Urgensi Pelurusan Reformasi Agraria

Kamis, 12 Maret 2015 - 10:36 WIB
Urgensi Pelurusan Reformasi Agraria
Urgensi Pelurusan Reformasi Agraria
A A A
MUHAMMAD FACHRI BACHTIAR
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Industri,
Aktivis HMI,
Institut Teknologi Surabaya

Dewasa ini, seiring bertambahnya waktu dari tahun ke tahun, populasi penduduk di negeri ini kian bertambah pesat dan terjadilah ledakan penduduk sehingga memaksa terjadinya pengalihan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi rumah-rumah penduduk.

Masalahnya, untuk lahan-lahan yang tersisa saat ini, pemerintah lebih memilih memberikan kebebasan mengelola hutan berjuta hektare itu kepada pemilik modal besar daripada membiarkannya dikelola oleh masyarakat yang bahkan masih banyak yang belum memiliki lahan. Data yang didapat dari Pusdatin Kementan menunjukkan bahwa luas lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia adalah 39,5 juta ha.

Hal yang mengejutkan, ternyata masyarakat hanya diberi ”jatah” mengelola lahan tidak sampai 30% jumlah tersebut, sedangkan sisanya lebih 70% lahan tersebut ”diperebutkan” oleh lebih 1.200 perusahaan bermodal raksasa yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

Keadaan ini diperparah dengan di sisi lain keinginan bangsa ini untuk diakui eksistensinya di mata dunia memaksa Indonesia mengambil satu langkah spekulasi ekstrem yaitu pengubahan daerah-daerah sentral pertanian menjadi daerah-daerah industri. Seperti contoh terkini terjadinya konflik agraria yang terjadi di Rembang, Jawa tengah, di mana operasi pabrik semen sampai menggusur lahan pertanian dan perkebunan warga sekitarnya.

Konflik agraria yang lagi maraknya terjadi antara masyarakat dengan pihak perusahaan umumnya disebabkan ketidakjelasan tapal batas. Jika tidak diatasi, konflik agraria ini bisa menjadi masalah yang serius di masa depan. Oleh karena itu, gerakan untuk reformasi agraria merupakan kebutuhan yang mendesak.

Tetapi permasalahan baru yang muncul adalah, apakah reformasi agraria itu selalu harus dilakukan dengan bagi-bagi tanah belaka? Bukankah pengalaman masa lalu mengajarkan kepada kita, bahwa bagi-bagi tanah yang dikenal sebagai landreform dengan program redistribusi tanahnya, ternyata justru menjadi sumber utama pertentangan politik antara 1962-1965.

Gagalnya pelaksanaan landreform itu, pada akhirnya menjadi tragedi dalam sejarah Indonesia. Apakah kita akan mengulangi kembali tragedi itu? Dengan fakta dan pengalaman sejarah itu, reformasi agraria kali ini seharusnya tidak lagi hanya sekedar melakukan bagi-bagi tanah dengan ”kriteria tertentu”. Reformasi agraria itu harus mampu menghasilkan pembaruan menyeluruh terhadap hukum tanah nasional kita, khususnya UUPA.

UUPA telah berusia hampir lima puluh tahun, tetapi negeri ini tidak pernah putus dari sengketa demi sengketa pertanahan, yang pada akhirnya bahkan berkembang menjadi konflik pertanahan. Ironisnya, dalam setiap sengketa pertanahan, dalam setiap konflik pertanahan, dapat dipastikan rakyat selalu menjadi pecundang. Rakyat selalu menjadi pihak yang kalah atau dikalahkan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6117 seconds (0.1#10.140)