Mengurai Idealisme Parlemen dalam Anggaran Negara
A
A
A
Buku Gerakan Politik Anggaran Pro Rakyat di Parlemen ini berusaha merekam bagaimana idealisme parlemen membentuk Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR RI dalam rangka menjalankan pro-citizen budgeting.
Buku ini mencoba mengurai bagaimana sebagian anggota parlemen yang tergabung dalam Kaukus Ekonomi Konstitusi menjalankan fungsi budgeting secara konstitusional dan baik. Terjadinya anggapan publik yang berbeda terhadap fungsi budgeting parlemen berusaha dibantah secara sistematis dalam buku ini.
Dimulai dari Bab I yang mengenalkan misi Kaukus Ekonomi Konstitusi untuk Perjuangan Anggaran Prorakyat. Pada bab I dijelaskan bagaimana kaukus tersebut merupakan gerakan gagasan di balik abu-abu hitamnya potret Senayan yang berusaha merajut nasionalisme politik ekonomi.
Selanjutnya Bab II, mengurai bagaimana kaukus tersebut mengoreksi logika APBN, mencari keadilan anggaran pusat dan daerah, dan berusaha membumikan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, bab tersebut juga mencoba mengupas bagaimana subsidi menjadi kambing hitam dalam anggaran serta politik pangan yang rapuh. Menjurus ke arah Bab III yang lebih spesifik menunjukkan bagaimana Kaukus Ekonomi Konstitusi menawarkan beberapa solusi menuju anggaran yang pro-citizen.
Solusi tersebut diuraikan dalam tiga poin. Pertama, penguatan hak penganggaran parlemen. Kedua, merombak alur pembahasan penganggaran. Ketiga, memutus mafia anggaran eksekutif, legislatif dan swasta. Ketiga jalan alternatif yang ditawarkan tersebut menjadi acuan kritis anggota Kaukus Ekonomi Konstitusi yang juga dapat diharapkan tingkat implementasinya untuk anggota parlemen yang lain.
Bab IV membuat saya lebih tertarik untuk membaca capture tokoh serta hasil wawancara para penggerak Konstitusi Ekonomi Parlemen yang dimulai dari Arif Budimanta yang bertajuk “Meluruskan Filsafat APBN”. Hasil wawancara yang lain juga memuat impian Laurens Bahang Dama tentang “Keseimbangan Pendapatan dan Belanja Negara“.
Tidak lupa juga membahas keyakinan Sadar Subagyo tentang keharusan “Transformasi Politik Anggaran” yang harus mempunyai fokus terhadap eksistensi Grand Design Pembangunan. Impian tentang “Mengembalikan Garis Ekonomi Kerakyatan” juga dimuat dalam capture dan wawancara terhadap Kamaruddin Sjam. Capture tokoh yang terakhir menunjukkan bahwa sosok Ahmad Yani sangat radikal menegaskan bahwa “Kedaulatan Ekonomi Harga Mati”.
Gaya penulisan buku ini pun dipadu antara jurnalisme yang merupakan bagian dari popculture dengan akademik yang tetap mengacu logical positivism. Penyuguhan tulisan yang renyah ini tak lepas dari latar belakang sang penulis, Rahmat Ferdian Andi Rosyidi yang bekerja di dunia jurnalistik. Bahkan, modal sang penulis sebagai aktivis di berbagai organisasi pun terasa keberpihakannya untuk menyuguhkan tematema penting yang justru sangat jarang diketahui publik.
Pada poin ini, penulis telah berhasil menyajikan serangkaian logika dan sistematika akademik penulisan yang berbasis akurasi data, diperindah dengan bumbu-bumbu segar dari diksi yang sangat jurnalis; bebas, lugas, dan enak dibaca. Buku ini dapat dijadikan dasar dan acuan bagaimana penyusunan anggaran prorakyat tidak mustahil untuk dilakukan.
Buku yang saya telaah ini merupakan buku yang cukup padat, sistematis dan kritis. Namun, saya cukup gatal untuk mengkritisi bagaimana buku ini belum menanggapi pentingnya anggaran yang pro terhadap pembenahan aparatur dan kinerja pegawai bersamaan dengan anggaran prorakyat. Ketidaksetujuan saya bahwa anggaran yang fokus terhadap birokrasi adalah warisan kolonial, menurut saya sangat tidak berdasarkan apa yang menjadi sebuah urgensi untuk bangsa ke depannya.
Terasanya suasana diskriminasi fokus anggaran terhadap pembenahan aparatur ketimbang kesehatan dan pendidikan terasa kental sekali akhir-akhir ini, dan buku ini belum berbicara tentang bagaimana menyeimbangkan urgensi di antara kedua-duanya. Pembenahan aparatur dan kesejahteraan rakyat.
Bukankah pembenahan aparatur negara merupakan hal yang penting dan juga secara jangka panjang akan menjadi rezeki kebangsaan yang menuju bangsa yang sejahtera, sentosa, adil, dan makmur pada jangka panjangnya? Bagaimana bisa adil apabila rakyat sejahtera tapi kinerja aparatur yang melayani rakyat mempunyai budaya kerja yang buruk?.
