasi dukungan politik dengan berbagai cara demi jalan pemerintahan yang stabil dan efektif.
Memang kubu DPP Munas Bali sekarang masih ada pendukungnya. Tetapi, step by step, sedikit demi sedikit, anggota FPG dan DPD-DPD PG itu akan menyerah juga. Pelan tapi pasti (slow but sure) pragmatisme politiklah yang akan menang dan dominan! Pengalaman Parmusi pada 1970 juga begitu: semua wilayah dan daerah waktu itu mengaku berada di belakang kepemimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo.
Tetapi, begitu pengesahan pemerintah dikeluarkan, semua wilayah dan daerah step by step , pelan tapi pasti, “balik kanan”, berpindah mendukung kepengurusan yang disahkan pemerintah. Artinya, kubu DPP Munas Bali kemungkinan besar pasti akan kalah vis a vis negara. Negara itu, sekali lagi, punya semua instrumen kekuasaan untuk menang. Maka itu, pemerintah sering disebut “penguasa” karena memang berkuasa. Ala kulli hal, apa pun yang akan terjadi, pemerintah mustahil menganulir keputusan itu.
Jika mau belajar dari pengalaman lama, pilihan yang paling realistis bagi kubu DPP hasil Munas Bali sekarang ini adalah menunggu secara aktif dan proaktif munas yang oleh pemerintah sendiri diminta dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2016. Di dalam amar Putusan MPG dan SK Kemenkumham itu ada frase yang berbunyi: “segera melaksanakan musyawarah-musyawarah daerah dan munas selambat-lambatnya tahun 2016”.
Pilihan yang tersedia tinggal satu ini! Dulu ketika belum ada amar Putusan MPG dan pengesahan pemerintah, kubu DPP Munas Bali memang memiliki kekuasaan untuk menggelar munas (lub). Tetapi, sekarang momentum itu sudah lewat, gone with the wind. Jika sekarang kubu Munas Bali meminta munas (lub) sebagai modus dan rute penyelesaian dualisme kepengurusan partai,
itu sudah terlambat karena sudah dianggap terlalu kecil (too late and too little) oleh lawannya. Pilihan bagi DPP Munas Bali sungguh semakin sempit: tinggal Munas 2016, kecuali ada putusan pengadilan atau PTUN yang berbunyi lain. Ini pun, harus diingat, tidak akan juga menyelesaikan perpecahan yang sudah sangat eksesif ini. Akhirnya
Melalui Munas Juga
Perpecahan PG adalah perpecahan politik. Perpecahan politik hanya bisa diselesaikan secara tuntas melalui forum dan mekanisme politik pula: munas atau munaslub. Saya konsisten dengan sikap saya dari semula bahwa hanya dengan munas (munaslub)-lah rekonsiliasi PG dapat diwujudkan. MPG dan pemerintah betapa pun rumusan keputusannya tidak ideal telah memberikan peta politik ( political roadmap ) agar munas diselenggarakan selambat-lambatnya pada 2016.
Karena itu, munas harus segera digelar demi teruwujud rekonsiliasi. Munas 2016 atau munaslub adalah satu-satunya jalan (the one and the only ) untuk menyelesaikan perpecahan PG secara terhormat dan bermartabat. Sangat meyakinkan apa yang disebut dengan Munas 2016 tidak harus menunggu berlama-lama sampai pada 2016.
Pertanyaannya sekarang adalah masih adakah tersisa sikap kenegarawanan dalam diri pimpinan dua kubu yang berseteru itu untuk -betapa pun pahitnya, apa boleh buat bersikap legawa menerima solusi melalui munas 2016 itu? Jika masih ada tersisa sikap legawa dan kenegarawanan, keduanya harus segera menerimasolusiMunas2016itu dengan sebuah kesepakatan ( gentlemen agreement ) mengenai waktu dan kepanitiaan munas.
Ini jauh lebih realistis daripada terus melakukan perlawanan yang menguras energi itu. Sikap kenegarawanan ini ada atau tidak akan berjalan paralel dengan cepat atau lambatnya pelaksanaan munas (selambatlambatnya 2016) itu sendiri: semakin negarawan keduanya niscaya semakin cepat munas itu digelar. Itu semakin baik. Walhasil, meski berputarputar sedemikian panjangnya rute yang ditempuh, akhirnya melalui munas juga, apa pun namanya. Ini persis seperti yang penulis sarankan sejak semula. Makanya, percayalah padaku!
(bbg)