Ironi Kasus Asyani

Jum'at, 13 Maret 2015 - 10:19 WIB
Ironi Kasus Asyani
Ironi Kasus Asyani
A A A
Seorang nenek berusia 70 tahun, Asyani, harus menjalani tahanan dan proses hukum karena dituduh mencuri 7 batang kayu jati. Padahal, kayu dimaksud sudah dipotong almarhum suaminya 5 tahun lalu dari lahan sendiri yang kini sudah dijual.

Atas kasus tersebut, sang nenek pun diancam hukuman 5 tahun penjara! Tangisan dan simpuh sang nenek di depan majelis hakim tidak menyurutkan niat pengadilan untuk meneruskan perkara tersebut. Siapa pun yang membaca berita kasus yang kini tengah diadili di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo tersebut sudah pasti mengelus dada.

Bukan sekadar persoalan bagaimana seorang nenek mengambil kayu dari lahan sendiri harus berhadapan dengan hukum, tapi juga penggunaan undang-undang illegal logging. Jika memang Asyani dan keluarganya mencuri 7 batang kayu untuk dibuat perkakas rumah tangga, pantaskah dia harus dijerat dengan pasal yang demikian berat? Langkah penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, menjerat Asyani dengan undang-undang illegal logging merupakan persoalan serius.

Sebab pelanggaran atas undang-undang tersebut tidak bisa disamakan dengan tindak pidana biasa seperti pencurian. Tingkat keseriusan kasus illegal logging sebanding dengan kasus korupsi karena di dalamnya ada beberapa lapisan tindak pidana seperti kejahatan terhadap keamanan negara, keamanan umum, hak asasi manusia, dan pencurian itu sendiri.

Adapun apa yang dilakukan Asyani, jika memang benar bersalah melakukan penebangan, tidak dalam skala masif, tidak melibatkan jaringan, tidak mengandung kepentingan motif ekonomi, dan lainnya. Lantas mengapa penegak hukum begitu bersemangat menghakimi Asyani? Sorotan pun patut dialamatkan ke Perhutani yang dengan kekuasaan yang dimiliki menyeret kaum papa ke penjara.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya kembali ke realitas tentang ironi penegakan hukum di Tanah Air. Lembaga hukum menciptakan citra seolah-olah telah menegakkan hukum. Padahal, mereka hanya menciptakan citra palsu (pseudo image) karena dalam kenyataannya mereka sama sekali tidak pernah menciptakan keadilan sejati.

Kondisi serupa juga di antaranya pernah dialami Nenek Minah, 55, yang diganjar hukuman 1 bulan 15 hari setelah diseret ke pengadilan oleh sebuah perusahaan karena perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao. Begitu pun nasib AAL, 15, seorang pelajar SMK di Palu yang diadili dan diancam 5 tahun penjara karena mencuri sandal jepit milik seorang anggota Brimob.

Sang anggota polisi yang sebelumnya sudah menginterogasi dan melakukan kekerasan hanya diberi sanksi tujuh hari. Tapi bagaimana jika yang dihadapi masuk dalam kategori white collar crime? Dari fakta yang ada, sebagian besar implementasi hukum sering kali tidak menunjukkan tajinya, termasuk dalam kasus illegal logging.

Lihat saja kasus Thedy Antoni yang diputus bebas oleh PN Padang, vonis bebas Adelin Lis oleh PN Mandailing Natal. Begitu pula Aiptu Labora Sitorus yang masih bisa berkeliaran bebas walaupun vonis berkekuatan hukum tetap sudah dijatuhkan. Polda Riau juga pernah mengeluarkan SP3 14 perusahaan HTI yang diduga melakukan illegal logging.

Padahal dampak kerusakan akibat kejahatan yang mereka lakukan sungguh luar biasa. Hasil penelitian Greenpeace menemukan tingkat kerusakan hutan di Tanah Air mencapai rata-rata 3,8 juta hutan per tahun. Kementerian Kehutanan menyebut adanya kerugian finansial yang mencapai Rp83 miliar per hari. Apakah Asyani bisa disamakan dengan Adelin Lis dkk, termasuk kerugian yang ditimbulkan dari penebangan 7 batang pohon? Tentu saja tidak sebanding.

Dengan pemahaman seperti ini, banyak pakar hukum mengkritik langkah penegak hukum di Situbondo yang sangat berlebihan karena semestinya mereka menerapkan restorative justice . Karena itu pulalah, sangat bisa dipahami jika kemudian publik bereaksi atas kasus yang menimpa Asyani.

Kini bola telanjur di tangan pengadilan. Para pengadil tentu diharapkan tergugah dan merespons banyaknya suara sumbang yang muncul di masyarakat dengan menangguhkan penahanan atau memvonis bebas Asyani. Jika tidak, ironi penegakan hukum di Tanah Air masih menancapkan dominasinya.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9787 seconds (0.1#10.140)