Pemerintah Dinilai Intervensi Parpol
A
A
A
JAKARTA - Kalangan politisi DPR menilai pemerintah mengintervensi dan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Hal ini terkait dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly yang mengesahkan kepengurusan hasil Munas Partai Golkar Ancol atau biasa disebut kubu Agung Laksono.
Reaksi demikian di antaranya disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Bambang Soesatyo. Mereka pun sudah menyiapkan perlawanan. Adapun Partai Golkar hasil Munas Bali, selain melaporkan dugaan pemalsuan surat kuasa yang dilakukan sejumlah petinggi Golkar kubu Agung Laksono, kemarin mulai melempar wacana menggelindingkan hak angket. “Menkumham lakukan abuseofpower.
Ini jelas keputusan politik, bukan keputuan hukum,” ujar Fadli Zon kepada wartawan di GedungDPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Fadli menandaskan, gejala dari penyalahgunaan kewenangan pemerintah telah terlihat sebelum Munas Bali digelar, yakni ketika Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno ikut campur perihal tempat dan tanggal pelaksanaan Munas. “Jelas DPP Ical (Aburizal Bakrie) itu sah, ada DPD I dan DPD II yang hadir,” papar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.
Dia lantas menilai Menkumham telah menodai dan menginjak- injak harga diri parpol. Dalam pandangannya kejadian ini persis seperti zaman di mana partai dipecah-belah.”Ini akan merugikan pemerintah sendiri. Artinya kita tidak becus urus pemerintahan,” kata Fadli Masih terkait persoalan tersebut, para elite partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) akan mengadakan rapat pertemuan rutin, termasuk juga Partai Golkar kepengurusan Ical.
Dia mengungkapkan dukungannya jika kubu Ical menggunakanhakangket. “Golkarkan masih Ical. Kalau ada intervensi pemerintahkitalihat saja. Inikan belum berhenti, masih koma,” tambahnya. Fahri Hamzah secara tegas menyebut langkah Menkumham sebagai bentuk intervensi pemerintah atas permasalahan internal partai. Padahal, sebelumnya antara Jokowi dan KMP sudah membangun komitmen saling pengertian untuk tidak saling ganggu dan intervensi di antara partai.
Karena itu, dia mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berhati-hati. Jika langkah para pembantunya yang salah dibiarkan saja, politik saling “ngerjain “ akan terus terjadi, yang akibatnya proses pembangunan akan terganggu. “Apa yang dilakukan Menkumham akan membuat munculnya kembali polarisasi yang selama ini sudah mulai hilang,” tambahnya.
Fahri juga mengingatkan Jokowi akan pesan politik Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk tidak salingintervensi. Halitulantaran dulu PDIP juga pernah menjadi korban intervensi pemerintah era Orde Baru. “PDIP sekarang jadi penguasa sama sekali tidak boleh melakukan apa yang pernah orang lain lakukan terhadap PDIP,” desaknya.
Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, Menkumham telah melakukan penzaliman terhadap Partai Golkar. Tidak ada pilihan lain bagi kubu partainya untuk melakukan perlawanan kepada Menkumham, termasuk menggalang hak angket di DPR atas keputusan “ngawur “ yang memanipulasi keputusan Mahkamah Partai Golkar.
“Kami juga mendukung jika Presiden Jokowi mewacanakan untuk melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini. Dan salah satu menteri yang harus di-reshuffle adalah Menkumham. Selama ini Menkumham telah menjadi sumber masalah yang kebijakannya kerap membuat gaduh karena tidak profesional,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR ini menyesalkan langkah Menkumham karena kebijakan yang memihak kubu Ancol lewat surat penjelasannya yang dinilai sangat manipulatif. Alasannya, karena konsideran surat penjelasan pada paragraf pertama itu keliru. Tidak ada diktum dalam putusan Mahkamah Partai yang menyatakan mengabulkan dan menerima kepengurusan salah satu pihak yang berselisih.
