Menggeser Kiblat Film ke Purbalingga

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:30 WIB
Menggeser Kiblat Film...
Menggeser Kiblat Film ke Purbalingga
A A A
Pada 2-30 Mei mendatang, Festival Film Purbalingga (FFP)akan kembali digelar untuk kali yang kesembilan dari penyelenggaraan pertama pada 2007.

Untuk ukuran kota kabupaten kecil di Jawa Tengah, festival ini tergolong berumur panjang dan konsisten. Awalnya festival ini digelar hanya untuk mewadahi anak-anak muda desa yang ingin belajar teknologi pembuatan film. Kini festival ini telah menjadi barometer perkembangan film pendek nasional.

Alumni FFP pernah merajai berbagai festival, baik nasional maupun internasional. Dalam Festival Film Indonesia(FFI)2014, film berjudul Penderes dan Pengidepkarya sutradara Achmad Ulfi, seorang pelajar dari Purbalingga, masuk nominasi peraih penghargaan kategori film dokumenter bersaing dengan pembuat film dokumenter profesional lain.

Pada 2006, di ajang serupa, film Metu Getihjuga masuk nominasi FFI. Film Langka Recehjuga menjadi finalis di The ASEAN International Film Festival and Awards(AIFFA). Bagaimana sang pencetus FFP, Bowo Leksono, menggagas perhelatan ini? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu beberapa waktu lalu.

Latar belakang bikin festival ini apa?

Kami berpikir bagaimana anakanak muda desa ini tidak kehilangan ruang dan media ekspresi. Nah, waktu itu film kami pikir sangat seksi. Saat itu orang belum berpikir bahwa film bisa ditarik ke desa yang secara infrastruktur masih tertinggal, belum ada kampus, jauh dari ihwal yang mendukung perkembangan film. Tapi, (kekurangan ini) malah menjadi warna tersendiri, kalau film dikembangkan di Jakarta atau kota-kota besar lain kan sudah biasa.

Mengapa film yang dijadikan media ekspresi?

Film itu kanal. Semua kesenian ada di film, mulai sastra, musik, hingga teater. Jika kamu bikin musik, tapi musikmu itu-itu saja, cobalah musikmu difilmkan atau kolaborasi dengan film, hasilnya akan lain. Film ini efektif untuk menyampaikan sesuatu.

Apa konsep dasar Festival Film Purbalingga?

Ini festival ada setelah banyak muncul film maker dengan produk yang bagus dan jumlahnya cukup. Setelah itu baru kami berani memproklamasikan bahwa Purbalingga punya festival film. Isinya tidak hanya lomba dan ngomonginfilm. Tapi, juga berpikir ke depan agar masyarakat dan peserta bisa mengikuti terus perkembangan festival ini dan bersama-sama mengembangkannya. Maka kami persiapkan jauh-jauh hari agar festival ini berefek dan berpengaruh pada ihwal lain. Misalnya pengembangan ekonomi kreatif, pariwisata, atau bahkan kebijakan pemerintah.

Bagaimana tanggapan anakanak muda di sana pada festival ini?

Tiap tahun masuk sekitar 20-30 judul film pendek. Kami mendata hingga kini ada lebih dari 300 judul yang sudah diproduksi oleh pelajar Purbalingga. Belum lagi untuk wilayah eks karsidenan Banyumas Raya seperti Cilacap, Banjarnegara, dan Banyumas, ada sekitar 200 judul lebih. Awal saya masuk ke sekolah-sekolah dan mengenalkan film, susahnya bukan main. Guru dan kepala sekolah bertanya, apa itu film? Mereka tidak percaya pembuatan film itu bisa jadi kegiatan anak-anak desa.

Setelah sembilan kali penyelenggaraan, apa pencapaian festival ini?

Kami berani bilang, festival ini menjadi barometer film pendek di Indonesia. Jadi, para pembuat film, untuk bisa berbicara di tingkat yang lebih luas, baik nasional maupun internasional, film itu mesti masuk Festival Film Purbalinggadulu. Kalau di sini kuat atau menang, jika beradu di festival lain di luar seperti ada jaminan bahwa film bisa bersaing bahkan menang.