Fadhly Azhar,
Alumnus Program Magister pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
Buku ini mencoba mengurai bagaimana sebagian anggota parlemen yang tergabung dalam Kaukus Ekonomi Konstitusi menjalankan fungsi budgeting secara konstitusional dan baik. Terjadinya anggapan publik yang berbeda terhadap fungsi budgeting parlemen berusaha dibantah secara sistematis dalam buku ini.
Dimulai dari Bab I yang mengenalkan misi Kaukus Ekonomi Konstitusi untuk Perjuangan Anggaran Prorakyat. Pada bab I dijelaskan bagaimana kaukus tersebut merupakan gerakan gagasan di balik abu-abu hitamnya potret Senayan yang berusaha merajut nasionalisme politik ekonomi.
Selanjutnya Bab II, mengurai bagaimana kaukus tersebut mengoreksi logika APBN, mencari keadilan anggaran pusat dan daerah, dan berusaha membumikan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, bab tersebut juga mencoba mengupas bagaimana subsidi menjadi kambing hitam dalam anggaran serta politik pangan yang rapuh. Menjurus ke arah Bab III yang lebih spesifik menunjukkan bagaimana Kaukus Ekonomi Konstitusi menawarkan beberapa solusi menuju anggaran yang pro-citizen.
Solusi tersebut diuraikan dalam tiga poin. Pertama, penguatan hak penganggaran parlemen. Kedua, merombak alur pembahasan penganggaran. Ketiga, memutus mafia anggaran eksekutif, legislatif dan swasta. Ketiga jalan alternatif yang ditawarkan tersebut menjadi acuan kritis anggota Kaukus Ekonomi Konstitusi yang juga dapat diharapkan tingkat implementasinya untuk anggota parlemen yang lain.
Bab IV membuat saya lebih tertarik untuk membaca capture tokoh serta hasil wawancara para penggerak Konstitusi Ekonomi Parlemen yang dimulai dari Arif Budimanta yang bertajuk “Meluruskan Filsafat APBN”. Hasil wawancara yang lain juga memuat impian Laurens Bahang Dama tentang “Keseimbangan Pendapatan dan Belanja Negara“.
Tidak lupa juga membahas keyakinan Sadar Subagyo tentang keharusan “Transformasi Politik Anggaran” yang harus mempunyai fokus terhadap eksistensi Grand Design Pembangunan. Impian tentang “Mengembalikan Garis Ekonomi Kerakyatan” juga dimuat dalam capture dan wawancara terhadap Kamaruddin Sjam. Capture tokoh yang terakhir menunjukkan bahwa sosok Ahmad Yani sangat radikal menegaskan bahwa “Kedaulatan Ekonomi Harga Mati”.
Gaya penulisan buku ini pun dipadu antara jurnalisme yang merupakan bagian dari popculture dengan akademik yang tetap mengacu logical positivism. Penyuguhan tulisan yang renyah ini tak lepas dari latar belakang sang penulis, Rahmat Ferdian Andi Rosyidi yang bekerja di dunia jurnalistik. Bahkan, modal sang penulis sebagai aktivis di berbagai organisasi pun terasa keberpihakannya untuk menyuguhkan tematema penting yang justru sangat jarang diketahui publik.
Pada poin ini, penulis telah berhasil menyajikan serangkaian logika dan sistematika akademik penulisan yang berbasis akurasi data, diperindah dengan bumbu-bumbu segar dari diksi yang sangat jurnalis; bebas, lugas, dan enak dibaca. Buku ini dapat dijadikan dasar dan acuan bagaimana penyusunan anggaran prorakyat tidak mustahil untuk dilakukan.
Buku yang saya telaah ini merupakan buku yang cukup padat, sistematis dan kritis. Namun, saya cukup gatal untuk mengkritisi bagaimana buku ini belum menanggapi pentingnya anggaran yang pro terhadap pembenahan aparatur dan kinerja pegawai bersamaan dengan anggaran prorakyat. Ketidaksetujuan saya bahwa anggaran yang fokus terhadap birokrasi adalah warisan kolonial, menurut saya sangat tidak berdasarkan apa yang menjadi sebuah urgensi untuk bangsa ke depannya.
Terasanya suasana diskriminasi fokus anggaran terhadap pembenahan aparatur ketimbang kesehatan dan pendidikan terasa kental sekali akhir-akhir ini, dan buku ini belum berbicara tentang bagaimana menyeimbangkan urgensi di antara kedua-duanya. Pembenahan aparatur dan kesejahteraan rakyat.
Bukankah pembenahan aparatur negara merupakan hal yang penting dan juga secara jangka panjang akan menjadi rezeki kebangsaan yang menuju bangsa yang sejahtera, sentosa, adil, dan makmur pada jangka panjangnya? Bagaimana bisa adil apabila rakyat sejahtera tapi kinerja aparatur yang melayani rakyat mempunyai budaya kerja yang buruk?.
Fadhly Azhar,
Alumnus Program Magister pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
(bbg)