Kala Politik Terpisah dari Budaya

Minggu, 22 Maret 2015 - 10:01 WIB
Kala Politik Terpisah...
Kala Politik Terpisah dari Budaya
A A A
Jauhnya jarak antara dunia politik dengan nilai-nilai kultural dipercaya menjadi sebab banyaknya ketimpangan yang terjadi saat ini. Semua ini dikarenakan satu hal, politik yang tidak mendasarkan diri pada nilai kebudayaan.

Tak heran, banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat dan semakin memperparah pemujaan terhadap pendangkalan-pendangkalan yang terjadi di dunia politik. Pesan inilah yang menyeruak dalam diskusi buku Kebudayaan dalam Politik karya Radhar Panca Dahana.

Ini merupakan seri kedua, setelah pekan sebelumnya, Radhar juga meluncurkan bukunya berjudul Manusia Istana . Pengamat politik Yudi Latif berpendapat, buku Radhar lebih banyak menyuarakan kritik terhadap demokrasi yang berjalan di Tanah Air. Terlebih, sosok Radhar sendiri memang tumbuh dari kritik Indonesia. Dia menilai tubuh Radhar terdiri dari banyak kritikan, artinya jika bukan kritik, itu berarti bukan Radhar.

Karena itu, Yudi mengatakan, dalam membaca buku Radhar semestinya tidak membaca sebagai kitab aksara tapi sebagai alam semesta yang kita pahami asumsi-asumsinya.

“Di balik tubuh Radhar, yang maaf saja, tirus dan ringkih, tapi dia tetap melakukan kritik terhadap kenyataan. Di balik tirusnya, dia sangat produktif menulis buku. Dia tetap mengembangkan relaksasi politik, kontras dengan yang berbadan gemuk, yang hanya mengembangkan konsumerisme,” terangnya dalam diskusi buku Kebudayaan dalam Politik milik Radhar Panca Dahana, di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pekan lalu.

Budaya-budaya seperti konsumerisme inilah yang akhirnya menghasilkan berbagai macam ketimpangan, dan kemudian terjadi prostitusi dalam arti luas. Banyak upaya yang dilakukan untuk terus mengejar arah gaya hidup atau lifestyle yang terus berubah sehingga membuat banyak orang terjerembab dalam prostitusi fisik dan intelektual.

“Tapi, seorang Radhar yang harus melakukan cuci darah tiga kali dalam seminggu tidak mau terjebak dalam prostitusi intelektual. Beliau masih bisa menghasilkan karya otokritik. Ini menjadi oasis di tengah kegersangan budaya pemujaan terhadap pendangkalan,” urainya.

Terkait konteks bukunya, Yudi melihat, sebetulnya politik bisa diarahkan ke nilai-nilai kebudayaan. Sayangnya, pilihaninitidakdiambil. Akibatnya, perkembangan kebudayaan absen dari strategi-strategi politik. Di matanya, kebudayaan telah mengalami kebisuan untuk mengaspirasi politik di Tanah Air. Sehingga, aspirasi politik Indonesia tidak berdasarkan kebudayaan Tanah Air.

Tetap Optimistis

Selain Yudi Latif, hadir juga Ketua MPR Zulkifli Hasan yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PAN sebagai pembicara. Sebelumnya Zulkifli juga pernah menjadi pembantu mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni menjabat Menteri Kehutanan.

Lalu ada juga Mahfud MD yang datang menjelang akhir acara, karena terjebak dalam kemacetan, dan Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas Rikard Bagun. Seharusnya, Wiranto dan Irman Gusman dijadwalkan hadir namun berhalangan. Adapun, diskusi ini dimoderatori oleh Benny Johanes.

Zulkifli Hasan mengakui, banyak pihak yang memang pesimistis terhadap perpolitikan di Tanah Air. Kendati demikian, dirinya tetap optimistis. “Sekarang kita harus membangun partai politik (parpol) yang modern. Bangun parpol yang tidak harus halalkan segala cara untuk kepentingan diri dan kelompok. Tapi, orientasi untuk seluruh rakyat Indonesia. Saya coba bangun dan Alhamdulillah berhasil,” ungkapnya.

Menurut lelaki asal Lampung Selatan ini, parpol haruslah mencerminkan hati nurani masyarakat. Ke depannya, sekitar 15-20 tahun lagi, Zulkifli yakin perkembangan politik Indonesia akan lebih baik. Di sisi lain, dirinya juga menceritakan pengalaman dan kegundahannya selama terjun di dunia politik.

Dia menegaskan, dirinya yang menjadi orang parpol pun pernah dibuat muak dengan kondisi politik yang ada. “Bukan hanya tukang sate, tukang soto yang merasa muak. Saya yang orang parpol juga merasa muak. Pernah suatu hari saya bertemu presiden, saya sampaikan kepada presiden jika rakyat itu perlu harapan. Tidak melihat elite politik bertengkar terus,” urainya.

Adapun, Mahfud MD menjelaskan sebetulnya yang dikatakan rusak budayanya hanyalah milik segelintir orang. Bukan di kalangan rakyat biasa. Dia mencontohkan, ada yang menyatakan bahwa budaya hukum di Indonesia paling buruk. Padahal, kerusakankerusakan biasanya hanya terjadi di tingkat atas dan kota-kota besar.

Preseden buruk ini terjadi ditengarai karena krisis kepemimpinan. Karena itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang lahir dari ranah kebudayaan agar mampu merestorasi masyarakat tentang nilai-nilai kultural dalam berpolitik.

Sedangkan, Rikard Bagun menekankan pada keseimbangan terhadap pendekatan kebudayaan yang dilakukan Radhar, yakni dengan pendekatan struktural. Menurut dia, budaya kita sudah banyak digerus oleh budaya luar sehingga sudah kehilangan orientasi kebudayaan.

Dengan demikian, diperlukan saling keterkaitan antara pemimpin dengan sistem yang ada. “Kalau sistem bobrok, pemimpin ikut bobrok. Kalau pemimpin jelek, sistem pun ikut selesai. Di masyarakat terjadi kegaduhan,” ujarnya.

Dia pun mengajak masyarakat agar tidak melulu membandingkan dengan melihat masa lalu kepemimpinan Bung Karno, Soeharto, dan presiden lainnya. Namun, harus melihat masa depan yang begitu luas, yang terus bergerak, berjalan, dan tak pernah diam. Begitu juga makna kebudayaan sesungguhnya.

Susi susanti
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8016 seconds (0.1#10.140)