Sekitar 80% film yang masuk dalam festival ini pasti menang di luar. Sudah ada tiga Piala Citra dari FFI yaitu penghargaan khusus film Pigura, Langka Receh, Mentari di Sambirata, dan film animasi Booster. Dulu kami berpikir tidak akan mengirim karya ke luar Purbalingga karena kualitasnya tak bisa bersaing. Tapi, kini sejelek-jeleknya ada satu atau dua judul yang jadi unggulan di berbagai festival fiksi maupun nonfiksi, baik dari sisi teknis maupun konten.

Kami terkejut dengan hasil ini, di luar ekspektasi. Terakhir, karya anak SMA soal Penderes dan Pengidep, itu kontennya jadi finalis kompetisi FFI untuk kategori film dokumenter, bersaing dengan pembuat film dokumenter profesional. Bagi kami, ini sudah cukup pembuktian untuk menang-menangan. Tapi, bukan ini tujuan utama kami.

Jadi apa sebenarnya pesan dari festival ini?

Saya melihat ada persoalan yang lebih besar daripada film yaitu identitas masyarakat. Jadi begini, masyarakat kita itu selama 24 jam lebih disuguhi tayangan televisi yang materinya hampir 95% berasal dari Jakarta. Berita- berita pada media mainstreamjuga hampir 90% soal Jakarta. Kalau kondisinya begini, susah untuk ngomong kebhinekaan karena narasi lokal tidak hadir. Ini kemudian menjadi political statement kami, semacam ingin “mengalihkan” tontonan masyarakat yang didominasi oleh Jakarta beralih pada film yang berisi wacana lokal.

Konsekuensi dari political statement ini apa?

Kami tekankan pada peserta festival bahwa jika tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk menggunakan dialog dalam bahasa Indonesia, gunakanlah bahasa lokal. Makanya film pendek yang di Banyumas Raya, dari ratusan judul film, hampir semua menggunakan bahasa lokal. Model ini kemudian menjadi pelopor film yang menggunakan bahasa ibu di Indonesia. Mulai saat itu banyak pembuat film di sejumlah daerah menggunakan bahasa lokal dalam dialognya.

Setelah penyelenggaraan festival ini secara rutin, bagaimana sekarang anak-anak muda di sana dalam memandang film?

Dulu mereka membuat film agar bisa ditonton sebanyak-banyaknya orang. Kalau sekarang, mereka sudah menggunakan film untuk mengkritik. Di level sekolahan, kalau ada hal yang perlu dikritisi, mereka bikin film, tidak lagi sekadar menulis status di media sosial. Kalau bisa difilmkan, mereka sudah tahu efek dari film.

Katanya mengembangkan program layar tanjleb, apa itu?

Layar tanjlebitu program outdoornya festival. Jadi bagaimana festival ini menjadi milik warga Purbalingga, kami libatkan masyarakat yang ingin wilayahnya jadi tempat pemutaran film. Kami ini bekerja sama dengan Karangtaruna desa. Mereka mencari lokasi, izin, listrik, promosi, dan tenaga kerja. Kami beri workshop, yang output- nya bikin profil desa yang diputar di layar tanjlepdi sana. Ini penciptaan emotional bonding.

Apa yang diharapkan setelah banyak prestasi ini?

Ketika ada prestasi, penghargaan pemerintah itu sifatnya seremonial. Misalnya memberi laptop. Tapi, kami sebenarnya ingin salah satunya anakanak pembuat film ini dijamin pendidikannya. Mereka 90% itu pada dasarnya tidak bisa melanjutkan sekolah, miskin, orang tuanya buruh tani. Dari awal festival tidak ingin membuat mereka jadi film maker, tapi ini ruang bermain mereka, untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan tanpa sensor. Kalau mereka jadi film maker beneran, itu pilihan mereka.

Dalam peta film Purbalingga jadi apa?

Dalam konteks nonindustri, festival ini jadi pusat perkembangan film pendek Indonesia. Di banyak festival tidak membawa materi lokal di mana festival itu diselenggarakan. Kalau ini ada proses melibatkan mereka, pascafestival juga ada kerjakerja film.

Apa kesulitan dalam penyelenggaraan festival ini?

Kami kekurangan dukungan dari pemerintah, hampir tidak ada, bahkan malah ngerecoki. Dulu kami diberi dana Rp15 juta, tapi ternyata yang kami terima tidak sebesar itu. Ada potongan di sana-sini. Kami tolak dana itu, tapi festival ini tetap diklaim dalam kegiatan pemerintah.

Mnlatief
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4619 seconds (0.1#10.140)