Tall Dark Hero

Minggu, 22 Februari 2015 - 09:23 WIB
Tall Dark Hero
Tall Dark Hero
A A A
Tiga suku kata itu yang menjadi pesan singkat dari Belanda untuk menyebut Pangeran Diponegoro. Dengan itu, sejarah hendak dikembalikan pada tempatnya oleh pemerintahan Belanda.

Pameran yang masih satu napas dengan rangkaian pameran Aku Diponegoro yang digelar Galeri Nasional Indonesia (GNI), berusaha mengambil sudut pandang berbeda, yakni Pangeran Diponegoro dari sudut pandang Belanda. Saat menaiki tangga di lantai dua Erasmus, pengunjung akan langsung disambut lukisan seperti Pangeran Diponegoro, yang sedang menunggang kuda mengenakan sorban dan jubah putih lengkap dengan kerisnya.

Hanya, bagian wajahnya dibiarkan bolong, tak memiliki rupa. Di pameran yang berlangsung sejak 12 Februari hingga 11 Maret bulan depan di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, pengunjung diajak bersama- sama menyingkap ada apa sebenarnya di balik cerita heroik Pangeran Diponegoro.

Tall. Dark. Hero. Tiga suku kata itu yang menjadi pesan singkat dari Belanda untuk menyebut Pangeran Diponegoro. Sejarah yang coba diangkat atau dibuka adalah adanya anggapan yang menyatakan Pangeran Diponegoro seolah-olah telah berkhianat terhadap Tanah Air karena lebih memihak negara meneer, ternyata tidaklah benar.

Meski tidak begitu eksplisit dan terbuka menyatakan hal itu, dari berbagai narasi, lukisan replika, gambar dari foto-foto, hingga media visual yang ditampilkan, semua mendukung satu pernyataan. Pangeran Diponegoro adalah sosok protagonis yang benar-benar ditakuti Belanda dan pihak musuh manapun. Ada lima narasi yang dipajang dalam sebuah bahan seperti layar putih berbahan tebal seperti yang kerap digunakan untuk proyektor.

Semua narasi ini menampilkan informasi berbeda. Dari Pangeran Diponegoro dari sudut pandang Belanda dari tahun 1800 hingga kini, Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830), Diponegoro dalam sudut pandang Belanda, Benda-benda Diponegoro, dan Diponegoro saat ini. Belanda secara terangterangan menggunakan kata protagonis untuk menyebut Cahaya Negara (arti kata Diponegoro).

Diponegoro dianggap sebagai protagonis utama dalam Perang Jawa (1825-1830) yang mempunyai tujuan untuk menghilangkan kendali politik Belanda atas Jawa. Di Belanda, perang ini secara eksklusif ditulis dari sudut pandang Belanda tanpa ada ruang tersisa untuk Diponegoro selaku pihak musuh.

Ini dilakukan untuk menutupi provokasi perang yang dilakukan Belanda karena kebijakan fiskal kolonial mereka serta untuk menutupi kekalahan dan kegagalan Belanda selama perang. Di Negeri Kincir Angin itu, Diponegoro dianggap sebagai pemberontak dan kriminal. Karena itu, kekalahan Diponegoro dianggap sebagai simbol kebanggaan nasional Belanda.

Bahkan, mereka yang mempunyai peran penting dalam kekalahan Diponegoro, seperti Letnan Jenderal De Kock, secara simbolis menyatakan heroisme mereka dalam politik dan budaya untuk membenarkan tindakan mereka. Sayangnya, keraguan akan kebenaran seputar penangkapan Diponegoro segera muncul.

Keraguan semacam itu dinyatakan keras oleh putra sulung calon Raja Belanda, Willem II, Pangeran Hendrik Sang Pelaut (1820- 1879) yang datang berkunjung ke Diponegoro di Pengasingan. Penangkapan ini pun disajikan dalam lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock, 1830 (replika).

Penangkapan dilakukan pada 28 Maret 1830 di Magelang yang menandai akhir Perang Jawa. Alhasil, tak lama kemudian karier profesional dan sosial De Kock melambung di Belanda, dan dia pun dianugerahi gelar keningratan baron oleh Raja Willem I pada tahun 1835. Di lukisan karya Nicolaas Pieneman, De Kock digambarkan secara simbolis berdiri lebih tinggi di depan rumahnya dibandingkan Diponegoro yang berdiri di halaman.

