Selamatkan Lahan Petani
A
A
A
Muqtafiah
Mahasiswi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Indonesia pernah dikenal sebagai negara berswasembada pangan, yakni pada tahun 1984. Tapi berbeda dengan kondisi sekarang, Indonesia sepertinya lebih pantas mendapatkan julukan ”mati di lumbung sendiri”.
Ironis memang, negara yang dikenal sebagai pemilik kesuburan tanah yang tinggi ini ternyata harus mengimpor beras dalam jumlah yang tak sedikit. Terlebih perkembangan zaman yang terus memberikan perubahan, tak mampu diimbangi petani kita. Permasalahan petani bukan hanya terletakpada hama dan gagal panen, tapi juga terletak pada ketersediaan lahan. Sangat banyak petani gurem di Indonesia yang memiliki lahan di bawah 0.25 hektare.
Dalam 10 tahun belakangan, lahan pertanian banyak yang harus dikorbankan untuk industrialisasi. Sering kali masalah yang demikian ini dianggap sepele karena ada yang berpendapat bahwa bercocok tanam tidak harus di lahan terbuka, melainkan bisa dilakukan di gedung seperti yang terjadi di Jepang. Tapi sebelumnya kita lihat dulu bagaimana sumber daya manusia (SDM) antara Indonesia dengan Jepang, petani di negara kita rata-rata hanya memiliki riwayat pendidikan sebatas SD.
Sejarah perekonomian memperlihatkan terjadinya pergeseran struktur dan sistem ekonomi suatu negara yang mengalami pembangunan. Dari sifat agraris tradisional menjadi industrial modern. Clifford Geertz telah membuat jarak dalam rangka memahami faktor internal dalam kaitannya dengan faktor eksternal. Faktor internal akhirnya hancur karena harus berinteraksi dengan faktor luar yang diindikasikan dengan hancurnya ekologi dan sistem ekonomi pedesaan.
Dan tidak menutup kemungkinan masyarakat pertanian Indonesia akan beralih menjadi masyarakat industri. Lahan pertanian lebih banyak kita jumpai di daerah Pulau Jawa karena memang dikenal dengan tanahnya yang subur untuk berbagai macam jenis tanaman. Tapi masalahnya adalah di Jawa pulalah industrialisasi itu berkembang pesat. Sering kali alasan pesatnya industrialisasi ini adalah lengkapnya infrastruktur di Jawa, tapi justru di Jawalah yang mampu memberikan buruh murah karena kepadatan penduduknya.
Dilema besar sedang dialami pemerintah, di satu sisi pemerintah harus mengurangi angka pengangguran dengan mendirikan industri, di sisi yang lain pemerintah juga harus memperhatikan ketahanan pangan negara kita. Karena sebagai negara agraris seharusnya kita malu untuk mengimpor beras.
Maka dari itu, kebijakan pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara pertanian dan industri. Pemerintah diharapkan tidak memihak pada pemilik modal dengan membuka lahan industri yang berlebihan, pemerintah juga harus memperhatikan nasib kelangsungan para petani.
Mahasiswi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Indonesia pernah dikenal sebagai negara berswasembada pangan, yakni pada tahun 1984. Tapi berbeda dengan kondisi sekarang, Indonesia sepertinya lebih pantas mendapatkan julukan ”mati di lumbung sendiri”.
Ironis memang, negara yang dikenal sebagai pemilik kesuburan tanah yang tinggi ini ternyata harus mengimpor beras dalam jumlah yang tak sedikit. Terlebih perkembangan zaman yang terus memberikan perubahan, tak mampu diimbangi petani kita. Permasalahan petani bukan hanya terletakpada hama dan gagal panen, tapi juga terletak pada ketersediaan lahan. Sangat banyak petani gurem di Indonesia yang memiliki lahan di bawah 0.25 hektare.
Dalam 10 tahun belakangan, lahan pertanian banyak yang harus dikorbankan untuk industrialisasi. Sering kali masalah yang demikian ini dianggap sepele karena ada yang berpendapat bahwa bercocok tanam tidak harus di lahan terbuka, melainkan bisa dilakukan di gedung seperti yang terjadi di Jepang. Tapi sebelumnya kita lihat dulu bagaimana sumber daya manusia (SDM) antara Indonesia dengan Jepang, petani di negara kita rata-rata hanya memiliki riwayat pendidikan sebatas SD.
Sejarah perekonomian memperlihatkan terjadinya pergeseran struktur dan sistem ekonomi suatu negara yang mengalami pembangunan. Dari sifat agraris tradisional menjadi industrial modern. Clifford Geertz telah membuat jarak dalam rangka memahami faktor internal dalam kaitannya dengan faktor eksternal. Faktor internal akhirnya hancur karena harus berinteraksi dengan faktor luar yang diindikasikan dengan hancurnya ekologi dan sistem ekonomi pedesaan.
Dan tidak menutup kemungkinan masyarakat pertanian Indonesia akan beralih menjadi masyarakat industri. Lahan pertanian lebih banyak kita jumpai di daerah Pulau Jawa karena memang dikenal dengan tanahnya yang subur untuk berbagai macam jenis tanaman. Tapi masalahnya adalah di Jawa pulalah industrialisasi itu berkembang pesat. Sering kali alasan pesatnya industrialisasi ini adalah lengkapnya infrastruktur di Jawa, tapi justru di Jawalah yang mampu memberikan buruh murah karena kepadatan penduduknya.
Dilema besar sedang dialami pemerintah, di satu sisi pemerintah harus mengurangi angka pengangguran dengan mendirikan industri, di sisi yang lain pemerintah juga harus memperhatikan ketahanan pangan negara kita. Karena sebagai negara agraris seharusnya kita malu untuk mengimpor beras.
Maka dari itu, kebijakan pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara pertanian dan industri. Pemerintah diharapkan tidak memihak pada pemilik modal dengan membuka lahan industri yang berlebihan, pemerintah juga harus memperhatikan nasib kelangsungan para petani.
(ars)