Kado 1 Maret
A
A
A
Setiap 1 Maret kita akan mengingat peristiwa heroik berupa serangan besar-besaran yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap Belanda di Kota Yogyakarta pada tanggal dan bulan yang sama tahun 1949.
Serangan yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Soedirman dilakukan dengan mengerahkan semua kekuatan TNI pada waktu itu guna mengepung Yogyakarta. Tujuan serangan ini tidak lain sebagai upaya unjuk kekuatan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948.
Para pimpinan TNI dan sipil waktu itu sepakat harus dilakukan serangan balasan kepada Belanda agar dunia tahu Indonesia masih kuat dan eksis. Serangan ini memiliki makna strategis yang kemudian dikenal sebagai peringatan Serangan Umum 1 Maret dalam kalender nasional kita. Peringatan Serangan Umum 1 Maret memang tidak semeriah seperti ketika Dirgahayu Kemerdekaan 17 Agustus atau Hari Pahlawan 10 November.
Namun, makna dan pesan yang terkandung dalam serangan 1 Maret tidak boleh diremehkan dan harus terus dijadikan inspirasi kepada generasi muda, agar mereka bisa mencontoh keberanian para pejuang pendahulu kita yang tidak pernah takut dengan segala keterbatasan melawan kekuatan besar untuk mempertahankan kemerdekaan.
Karena itu, 1 Maret adalah momentum yang baik dan sangat bersejarah sebagai simbol kekuatan dan keberanian luar biasa. Namun, apa yang terjadi pada 1 Maret 2015 ini membuat kita sedikit bertanya-tanya. Justru di hari yang bersejarah ini pemerintah memberlakukan kenaikan harga bensin premium RON 88 di wilayah Jawa, Madura, dan Bali menjadi Rp6.900 per liter dari sebelumnya Rp6.700 per liter.
Kenaikan Rp200 per liter ini selintas memang tidak ada artinya. Tapi efek berantai dari kenaikan harga ini bisa menjadi tambahan beban masyarakat yang kini sedang menghadapi lonjakan harga beras yang sangat signifikan. Menurut catatan, kenaikan harga kebutuhan pokok ini melambung hingga 30% dari harga sebelumnya. Pemerintah sedang melakukan operasi pasar besar-besaran untuk mengendalikan harga beras di sejumlah wilayah.
Namun, belum diketahui apakah operasi pasar ini efektif menekan lonjakan harga beras tersebut. Yang jelas, rakyat menunggu kepastian agar bisa mendapat harga beras yang wajar seperti biasanya. Kalaupun ada kenaikan, rentangnya tidak drastis hingga 30%. Nah, pada saat bersamaan, yaitu tepat 1 Maret 2015, Pertamina juga mengumumkan kenaikan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kilogram dari Rp129.000 menjadi Rp134.000.
Dengan kenaikan sebesar Rp5.000 per tabung, harga elpiji 12 kilogram kembali seperti harga yang diputuskan per 1 Januari 2015 lalu. Alasan kenaikan dua kebutuhan vital masyarakat ini hampir sama yaitu dipicu dengan naiknya harga minyak dan elpiji di pasar internasional. Kenaikan tiga kebutuhan pokok dalam waktu bersamaan itu tentu bukan sebuah kebetulan yang tidak bermakna apa-apa.
Sejak subsidi dikurangi, harga BBM bersubsidi bisa naik turun dalam waktu cepat mengikuti fluktuasi harga di pasar internasional. Tapi sayang, harga kebutuhan lain yang kena dampak dari kenaikan harga BBM subsidi itu tidak serta-merta mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Harga-harga kebutuhan pokok lain yang sudah telanjur naik sangat mungkin tidak akan ikut turun ketika harga premium dan solar turun.
Tapi sangat mungkin harga-harga kebutuhan penting masyarakat akan naik berkali-kali karena efek psikologis harga yang naik, turun kemudian naik kembali. Yang di benak kita sekarang adalah bagaimana masyarakat harus memperketat belanja kebutuhan pokoknya karena impitan kenaikan sekaligus harga beras, premium, dan elpiji 12 kilogram itu ini (kado 1 Maret).
Kita belum tahu sejauh mana efek kenaikan hargaharga itu akan memukul daya beli masyarakat. Tapi dampak terhadap kenaikan harga-harga ikutan lain yang di luar kontrol pemerintah adalah kenyataan yang harus dihadapi. Mengapa pemerintah tidak benar-benar memperhitungkan efek nonekonomis dari kado 1 Maret ini?
