Paspor Diplomatik Anggota DPR Harus Dikaji

Rabu, 25 Maret 2015 - 05:07 WIB
Paspor Diplomatik Anggota...
Paspor Diplomatik Anggota DPR Harus Dikaji
A A A
JAKARTA - Wacana pemberian paspor diplomatik kepada anggota DPR RI dinilai perlu dikaji. Hal itu guna menghindari terjadinya penyalahgunaan paspor oleh anggota dewan untuk kepentingan pribadi.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, wacana Ketua DPR RI Setya Novanto yang mengapresiasi bila semua anggota DPR diberikan paspor diplomatik harus dilakukan cermat dan mempertimbangkan sejumlah aspek. Menurutnya, paspor diplomatik sangat erat berkaitan dengan masalah kekebalan diplomatik (diplomatic immunity).

"Kekebalan diplomatik mendapat pengaturan secara khusus dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatic 1961 yang telah diikuti Indonesia," ujarnya ketika dihubungi SINDO, Selasa 24 Maret 2015).

Kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan konvensi, kata Hikmahanto, terbatas pada para diplomat yang menjalankan fungsi kediplomatikannya. Pengecualian hanya diberikan kepada kepala negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri yang merupakan simbol dari suatu negara.

"Kekebalan para diplomat pun hanya terbatas di negara dimana dia bertugas. Selama perjalanan melewati sejumlah negara untuk mencapai negara tugas, dia tidak memiliki kekebalan diplomatik," katanya.

Menurut Hikmahanto, pengaturan tentang penerbitan paspor diplomatik diserahkan ke masing-masing negara, meskipun pengakuan kekebalan diplomatik akan bergantung pada negara yang dikunjungi oleh pemegang paspor diplomatik.

Dia mencontohkan, bagaimana Agusto Pinochet, mantan Presiden yang menjadi senator di Chile ketika berobat ke Inggris di tahun 1998 menggunakan paspor diplomatik namun tidak dianggap memiliki kekebalan diplomatik oleh pengadilan Inggris.

"Alasannya, karena Pinochet meski memegang paspor diplomatik tidak menjalankan fungsi kediplomatikan. Pinochet ketika itu diminta oleh Spanyol kepada Inggris agar ditahan untuk dihadapkan ke depan Pengadilan Spanyol," jelasnya.

Di Indonesia, penerbitan paspor diplomatik dilakukan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Dalam Pasal 37 Ayat (1) disebutkan, paspor diplomatik diberikan untuk warga negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan keluar wilayah Indonesia dalam rangka penempatan atau perjalanan untuk tugas yang bersifat diplomatik.

Dalam kaitannya dengan ini, lanjut Hikmahanto, bila seluruh anggota DPR akan mendapat paspor diplomatik belum tentu mereka melakukan tugas yang bersifat diplomatik. Pada Pasal 37 Ayat (2) mengatur secara limitatif siapa yang bisa mendapatkan paspor diplomatik.

"Memang betul pimpinan DPR berhak atas paspor diplomatik karena mereka masuk klasifikasi ketua dan wakil ketua lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Hanya saja dalam pasal ini tidak termasuk seluruh anggota lembaga negara," tuturnya.

Bila seluruh anggota DPR bisa mendapatkan paspor diplomatik, tentu anggota DPD, kemudian seluruh hakim agung dan seterusnya akan juga berhak atas paspor diplomatik. Akibatnya, jumlah pemegang paspor diplomatik pun tidak terkendali dan bila terjadi penyimpangan oleh oknum pemegang paspor diplomatik yang harus menanggung beban dan malu adalah negara Republik Indonesia.

"Penyimpangan yang mungkin dilakukan adalah menggunakan paspor diplomatik bukan untuk tujuan kediplomatikan, seperti berwisata atau tujuan-tujuan pribadi. Oleh karenanya perlu dipikirkan kembali ide untuk memberikan seluruh anggota DPR paspor diplomatik," ucapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya menilai, permintaan dari Ketua DPR Setya Novanto kepada pemerintah untuk mengeluarkan paspor diplomatik untuk anggota dewan merupakan hal yang sangat wajar dan relevan. Bahkan, paspor diplomatik sangat mendesak untuk segera dikeluarkan.

“Permintaan ini tidaklah berlebihan mengingat banyak negara di dunia yang sudah memberlakukannya. Anggota DPR ketika berada di luar negeri dalam mengemban penugasan baik dari dewan maupun komisi dan alat kelengkapan dewan tidak bisa dilepaskan dari tugas dan misi diplomatik,” katanya.

Menurut Tantowi, tugas anggota DPR tidak hanya legislasi, pengawasan dan anggaran, tetapi juga sebagai agen diplomasi sebagaimana diatur UU MD3. Penambahan tugas ini, tutur Tantowi, menunjukkan semakin pentingnya diplomasi dilakukan oleh banyak pihak, termasuk parlemen.

Namun demikian, siapapun yang melakukan peran diplomasi harus tetap berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Tantowi menambahkan, selama ini DPR telah banyak tampil di forum-forum diplomasi antar parlemen di dunia secara lebih efektif dan langsung khususnya ketika dilakukan dengan negara-negara yang menganut sistem parlementer.

Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah mendorong diplomasi dari segala arah. Apabila dilakukan secara bersama-sama, maka tugas diplomasi yang selama ini hanya dilaksanakan oleh para diplomat di Kementerian Luar Negeri akan semakin mudah dan produktif.

Hasilnya pun sangat dirasakan oleh rakyat berupa hubungan bilateral dan multilateral yang baik antara Indonesia dengan negara-negara sahabat dalam bentuk peningkatan investasi dan kerja sama di berbagai bidang.

“Pelaku utama diplomasi luar negeri tetap saja menteri luar negeri dan para diplomat, baik yang di Jakarta maupun yang menjadi perwakilan RI di luar negeri,” ujarnya.

Terkait dengan kemungkinan adanya penyalahgunaan, Tantowi menjelaskan, Kesetjenan DPR dan Kemenlu sudah menyiapkan berbagai langkah preventif di antaranya, paspor diplomatik itu hanya berlaku untuk kunjungan dinas sebagaimana yang diatur oleh UU MD3 serta tata tertib dan peraturan yang akan dirumuskan oleh DPR dan Kementerian Luar Negeri.

"Paspor itu hanya berlaku untuk anggota saja. Jadi sesuai dengan aturan yang berlaku," ucapnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1200 seconds (0.1#10.140)