Adegan ini tidak memperlihatkan bahwa penangkapan itu dilakukan setelah pembukaan perundingan perdamaian di bawah bendera gencatan senjata pada hari paling suci dalam kalender Islam, yaitu Idul Fitri. Namun pada 1856-1857, pelukis asal Jawa Raden Saleh (sekitar 1811-1880) melukis versi lain dari adegan yang sama. Di lukisan itu, Diponegoro dilukiskan berdiri sejajar dengan De Kock.

Baru-baru ini, lukisan ini direstorasi dan saat ini dipamerkan di GNI. Selain lukisan ini, ada tiga lukisan lainnya yakni Pangeran Diponegoro dalam perjalanan pulang ke rumah setelah kekalahan di Magelang, 1833; Potrait FVHA De Stuers, 1825-1849, serta Potret Diponegoro, 1830.

Jumlah lukisan yang dipajang memang terbilang sedikit, tapi di dalam ruangan pameran yang tidak terlalu besar ini juga dilengkapi berbagai narasi, pernak-pernik benda milik Diponegoro seperti cincin, keris, pelana kuda, dan tongkat ziarah, hingga kehadiran dua media visual. Sayangnya, menurut salah satu pengunjung, Aenul Yakin, yang berprofesi sebagai PNS, kata maaf dari pemerintah Belanda tidak terlihat di ruang pameran ini.

”Tadinya saya berharap kata itu ada karena Belanda sudah terlalu lama menjajah dan juga berperang dengan Diponegoro,” urainya. Selain itu, koleksi lukisan yang ditampilkan pun dianggap terlalu sedikit dan tidak menceritakan banyak tentang perjuangan Diponegoro.

Dua Layar, Dua Informasi dalam Dua Bahasa

Demi membuat suasana lebih hidup dan komunikatif, ruang pameran menyajikan dua layar kaca yang ditempel bersebelahan di sisi kiri dari pintu masuk yang menampilkan dua informasi yang berbeda. Yang satu ditempel di tengah sebuah tulisan yang tampak seperti tulisan Jawa kuno.

Informasi yang disampaikan tentang sejarah perjuangan, penangkapan hingga pengasingan Diponegoro yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Menariknya, di bawah layar ini terdapat animasi yang didasarkan pada gambar-gambar dari Buku Kedung Kebo (1842- 1843), Perpustakaan Universitas Leiden, KITLV, D H 589.

Gambar ini menampilkan pertempuran antara para pengikut Diponegoro dan pasukan Belanda di tempat tinggal sang pangeran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Pertempuran ini menandai awal dari Perang Jawa. Diponegoro tampak sedang menunggang kuda hitam kesayangannya, Kiai Gitayu (alias Gitayu), di bawah payung kuning.

Gambar ini menandai statusnya sebagai sang Ratu Adil dan sang pemimpin dalam perang suci. Yang unik, Diponegoro tidak digambarkan tanpa pakaian yang biasa dikenakan pada saat perang, yaitu sorban dan jubah putih. Setelah Perang Jawa, Belanda mencoba untuk menyingkirkan Islam karena dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan mereka.

Karena itu, pakaian perang suci Diponegoro dianggap sebagai hal yang subversif. Sedangkan satu layar kaca lainnya ditempel di tengah kitab yang menyerupai kitab Babad Diponegoro 1831-1832, yang tampak bertuliskan bahasa Arab. Siaran hasil produksi Universitas Leiden, Belanda, ini menampilkan seorang narasumber yang juga menceritakan berbagai sisi tentang Diponegoro dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia melalui teks yang dipajang.

Dari keseluruhan koleksi pameran yang dikuratori Sadiah Boonstra yang bekerja sama dengan peneliti Peter Carey (Universitas Indonesia) dan Caroline Drieenhuizen (Universitas Amsterdam), salah satu koleksi yang menarik mata adalah yang terletak di pojok kanan paling belakang dari arah pintu masuk.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6180 seconds (0.1#10.140)