“Jadi, sekali lagi. Kalau Menkumham atas nama presiden atau pemerintah kemudian memutuskan untuk memihak kubu Ancol, jelas itu pelanggaran undang-undang. Untuk itu DPR patut menggunakan salah satu hak dari hak interpelasi, hak angket atau bahkan hak menyatakan pendapat untuk meluruskan jalannya pemerintahan ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Ancol Agung Laksono tampaknya tidak menggubris reaksi negatif atas keputusan Kemenkumham yang memenangkan kubunya. Dia bahkan berencana merombak kepengurusan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut, termasuk di parlemen.
“O ya, memang harus diubah. Kemarin kan baru surat penjelasan dari Menkumham bahwa putusan Mahkamah Partai Golkar yang menetapkan kubu Ancolitusah. Saya dimintauntuk segera mengirimkan daftar kepengurusan yang sudah di-mix dengan kubu Bali,” ujar Agung di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta Barat. Sementara itu, Presiden Jokowi meminta Menkumham melaporkan kajian soal partai politik, khususnya Partai Golkar danPPP.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan bahwa kajian tersebut sudah disampaikan, namun belum dibahas dalam rapat terbatas. “Belum dibahas dalam rapat, mohonditunggu arahanPresiden selanjutnya,” ujarnya. Menkumham menyesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol alias Kubu Agung Laksono. Menkumham menegaskan keputusan yang diambil itu sudah berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU Nomor 2/2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
Dalam pasal tersebut keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat. Sebelumnya, Menkumham juga menerbitkan SK yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romahurmuzy alias Romi hasil Muktamar Surabaya 2014. Meskipun SK tersebut kemudian dibatalkan melalui PTUN Jakarta yang mengabulkan permohonan PPP kubu Djan Faridz dari Muktamar Jakarta 2014, Menkumham resmi mengajukan banding terhadap putusan PTUN tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Cabut Surat Menkumham
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menganggap kebijakan Menkumham salah dan bertentangan dengan hukum. “Ini politis, terlalu sulit untuk tidak mengatakan tidak politis, tidak campur tangan. Dalam demokrasi, dia (Menkumham) masuk dalam kualifikasi busuk,” ujar Margarito kemarin. Karenanya, demi martabat kepemimpinan Presiden Jokowi, sambung Margarito, sebaiknya pemerintah segera menarik atau mencabut surat itu.
Hal itu merupakan langkah paling sportif dan elegan yang bisa dilakukan pemerintahsehinggatidakmembuat kacau negara dan konstitusi. “KalauJokowienggak nyuruh (menangkan Agung), demi martabat pemerintah hentikan ini orang (Menkumham). Sebab, sudah dua kali melakukan kesalahan, ada PPP dan Golkar. Nanti PAN, Demokrat, dan sebagainya. Masa depan demokrasi habis kalau bangsa dikelola orang seperti ini,” sindirnya.
Margarito berharap tidak ada motif tertentu dari Menkumham dalam menangani dualisme kepengurusan di Partai Golkar, termasuk terkait pertarungan KMP versus KIH. Bila itu terjadi, maka sama saja mengembalikan sistem demokrasi ke totaliter. “Saya senang PPP dan Golkar lakukan perlawanan.
Sebab, Menkumham sudah melampaui kewenangan, sudah sewenang-wenang dan melakukan campur tangan. Reformasi ada karena kitaingin mengubah sistem otoriter zaman Orba, tapi kenapa sekarang diulangi lagi,” keluh Margarito. Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio, mengatakan, mestinya Menkumham tidak bisa mengambil keputusan atas pendapat pribadi para hakim, melainkan harus berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar.
Menurut Agung, dalam menangani konflik internal partai Menkumham harusnya didasarkan pada prinsip kehati-hatian seperti memeriksa dokumen dan memastikan apakah ada putusan Mahkamah Partai Golkar atau tidak. Sebab, hal itu dampaknya sangat besar terhadap internal partai.
“Sikap Menkumham ini mencederai kehidupan partai politik karena keputusan tidak berdasarkan surat keputusan Mahkamah Partai Golkar. Menkumham telah membuat tafsir atau kesimpulan terhadap pendapat hakim, padahal tidak ada keputusan,” katanya.
