Remisi Koruptor Ciderai Nawacita
A
A
A
JAKARTA - Langkah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang mengusulkan per-lunya remisi terhadap koruptor terus menuai penolakan publik. Usulan tersebut dinilai bertentangan dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo.
”Jika arah tujuannya (kebijakan pemberian remisi) agar semua narapidana diberi kesempatan yang sama dalam pemberian remisi, menurut saya agak beda pendapat,” kata pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi saat diskusi di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Jakarta, kemarin.
Dalam diskusi bersama dengan perwakilan Kemenkumham dan Komisi III DPR tersebut, Johan menyampaikan bahwa semangat pemberian remisi kepada seluruh narapidana berbeda dengan semangat pemberantasan korupsi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat masa kampanyenya.
Johan mengatakan, narapidana pelaku korupsi merupakan terpidana yang melakukan kejahatan luar biasa dengan dampak luas, sehingga tidak bisa disamakan dengan narapidana kejahatan biasa. ”Korupsi ini menyengsarakan masyarakat, dan dapat disamakan dengan pelaku kejahatan HAM. Kalau disamakan, sangat tidak adil dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi, narkoba, dan terorisme disamakan dengan maling ayam,” ujar Johan.
Lebih lanjut, Johan mengungkapkan bahwa tujuan pemberantasan korupsi bukan hanya berupaya mengembalikan uang negara, melainkan bagaimana untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho menambahkan, PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak perlu direvisi.
Peraturan tersebut telah membatasi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, narapidana kasus terorisme, dan narkoba. ”Sebaiknya pemerintah khususnya Menteri Hukum dan HAM membatalkan rencana melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor, dengan tetap mempertahankan keberadaan PP 99 Tahun 2012,” tegas dia.
Sementara anggota Komisi III DPR Asrul Sani mengatakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebaiknya menunggu pembahasan KUHP oleh Komisi III sebelum merevisi Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tentang pemberian remisi, agar peraturannya tidak tumpang tindih. ”Saya khawatir kalau direvisi sekarang jadi tumpang tindih dengan KUHP (yang akan direvisi) nanti,” kata Asrul.
Dia berpendapat, Kemenkumham harus menunggu perbaikan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Saat ini Komisi III DPR sedang membahas rancangan undangundang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Asrul, Kemenkumham harus membuat timbangan pada tiap narapidana apabila ingin menyamakan hak pemberian remisi kepada terpidana kejahatan biasa dengan kejahatan luar biasa seperti korupsi, penyalahgunaan narkotika, dan terorisme. Namun, hal tersebut sebagai opsi kedua andaikan Kemenkumham tetap melakukan revisi PP No 99 Tahun 2012.
Sebelumnya Asrul mengatakan ada ketidakadilan penyamaan hak pemberian remisi kepada terpidana kejahatan biasa dan luar biasa. Asrul juga berpandangan upaya utama dalam pemberantasan korupsi harus dimaksimalkan dalam pengembalian uang negara.
Mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi sebelumnya juga meminta agar wacana remisi bagi koruptor dihentikan. Pasalnya, usulan tersebut tidak tepat dengan kebijakan pemerintah yang tengah menggalakkan pemberantasan korupsi. ”Jangan sembrono, perlu dikaji secara matang dari berbagai aspek,” ujar anggota Wantimpres itu.
Staf Ahli Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ma’mun mengatakan, revisi pemberian remisi pada koruptor dilakukan karena syarat remisi sebelumnya dinilai sulit diterapkan.
”Syarat pemberian remisi pada terpidana korupsi antara lain berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana selama enam bulan, dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu bongkar perkara pidana yang dilakukannya. Nah, ini yang sulit,” kata Ma’mun.
Menurut dia, bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara pidana sulit dilakukan oleh terpidana korupsi. ”Terpidana korupsi sulit mendapat persyaratan sebagai justice collaborator . Kalau dia enggak tahu, masa harus cari-cari kesalahan orang,” kata Ma’mun.
Menurut dia, syarat itu hanya bisa dilakukan saat penyidikan dan persidangan di pengadilan. Ma’mun berpendapat keringanan hukuman bagi terpidana korupsi seharusnya dilakukan di tingkat putusan hakim di pengadilan. ”Justice collaborator sulit dilaksanakan karena adanya di penyidikan dan juga di pengadilan. Kalau iya, dia dapat keringanan di pengadilan,” kata dia.
