Muhtar Ependy Dihukum 5 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghukum pemilik PT Promic Internasional sekaligus orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar, Muhtar Ependy, dengan pidana lima tahun penjara.
Majelis yang terdiri atas Supriyono selaku ketua merangkap anggota, dengan anggota M Muchlis, Saiful Arif, Alexander Marwata, dan Sofialdi meyakini Muhtar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana korupsi yang berkaitan dengan penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang2013danKabupaten Empat Lawang 2013 dalam dua delik.
Pertama, merintangi secara tidak langsung penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi. Kedua, dengan sengaja tidak memberikan keterangan, memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan dan persidangan dengan terdakwa Akil Mochtar.
“Mengadili, menjatuhkan pidana, oleh karenanya kepada terdakwa Muhtar Ependy dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Menetapkan masa penahanan dikurangi seluruhnya saat terdakwa berada di dalam tahanan,” tandas Supriyono saat membacakan amar putusan kemarin.
Muhtar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara berlanjut sebagaimana tertuang dalam dakwaan kesatu, yakni Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, dan melakukan tipikor sesuai Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. “Sebagaimana dakwaan kedua,” tandas Supriyono.
Dia membeberkan, dalam menjatuhkan pidana, majelis mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan yakni Muhtar belum pernah dihukum, berlaku sopan selama persidangan, dan punya tanggungan keluarga. Sementara itu, yang memberatkan ada empat. Pertama, tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan KKN.
Kedua, tidak menghormati lembaga peradilanyang menjunjung tinggi nilainilai keadilan. Ketiga, tidak kooperatif. Keempat, tidak mengakui perbuatannya. Alexander Marwata mengatakan, majelis hakim tidak sependapat dengan pembelaan tim penasihat hukum Muhtar yang menyatakan dua perbuatan pidana yang didakwa dan dituntut JPU adalah pidana umum.
Menurut majelis hakim, perbuatandalamperkara aquo sudah diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor sehingga merupakan perbuatan tipikor yang mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan untuk menanganinya. Disisilain, ungkapAlexander, majelis tidak sependapat dengan tuntutan pidana tambahan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat (PB) terhadap Muhtar.
“Hak itu adalahkewenanganpemerintah. Pidana bukanlah sarana balas dendam, tetapimerupakanpembinaan agar tidak melakukan hal yang sama,” paparnya. Dalam pengambilan putusan untuk dakwaan pertama pasal 21, anggota majelis hakim Sofialdi menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Menurut dia, jika dihubungkan unsur-unsur dalam pasal tersebut bahwa Muhtar dengan sengaja merintangi atau berupaya menggagalkan tidaklah terpenuhi. Salah satunya terkait dengan saksi Srino (mantan sopir Muhtar) yang disebut oleh JPU sebagai saksi kunci. Namun, Srino malah tidak dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Akil Mochtar.
Berikutnya, Masyitoh dan Romi Herton yang konsisten tidak pernah kenal dengan terdakwa pun sudah dituntut dengan pasal 22. “KecualisaksiSrinodisembunyikan terdakwa, dengan demikian telah dirintangi sehingga tidak dapat dilanjutkan,” ujar Sofialdi. Karena itu, ujarnya, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama tersebut.
“Dakwaan kedua untuk Pasal 22 jo Pasal 35, (sayaselaku) hakim anggota 3 sepen dapat dengan majelis,” ucapnya. Muhtar Ependy tampak lesu mendengar putusan majelis hakim. “Berdasarkan konsultasi dengan penasihat hukum, kami menyatakan pikir-pikir. Insya Allah, kami akan cari jalan terbaik,” tandasnya.
Sabir laluhu
Majelis yang terdiri atas Supriyono selaku ketua merangkap anggota, dengan anggota M Muchlis, Saiful Arif, Alexander Marwata, dan Sofialdi meyakini Muhtar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana korupsi yang berkaitan dengan penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang2013danKabupaten Empat Lawang 2013 dalam dua delik.
Pertama, merintangi secara tidak langsung penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi. Kedua, dengan sengaja tidak memberikan keterangan, memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan dan persidangan dengan terdakwa Akil Mochtar.
“Mengadili, menjatuhkan pidana, oleh karenanya kepada terdakwa Muhtar Ependy dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Menetapkan masa penahanan dikurangi seluruhnya saat terdakwa berada di dalam tahanan,” tandas Supriyono saat membacakan amar putusan kemarin.
Muhtar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara berlanjut sebagaimana tertuang dalam dakwaan kesatu, yakni Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, dan melakukan tipikor sesuai Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. “Sebagaimana dakwaan kedua,” tandas Supriyono.
Dia membeberkan, dalam menjatuhkan pidana, majelis mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan yakni Muhtar belum pernah dihukum, berlaku sopan selama persidangan, dan punya tanggungan keluarga. Sementara itu, yang memberatkan ada empat. Pertama, tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan KKN.
Kedua, tidak menghormati lembaga peradilanyang menjunjung tinggi nilainilai keadilan. Ketiga, tidak kooperatif. Keempat, tidak mengakui perbuatannya. Alexander Marwata mengatakan, majelis hakim tidak sependapat dengan pembelaan tim penasihat hukum Muhtar yang menyatakan dua perbuatan pidana yang didakwa dan dituntut JPU adalah pidana umum.
Menurut majelis hakim, perbuatandalamperkara aquo sudah diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor sehingga merupakan perbuatan tipikor yang mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan untuk menanganinya. Disisilain, ungkapAlexander, majelis tidak sependapat dengan tuntutan pidana tambahan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat (PB) terhadap Muhtar.
“Hak itu adalahkewenanganpemerintah. Pidana bukanlah sarana balas dendam, tetapimerupakanpembinaan agar tidak melakukan hal yang sama,” paparnya. Dalam pengambilan putusan untuk dakwaan pertama pasal 21, anggota majelis hakim Sofialdi menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Menurut dia, jika dihubungkan unsur-unsur dalam pasal tersebut bahwa Muhtar dengan sengaja merintangi atau berupaya menggagalkan tidaklah terpenuhi. Salah satunya terkait dengan saksi Srino (mantan sopir Muhtar) yang disebut oleh JPU sebagai saksi kunci. Namun, Srino malah tidak dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Akil Mochtar.
Berikutnya, Masyitoh dan Romi Herton yang konsisten tidak pernah kenal dengan terdakwa pun sudah dituntut dengan pasal 22. “KecualisaksiSrinodisembunyikan terdakwa, dengan demikian telah dirintangi sehingga tidak dapat dilanjutkan,” ujar Sofialdi. Karena itu, ujarnya, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama tersebut.
“Dakwaan kedua untuk Pasal 22 jo Pasal 35, (sayaselaku) hakim anggota 3 sepen dapat dengan majelis,” ucapnya. Muhtar Ependy tampak lesu mendengar putusan majelis hakim. “Berdasarkan konsultasi dengan penasihat hukum, kami menyatakan pikir-pikir. Insya Allah, kami akan cari jalan terbaik,” tandasnya.
Sabir laluhu
(bbg)