Bukankah negara yang harus mengatur dan meringankan beban rakyatnya. Bukan malah memburu untung besar di tengah beban masyarakat yang kian berat.
Serangan yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Soedirman dilakukan dengan mengerahkan semua kekuatan TNI pada waktu itu guna mengepung Yogyakarta. Tujuan serangan ini tidak lain sebagai upaya unjuk kekuatan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948.
Para pimpinan TNI dan sipil waktu itu sepakat harus dilakukan serangan balasan kepada Belanda agar dunia tahu Indonesia masih kuat dan eksis. Serangan ini memiliki makna strategis yang kemudian dikenal sebagai peringatan Serangan Umum 1 Maret dalam kalender nasional kita. Peringatan Serangan Umum 1 Maret memang tidak semeriah seperti ketika Dirgahayu Kemerdekaan 17 Agustus atau Hari Pahlawan 10 November.
Namun, makna dan pesan yang terkandung dalam serangan 1 Maret tidak boleh diremehkan dan harus terus dijadikan inspirasi kepada generasi muda, agar mereka bisa mencontoh keberanian para pejuang pendahulu kita yang tidak pernah takut dengan segala keterbatasan melawan kekuatan besar untuk mempertahankan kemerdekaan.
Karena itu, 1 Maret adalah momentum yang baik dan sangat bersejarah sebagai simbol kekuatan dan keberanian luar biasa. Namun, apa yang terjadi pada 1 Maret 2015 ini membuat kita sedikit bertanya-tanya. Justru di hari yang bersejarah ini pemerintah memberlakukan kenaikan harga bensin premium RON 88 di wilayah Jawa, Madura, dan Bali menjadi Rp6.900 per liter dari sebelumnya Rp6.700 per liter.
Kenaikan Rp200 per liter ini selintas memang tidak ada artinya. Tapi efek berantai dari kenaikan harga ini bisa menjadi tambahan beban masyarakat yang kini sedang menghadapi lonjakan harga beras yang sangat signifikan. Menurut catatan, kenaikan harga kebutuhan pokok ini melambung hingga 30% dari harga sebelumnya. Pemerintah sedang melakukan operasi pasar besar-besaran untuk mengendalikan harga beras di sejumlah wilayah.
Namun, belum diketahui apakah operasi pasar ini efektif menekan lonjakan harga beras tersebut. Yang jelas, rakyat menunggu kepastian agar bisa mendapat harga beras yang wajar seperti biasanya. Kalaupun ada kenaikan, rentangnya tidak drastis hingga 30%. Nah, pada saat bersamaan, yaitu tepat 1 Maret 2015, Pertamina juga mengumumkan kenaikan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kilogram dari Rp129.000 menjadi Rp134.000.
Dengan kenaikan sebesar Rp5.000 per tabung, harga elpiji 12 kilogram kembali seperti harga yang diputuskan per 1 Januari 2015 lalu. Alasan kenaikan dua kebutuhan vital masyarakat ini hampir sama yaitu dipicu dengan naiknya harga minyak dan elpiji di pasar internasional. Kenaikan tiga kebutuhan pokok dalam waktu bersamaan itu tentu bukan sebuah kebetulan yang tidak bermakna apa-apa.
Sejak subsidi dikurangi, harga BBM bersubsidi bisa naik turun dalam waktu cepat mengikuti fluktuasi harga di pasar internasional. Tapi sayang, harga kebutuhan lain yang kena dampak dari kenaikan harga BBM subsidi itu tidak serta-merta mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Harga-harga kebutuhan pokok lain yang sudah telanjur naik sangat mungkin tidak akan ikut turun ketika harga premium dan solar turun.
Tapi sangat mungkin harga-harga kebutuhan penting masyarakat akan naik berkali-kali karena efek psikologis harga yang naik, turun kemudian naik kembali. Yang di benak kita sekarang adalah bagaimana masyarakat harus memperketat belanja kebutuhan pokoknya karena impitan kenaikan sekaligus harga beras, premium, dan elpiji 12 kilogram itu ini (kado 1 Maret).
Kita belum tahu sejauh mana efek kenaikan hargaharga itu akan memukul daya beli masyarakat. Tapi dampak terhadap kenaikan harga-harga ikutan lain yang di luar kontrol pemerintah adalah kenyataan yang harus dihadapi. Mengapa pemerintah tidak benar-benar memperhitungkan efek nonekonomis dari kado 1 Maret ini?
Bukankah negara yang harus mengatur dan meringankan beban rakyatnya. Bukan malah memburu untung besar di tengah beban masyarakat yang kian berat.
(ars)