Kemenkumham berencana merevisi Peraturan Pemerintah No 99/2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan hak asasi manusia berat, serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Sabir laluhu/ant
”Jika arah tujuannya (kebijakan pemberian remisi) agar semua narapidana diberi kesempatan yang sama dalam pemberian remisi, menurut saya agak beda pendapat,” kata pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi saat diskusi di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Jakarta, kemarin.
Dalam diskusi bersama dengan perwakilan Kemenkumham dan Komisi III DPR tersebut, Johan menyampaikan bahwa semangat pemberian remisi kepada seluruh narapidana berbeda dengan semangat pemberantasan korupsi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat masa kampanyenya.
Johan mengatakan, narapidana pelaku korupsi merupakan terpidana yang melakukan kejahatan luar biasa dengan dampak luas, sehingga tidak bisa disamakan dengan narapidana kejahatan biasa. ”Korupsi ini menyengsarakan masyarakat, dan dapat disamakan dengan pelaku kejahatan HAM. Kalau disamakan, sangat tidak adil dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi, narkoba, dan terorisme disamakan dengan maling ayam,” ujar Johan.
Lebih lanjut, Johan mengungkapkan bahwa tujuan pemberantasan korupsi bukan hanya berupaya mengembalikan uang negara, melainkan bagaimana untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho menambahkan, PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak perlu direvisi.
Peraturan tersebut telah membatasi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, narapidana kasus terorisme, dan narkoba. ”Sebaiknya pemerintah khususnya Menteri Hukum dan HAM membatalkan rencana melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor, dengan tetap mempertahankan keberadaan PP 99 Tahun 2012,” tegas dia.
Sementara anggota Komisi III DPR Asrul Sani mengatakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebaiknya menunggu pembahasan KUHP oleh Komisi III sebelum merevisi Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 tentang pemberian remisi, agar peraturannya tidak tumpang tindih. ”Saya khawatir kalau direvisi sekarang jadi tumpang tindih dengan KUHP (yang akan direvisi) nanti,” kata Asrul.
Dia berpendapat, Kemenkumham harus menunggu perbaikan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Saat ini Komisi III DPR sedang membahas rancangan undangundang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Asrul, Kemenkumham harus membuat timbangan pada tiap narapidana apabila ingin menyamakan hak pemberian remisi kepada terpidana kejahatan biasa dengan kejahatan luar biasa seperti korupsi, penyalahgunaan narkotika, dan terorisme. Namun, hal tersebut sebagai opsi kedua andaikan Kemenkumham tetap melakukan revisi PP No 99 Tahun 2012.
Sebelumnya Asrul mengatakan ada ketidakadilan penyamaan hak pemberian remisi kepada terpidana kejahatan biasa dan luar biasa. Asrul juga berpandangan upaya utama dalam pemberantasan korupsi harus dimaksimalkan dalam pengembalian uang negara.
Mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi sebelumnya juga meminta agar wacana remisi bagi koruptor dihentikan. Pasalnya, usulan tersebut tidak tepat dengan kebijakan pemerintah yang tengah menggalakkan pemberantasan korupsi. ”Jangan sembrono, perlu dikaji secara matang dari berbagai aspek,” ujar anggota Wantimpres itu.
Staf Ahli Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ma’mun mengatakan, revisi pemberian remisi pada koruptor dilakukan karena syarat remisi sebelumnya dinilai sulit diterapkan.
”Syarat pemberian remisi pada terpidana korupsi antara lain berkelakuan baik, sudah menjalani masa pidana selama enam bulan, dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu bongkar perkara pidana yang dilakukannya. Nah, ini yang sulit,” kata Ma’mun.
Menurut dia, bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara pidana sulit dilakukan oleh terpidana korupsi. ”Terpidana korupsi sulit mendapat persyaratan sebagai justice collaborator . Kalau dia enggak tahu, masa harus cari-cari kesalahan orang,” kata Ma’mun.
Menurut dia, syarat itu hanya bisa dilakukan saat penyidikan dan persidangan di pengadilan. Ma’mun berpendapat keringanan hukuman bagi terpidana korupsi seharusnya dilakukan di tingkat putusan hakim di pengadilan. ”Justice collaborator sulit dilaksanakan karena adanya di penyidikan dan juga di pengadilan. Kalau iya, dia dapat keringanan di pengadilan,” kata dia.
Kemenkumham berencana merevisi Peraturan Pemerintah No 99/2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan hak asasi manusia berat, serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Sabir laluhu/ant
(ftr)