Sucipto/Kiswondari/Ant
Reaksi demikian di antaranya disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Bambang Soesatyo. Mereka pun sudah menyiapkan perlawanan. Adapun Partai Golkar hasil Munas Bali, selain melaporkan dugaan pemalsuan surat kuasa yang dilakukan sejumlah petinggi Golkar kubu Agung Laksono, kemarin mulai melempar wacana menggelindingkan hak angket. “Menkumham lakukan abuseofpower.
Ini jelas keputusan politik, bukan keputuan hukum,” ujar Fadli Zon kepada wartawan di GedungDPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Fadli menandaskan, gejala dari penyalahgunaan kewenangan pemerintah telah terlihat sebelum Munas Bali digelar, yakni ketika Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno ikut campur perihal tempat dan tanggal pelaksanaan Munas. “Jelas DPP Ical (Aburizal Bakrie) itu sah, ada DPD I dan DPD II yang hadir,” papar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.
Dia lantas menilai Menkumham telah menodai dan menginjak- injak harga diri parpol. Dalam pandangannya kejadian ini persis seperti zaman di mana partai dipecah-belah.”Ini akan merugikan pemerintah sendiri. Artinya kita tidak becus urus pemerintahan,” kata Fadli Masih terkait persoalan tersebut, para elite partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) akan mengadakan rapat pertemuan rutin, termasuk juga Partai Golkar kepengurusan Ical.
Dia mengungkapkan dukungannya jika kubu Ical menggunakanhakangket. “Golkarkan masih Ical. Kalau ada intervensi pemerintahkitalihat saja. Inikan belum berhenti, masih koma,” tambahnya. Fahri Hamzah secara tegas menyebut langkah Menkumham sebagai bentuk intervensi pemerintah atas permasalahan internal partai. Padahal, sebelumnya antara Jokowi dan KMP sudah membangun komitmen saling pengertian untuk tidak saling ganggu dan intervensi di antara partai.
Karena itu, dia mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berhati-hati. Jika langkah para pembantunya yang salah dibiarkan saja, politik saling “ngerjain “ akan terus terjadi, yang akibatnya proses pembangunan akan terganggu. “Apa yang dilakukan Menkumham akan membuat munculnya kembali polarisasi yang selama ini sudah mulai hilang,” tambahnya.
Fahri juga mengingatkan Jokowi akan pesan politik Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk tidak salingintervensi. Halitulantaran dulu PDIP juga pernah menjadi korban intervensi pemerintah era Orde Baru. “PDIP sekarang jadi penguasa sama sekali tidak boleh melakukan apa yang pernah orang lain lakukan terhadap PDIP,” desaknya.
Politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, Menkumham telah melakukan penzaliman terhadap Partai Golkar. Tidak ada pilihan lain bagi kubu partainya untuk melakukan perlawanan kepada Menkumham, termasuk menggalang hak angket di DPR atas keputusan “ngawur “ yang memanipulasi keputusan Mahkamah Partai Golkar.
“Kami juga mendukung jika Presiden Jokowi mewacanakan untuk melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini. Dan salah satu menteri yang harus di-reshuffle adalah Menkumham. Selama ini Menkumham telah menjadi sumber masalah yang kebijakannya kerap membuat gaduh karena tidak profesional,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR ini menyesalkan langkah Menkumham karena kebijakan yang memihak kubu Ancol lewat surat penjelasannya yang dinilai sangat manipulatif. Alasannya, karena konsideran surat penjelasan pada paragraf pertama itu keliru. Tidak ada diktum dalam putusan Mahkamah Partai yang menyatakan mengabulkan dan menerima kepengurusan salah satu pihak yang berselisih.
“Jadi, sekali lagi. Kalau Menkumham atas nama presiden atau pemerintah kemudian memutuskan untuk memihak kubu Ancol, jelas itu pelanggaran undang-undang. Untuk itu DPR patut menggunakan salah satu hak dari hak interpelasi, hak angket atau bahkan hak menyatakan pendapat untuk meluruskan jalannya pemerintahan ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Ancol Agung Laksono tampaknya tidak menggubris reaksi negatif atas keputusan Kemenkumham yang memenangkan kubunya. Dia bahkan berencana merombak kepengurusan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut, termasuk di parlemen.
