Menkumham Akui Ada Diskriminasi dalam Pemberian Remisi

Jum'at, 13 Maret 2015 - 15:35 WIB
Menkumham Akui Ada Diskriminasi...
Menkumham Akui Ada Diskriminasi dalam Pemberian Remisi
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pembinaan terhadap semua terpidana termasuk kasus korupsi, setelah ada keputusan pengadilan di bawah tanggung jawab kementeriannya.

Bahkan Yasonna melihat terjadi diskriminasi dalam pemberian remisi lantaran harus mendapat persetujuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) bagi terpidana korupsi.

Menurutnya, sama halnya dengan terpidana kasus terorisme yang harus mendapat persetujuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

"Itu harus persetujuan KPK dan Kejaksaan, padahal peraturannya sehabis keputusan, proses pembinaannya ada di Kementerian Hukum (Kemenkumham), sehingga menjadi sangat diskriminatif," kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/3/2015).

Dia menjelaskan, narapidana pada dasarnya mempunyai hak untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat (PB).

Namun Yasonna tampak tidak setuju dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur PB dan remisi bagi koruptor, teroris, pengedar narkoba, pelanggaran HAM berat dan kejahatan keamanan negara.

"PP yang ada belakangan kini menimbulkan diskriminasi, itu kita kaji supaya enggak ada UU (Undang-undang) yang bertentangan dengan UU dan hal yang bersifat diskriminatif. Filosofi penahanan kita tak lagi filosofi pembalasan, filosofi sekarang correction," ucapnya.

Selain hukuman badan harus tetap dijalankan, kata dia, hak narapidana juga tidak boleh dihilangkan. Dia menawarkan usulan bagi terpidana kejahatan luar biasa seperti korupsi, hukumannya diperberat oleh pengadilan.

"Tidak whistleblower, napi koruptor tidak mau kooperatif, itu menjadi alasan pemberat hukuman, hakimlah yang memberikan besaran hukumannya. Lebih baik kita buat hukuman yang sifatnya, misalnya korupsinya Rp2 miliar, ya sudah Rp2 miliar harus dibayar, disita dan ditambah pemberatan," imbuhnya.

Menteri asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengaku sudah mengundang beberapa elemen untuk membahas hukuman bagi narapidana korupsi.

Namun, pihak yang diundang seperti KPK dan ICW tidak hadir. Dia menantang, dalam mencari formula hukuman yang layak bagi terpidana korupsi harus diperdebatkan secara ilmiah.

"Kemarin kita undang KPK, sudah siap-siap katanya tidak mau datag. Kita undang ICW, tidak mau datang. Kalau mau berdebat, berdebat secara ilmiah," tegasnya.

"Mari kita duduk bersama, ICW tidak mau datang nanti kritik dari belakang, kita berdebat, jangan Anda udak-udak dari belakang dengan kritik yang tidak karuan," tandasnya.
(maf)
Berita Terkait
207 Warga Binaan di...
207 Warga Binaan di Rutan Pangkep Terima Remisi Kemerdekaan
Sebanyak 13.851 Napi...
Sebanyak 13.851 Napi di Jatim Dapat Remisi Khusus Idul Fitri
Napi Kasus Asusila di...
Napi Kasus Asusila di Kota Parepare Dapat Remisi Bebas
7.577 Napi di Sumsel...
7.577 Napi di Sumsel akan Terima Remisi Kemerdekaan, 91 Langsung Bebas
61 Warga Binaan Rutan...
61 Warga Binaan Rutan Salatiga Terima Remisi Idulfitri, 2 Or Bebas
121.026 Narapidana Terima...
121.026 Narapidana Terima Remisi Khusus Lebaran, 550 Orang Langsung Bebas
Berita Terkini
5 Letjen TNI yang Setahun...
5 Letjen TNI yang Setahun Lebih Tak Ganti Jabatan, Salah Satunya Sudah 4 Tahun Duduki Posisi yang Sama
3 jam yang lalu
KPK Sita Motor dari...
KPK Sita Motor dari Rumah Ridwan Kamil
6 jam yang lalu
Syawal Momen Penguatan...
Syawal Momen Penguatan Silaturahim dan Perayaan Kearifan Lokal untuk Kebersamaan
6 jam yang lalu
KPK Tanda Tangani Surat...
KPK Tanda Tangani Surat Pemanggilan Ridwan Kamil Pekan Ini
6 jam yang lalu
WNI di Antalya Turkiye...
WNI di Antalya Turkiye Antusias Sambut Kedatangan Prabowo
7 jam yang lalu
Sekjen Prabowo Mania...
Sekjen Prabowo Mania Ungkap Peran Besar Dasco dalam Pertemuan Prabowo-Megawati
8 jam yang lalu
Infografis
Jusuf Muda Dalam, Menteri...
Jusuf Muda Dalam, Menteri yang Dihukum Mati karena Korupsi
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved