Memahami Potensi Agraris Indonesia
A
A
A
SAVRAN BILLAHI
Mahasiswa Ilmu Sejarah,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia;
Sekretaris Umum Pers Suara Mahasiswa UI,
Universitas Indonesia
Pada zaman kolonial, kondisi agraria di wilayah Indonesia sangat menjanjikan sehingga mengundang bangsa-bangsa lain untuk mengeruk segala potensi alam di Indonesia.
Bahkan, Clifford Geertz menyatakan bahwa Belanda telah mengeluarkan uang untuk membangun sarana-sarana irigasisebesar250.000.000gulden. Berpindah pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia berhasil menasionalisasi semua perusahaan asing, termasuk perusahaan perkebunan dan pertanian.
Akan tetapi, situasi politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan harapan akan kemandirian Indonesia dalam bidang agraris juga mencemaskan, bahkan di beberapa sektor mengalami kemunduran, seperti produksi teh dan tembakau yang merosot jauh dibandingkan pada 1939. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab jatuhnya Soekarno menjadi presiden, massa melakukan demonstrasi di jalan-jalan menuntut pengembangan sektor perkebunan dan pertanian.
Setelah Soeharto naik, demam revolusi hijau sedang menyebar, Filipina yang pada saat itu menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan hal itu diikuti Indonesia. Pada 1967, pemerintah Indonesia menandatangani kontrak dengan CIBA (sebuah perusahaan kimia) yang bertujuan menciptakan sebuah teknologi pertanian baru, seperti pupuk dan bibit unggul.
Program revolusi hijau pun digalakkan, Koperasi Unit Desa (KUD), Badan Urusan Logistik (Bulog), dan tiga program utama, yakni intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi dibentuk. Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia mengalami swasembada dan pada 1986, Soeharto mendapatkan penghargaan dari badan pangan dan pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agricultural Organization (FAO).
Tetapi kejayaan itu hanya sebentar, setelah tahun 1992 Indonesia selalu mengimpor beras. Janji pemerintahan Jokowi-JK yang akan mendorong swasembada di sektor agraris mulai tahun ini hingga 2017 patut menjadi perhatian. Banyak usaha yang dilakukan pemerintahuntukmerealisasikanjanjiini, sepertiturunke sawah, pengawalan harga bibit, pembangunan irigasi, perbaikan pengairan tersier, hingga pengadaan pupuk gratis.
Hal itu tentu perlu dihargai, namun pemerintah sejatinya perlu belajar dari perkembangan sejarah bangsa mengenai potensi Indonesia sebagai negara agraris. Keberhasilan dan kegagalan bangsa memproduksi hasil bumi tentu ada sebab. Oleh karena itu, pelajaran berharga dari sejarah perlu dikaji serius agar kebijakan yang diambil untuk menyukseskan janji swasembada lebih efektif dan berhasil tanpa mengulang kegagalan.
Mahasiswa Ilmu Sejarah,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia;
Sekretaris Umum Pers Suara Mahasiswa UI,
Universitas Indonesia
Pada zaman kolonial, kondisi agraria di wilayah Indonesia sangat menjanjikan sehingga mengundang bangsa-bangsa lain untuk mengeruk segala potensi alam di Indonesia.
Bahkan, Clifford Geertz menyatakan bahwa Belanda telah mengeluarkan uang untuk membangun sarana-sarana irigasisebesar250.000.000gulden. Berpindah pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia berhasil menasionalisasi semua perusahaan asing, termasuk perusahaan perkebunan dan pertanian.
Akan tetapi, situasi politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan harapan akan kemandirian Indonesia dalam bidang agraris juga mencemaskan, bahkan di beberapa sektor mengalami kemunduran, seperti produksi teh dan tembakau yang merosot jauh dibandingkan pada 1939. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab jatuhnya Soekarno menjadi presiden, massa melakukan demonstrasi di jalan-jalan menuntut pengembangan sektor perkebunan dan pertanian.
Setelah Soeharto naik, demam revolusi hijau sedang menyebar, Filipina yang pada saat itu menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan hal itu diikuti Indonesia. Pada 1967, pemerintah Indonesia menandatangani kontrak dengan CIBA (sebuah perusahaan kimia) yang bertujuan menciptakan sebuah teknologi pertanian baru, seperti pupuk dan bibit unggul.
Program revolusi hijau pun digalakkan, Koperasi Unit Desa (KUD), Badan Urusan Logistik (Bulog), dan tiga program utama, yakni intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi dibentuk. Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia mengalami swasembada dan pada 1986, Soeharto mendapatkan penghargaan dari badan pangan dan pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agricultural Organization (FAO).
Tetapi kejayaan itu hanya sebentar, setelah tahun 1992 Indonesia selalu mengimpor beras. Janji pemerintahan Jokowi-JK yang akan mendorong swasembada di sektor agraris mulai tahun ini hingga 2017 patut menjadi perhatian. Banyak usaha yang dilakukan pemerintahuntukmerealisasikanjanjiini, sepertiturunke sawah, pengawalan harga bibit, pembangunan irigasi, perbaikan pengairan tersier, hingga pengadaan pupuk gratis.
Hal itu tentu perlu dihargai, namun pemerintah sejatinya perlu belajar dari perkembangan sejarah bangsa mengenai potensi Indonesia sebagai negara agraris. Keberhasilan dan kegagalan bangsa memproduksi hasil bumi tentu ada sebab. Oleh karena itu, pelajaran berharga dari sejarah perlu dikaji serius agar kebijakan yang diambil untuk menyukseskan janji swasembada lebih efektif dan berhasil tanpa mengulang kegagalan.
(bbg)