“O ya, memang harus diubah. Kemarin kan baru surat penjelasan dari Menkumham bahwa putusan Mahkamah Partai Golkar yang menetapkan kubu Ancolitusah. Saya dimintauntuk segera mengirimkan daftar kepengurusan yang sudah di-mix dengan kubu Bali,” ujar Agung di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta Barat. Sementara itu, Presiden Jokowi meminta Menkumham melaporkan kajian soal partai politik, khususnya Partai Golkar danPPP.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan bahwa kajian tersebut sudah disampaikan, namun belum dibahas dalam rapat terbatas. “Belum dibahas dalam rapat, mohonditunggu arahanPresiden selanjutnya,” ujarnya. Menkumham menyesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol alias Kubu Agung Laksono. Menkumham menegaskan keputusan yang diambil itu sudah berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU Nomor 2/2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik.
Dalam pasal tersebut keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat. Sebelumnya, Menkumham juga menerbitkan SK yang mengesahkan kepengurusan PPP versi Romahurmuzy alias Romi hasil Muktamar Surabaya 2014. Meskipun SK tersebut kemudian dibatalkan melalui PTUN Jakarta yang mengabulkan permohonan PPP kubu Djan Faridz dari Muktamar Jakarta 2014, Menkumham resmi mengajukan banding terhadap putusan PTUN tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Cabut Surat Menkumham
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menganggap kebijakan Menkumham salah dan bertentangan dengan hukum. “Ini politis, terlalu sulit untuk tidak mengatakan tidak politis, tidak campur tangan. Dalam demokrasi, dia (Menkumham) masuk dalam kualifikasi busuk,” ujar Margarito kemarin. Karenanya, demi martabat kepemimpinan Presiden Jokowi, sambung Margarito, sebaiknya pemerintah segera menarik atau mencabut surat itu.
Hal itu merupakan langkah paling sportif dan elegan yang bisa dilakukan pemerintahsehinggatidakmembuat kacau negara dan konstitusi. “KalauJokowienggak nyuruh (menangkan Agung), demi martabat pemerintah hentikan ini orang (Menkumham). Sebab, sudah dua kali melakukan kesalahan, ada PPP dan Golkar. Nanti PAN, Demokrat, dan sebagainya. Masa depan demokrasi habis kalau bangsa dikelola orang seperti ini,” sindirnya.
Margarito berharap tidak ada motif tertentu dari Menkumham dalam menangani dualisme kepengurusan di Partai Golkar, termasuk terkait pertarungan KMP versus KIH. Bila itu terjadi, maka sama saja mengembalikan sistem demokrasi ke totaliter. “Saya senang PPP dan Golkar lakukan perlawanan.
Sebab, Menkumham sudah melampaui kewenangan, sudah sewenang-wenang dan melakukan campur tangan. Reformasi ada karena kitaingin mengubah sistem otoriter zaman Orba, tapi kenapa sekarang diulangi lagi,” keluh Margarito. Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio, mengatakan, mestinya Menkumham tidak bisa mengambil keputusan atas pendapat pribadi para hakim, melainkan harus berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar.
Menurut Agung, dalam menangani konflik internal partai Menkumham harusnya didasarkan pada prinsip kehati-hatian seperti memeriksa dokumen dan memastikan apakah ada putusan Mahkamah Partai Golkar atau tidak. Sebab, hal itu dampaknya sangat besar terhadap internal partai.
“Sikap Menkumham ini mencederai kehidupan partai politik karena keputusan tidak berdasarkan surat keputusan Mahkamah Partai Golkar. Menkumham telah membuat tafsir atau kesimpulan terhadap pendapat hakim, padahal tidak ada keputusan,” katanya.
Sucipto/Kiswondari/Ant
(bbg)