Dari Timur Bersyair untuk Indonesia

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:37 WIB
Dari Timur Bersyair untuk Indonesia
Dari Timur Bersyair untuk Indonesia
A A A
KETIKA dunia kepenyairan Indonesia masih terperangkap dalam kelesuan, sebuah penerbit kecil di Jakarta, Altheras Publishing, mencoba menggairahkan dengan menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Gemerisik Ilalang Padang Sabana.

Ada yang menarik dalam kata pengantar penerbitan buku ini. Penerbit kelihatan sadar benar bahwa dunia kepenyairan Indonesia saat ini sedang mengalami masa-masa yang sulit, yang antara lain ditandai dengan minimnya minat dari penerbit- penerbit buku besar untuk menerbitkan buku-buku bergenre puisi.

“Persis pada posisi ini, kami mengeluarkan buku jenis ini untuk mengisi kekosongan (ini). Kami ingin melayani kebutuhan mereka yang sedikit itu.... Kami yakin masih (cukup) banyak pembaca yang suka bacaan singkat, indah, dan reflektif” (hal vi). Pernyataan bernada optimistis ini patut kita hargai dan apresiasi sebab di tengah keterbatasannya sendiri, Altheras Publishing berupaya meyakinkan kita semua bahwa puisi atau dunia kepenyairan itu masih layak hidup di Indonesia.

Situasi seperti ini selalu saja menggembirakan karena selalu muncul orang-orang Indonesia yang peduli dan mau berkorban terhadap sesuatu yang mungkin secara ekonomi tidak terlalu menguntungkan. Karena itulah, penerbitan Antologi puisi ini perlu kita sambut dengan antusias sekaligus berupaya untuk memilikinya dengan cara yang legal dan baik. Antologi puisi ini ditulis oleh seorang penyair yang berada jauh dari hiruk-pikuk Jakarta.

Dia adalah Agust Dapa Loka, seorang guru SMA, yang berdiam di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Tempat tinggalnya yang jauh dari Jakarta, ibu kota negara RI, setidaknya memberikan kesempatan yang khas kepadanya untuk memotret Jakarta dan Indonesia dari posisi “kejauhan”.

Maka mengalirlah puisinya yang berjudul Indonesia Tumpah Darahku! Sepenggal syairnya berdenting demikian: Indonesia tumpah darahku/aku bangga padamu/... Tapi mengapa ada bisik gaib yang menikam kesunyian/ menampar kasak-kusuk/ menistai demokrasi?/ Kecemasan memburat wajah menjadi malu bergirang/ biar aku tersungkur merayunya/ agar tak unjar lalu beralih jadi diktator/ Penggalan syair di atas setidaknya ingin mengingatkan kepada para pemimpin negeri ini dan kepada kita semua tentang negeri yang sedang gaduh ini.

Ia tak ingin kembali ke zaman diktator di mana segalanya dibungkam atau diatur menurut selera penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat paling bawah. Pernyataan Agust ini semakin menegaskan kepada kita bahwa bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, baik mereka yang berada di pusatpusat kota maupun yang di tempat-tempat yang terpencil, semua menginginkan demokrasi ditegakkan, setegaktegaknya di negeri ini.

Penyair ini berpesan agar para pemimpin tidak mengkhianati harapan rakyat itu. Dalam antologi puisi ini, Agust sedikitnya menyertakan 61 puisinya yang mengusung berbagai tema. Mulai dari urusan bernegara seperti penggalan syair di atas, keprihatinannya kepada perusakan lingkungan hidup, kepercayaannya kepada kehadiran Ilahi, kasih sayang seorang ayah kepada anakanaknya, hingga refleksi terhadap tragedi hidupnya sendiri.

Di bawah judul Gemerisik Ilalang Padang Sabana misalnya Agust mencoba menghadirkan hakikat Pulau Sumba, tempat ia lahir dan tinggal, sebagai sebuah padang ilalang yang mahaluas, namun kering dan sering dibakar warga.

Pada sepenggal syairnya ia menulis Gemerisik ilalang padang Sabana/ adalah nyanyian suara parau kaum tertindas/ lama tertatih pada langkah kehidupan yang selalu kandas/ saat berburu janji yang selalu ditunda/ Namun, pada bagian lain ia menulis Gemerisik ilalang padang sabana/ adalah tekat yang tak bisa mati/ sebelum pisau puisiku dikubur bersama di ujung tanah yang sudah lama menanti/ Pernyataan Agust di atas ingin menegaskan bahwa meski Sumba adalah sebuah negeri yang cenderung kering dan diliputi oleh sejumlah derita, orang-orangnya tak pernah menyerah kepada situasi.

Mereka tetap berjuang dan bertekad untuk meraih hidup yang lebih baik lagi. Inilah modal sosial dan modal spiritual yang dimiliki oleh kebanyakan orang Indonesia sehingga meski para ahli Barat memprediksi Indonesia akan sulit bertahan karena kondisi ekonominya yang berat, nyatanya Indonesia tetap kokoh sebagai sebuah bangsa dan rakyatnya pun tetap menunjukkan kegembiraan dan optimisme dalam setiap gerak kehidupan mereka.

Dari semua kisah yang dialaminya itu, Agust merangkai kata dan pada 2010 terbitlah sebuah novel berjudul Perempuan itu Bermata Saga. Novel ini mengantar Agust mendapat penghargaan NTT Academia Award 2012 bidang Humaniora. Dalam antologi puisi ini, Agust menyertakan satu puisi dari istrinya yang khusus dipersembahkan kepada setiap istri dan suami yang harus selalu setia dalam suka maupun duka. Judulnya Saat Waktu Tiba .

Sang istri menulis, Adalah kisahku bersamamu kekasihku/ waktu dan rintang enteng terlewati/ bersama bergayut dalam derita/ walau sering keluh terungkap olehku/ namun kekasihku/ aku tegar dalam tuntunanmu/ ... Kini waktu mengubah segala/ seolah menguji kita/ Kau yang tak seperti dulu/ mungkin oleh segelintir/ namun setia dan cintaku sertai deritamu/...

Tetaplah bangkit kekasihku/ bersama kita jalani hidup/ terus tantang waktu/ meski terkadang dia tak setia/ waktu kan mengungkap tabir sejarah takdir/ Dengan gaya bertuturnya yang sederhana, namun indah disertai dengan refleksi terhadap pengalaman hidupnya sendiri, buku puisi Agust Dapa Loka ini akan sangat menolong kita untuk menemukan kembali atau setidaknya mempertegas makna hidup yang selama ini sudah kita jalani.

Buku puisi ini mengajak kita untuk lebih mencintai, baik orang yang paling dekat dengan kita seperti istri atau suami dan anak-anak, kepada sesama anak bangsa, kepada lingkungan hidup, dan yang tak kalah pentingnya kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan kepada kita. Selamat membaca!

Celestino Reda,
peminat sastra, tinggal di Jakarta.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4635 seconds (0.1#10.140)