Bina Damai Antarumat
A
A
A
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tetapi kondisi ini tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Konsekuensi pilihannya adalah republik, yang dengan begitu harus mengayomi dan melindungi kebebasan beragama di Indonesia.
Sebab, hal yang paling sukar dilupakan adalah konflik agama. Pun muncul pertanyaan bagaimana kehidupan beragama di Indonesia pascareformasi? Apa ancaman yang kerap menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal?
Kita bisa cermati bahwa kehidupan beragama di Indonesia masih sering terjadi konflik, baik vertikal maupun horizontal. Tentu dalam memori bangsa, kita sulit melupakan konflik agama yang dialami warga Syiah di Sampang Madura, mereka dikebiri oleh sekelompok orang, warga Ahmadiyah di Pandeglang Banten diserang oleh “preman berjubah” yang membawa atribut agama, dan perusakan rumah ibadah seperti gereja.
Catatan buruk ini merupakan mimpi buruk bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang menekankan ke-Bhineka Tunggal Ika, serta negara menjamin warganya untuk meyakini keyakinannya dan beribadat sesuai keyakinannya, seperti termaktub dalam kitab UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Negara kerap abai terhadap kalangan minoritas dan takluk serta tunduk oleh suara mayoritas.
Penegak hukum kerap dipermalukan oleh “segerombolan” orang yang seenaknya membabi buta memperlihatkan “kegarangan” dengan membawa parang untuk membunuh sesama manusia di hadapan orang banyak. Hukum dilecehkan sehingga tak berdaya. Buku yang ditulis oleh Faisal Ismail mengulas Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama: Konflik, Rekonsiliasi dan Harmoni.
Faisal mengajak kita untuk mencari akar teologis bahwa agama diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Terutama Islam, merupakan agama dengan visi-misi yang secara totalitas mengajarkan umatnya untuk selalu menyebarkan keselamatan, menciptakan kedamaian, dan menegakkan perdamaian dalam semua aspek.
Dapatlah ditegaskan bahwa segala bentuk terorisme, brutalisme, anarkisme, keberingasan, perusakan, dan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok muslim “fundamentalisradikalis” yang me-ngatasnamakan Islam sebenarnya sangat bertentangan dengan watak dasar, visi-misi damai Islam itu sendiri. Buku ini dibagi ke dalam lima bab.
Pertama, membahas akarakar teologis kerukunan, toleransi dan perdamaian dalam doktrin Islam. Kedua, mengurai tentang strategi dan pola kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam upaya menata dan membina kerukunan antarumat beragama. Ketiga, mengkaji tentang terjadinya konflik-konflik komunal di beberapa daerah yang kemudian menyeret simbolsimbol dan sensitivitas agama ke dalam konflik.
Keempat, menyoroti secara spesifik tentang perlunya dilakukan berbagai upaya yang berkesinambungan untuk selalu memelihara dan merawat pilarpilar bangunan konstitusionalisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Kelima, pentingnya pemberdayaan dialog dan toleransi untuk membangun harmoni antarumat beragama.
Konflik yang menjadi titik rawan kerap menimbulkan gesekan antarumat beragama antara lain: pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari-hari besar keagamaan, penodaan agama, dan kegiatan aliran sempalan. Konflik ini terjadi akibat “kecurigaan” yang timbul dan tidak adanya ruang dialog yang difasilitasi oleh negara.
Tawaran menarik dari buku Faisal ini adalah melibatkan Universitas-Universitas Islam maupun non-Islam dengan melibatkan mahasiswa dan dosen untuk mengkaji agama secara dialogis. Bisa dilihat dalam beberapa strategi; pertama, studi agamaagama oleh para mahasiswa dan para calon pemuka agama hendaknya ditujukan untuk membangun suasana iman yang dialogis.
Kedua, untuk menumbuhkan etika pergaulan antarumat beragama. Ketiga, diarahkan untuk membangun kesadaran untuk menghilangkan biasbias pemahaman keagamaan. Keempat, menghancurkan “culture barriers “ (rintanganrintangan budaya) di antara komunitas-komunitas agama, kelima membangun kesadaran tumbuhnya pluralisme agama baik di Indonesia maupun suasana global, dan keenam menumbuhkan kepekaan akan nilai-nilai moralitas, demokrasi dan HAM.
Dengan begitu, “bina damai antarumat beragama” di Indonesia bisa berjalan dengan baik, tanpa hambatan. Akhirnya, buku ini sangat pas dibaca oleh semua kalangan, baik mahasiswa, akademisi, pemerintah, maupun masyarakat awan untuk menciptakan Indonesia tanpa diskriminasi.
Dirga Maulana,
Peneliti Junior Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
Sebab, hal yang paling sukar dilupakan adalah konflik agama. Pun muncul pertanyaan bagaimana kehidupan beragama di Indonesia pascareformasi? Apa ancaman yang kerap menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal?
Kita bisa cermati bahwa kehidupan beragama di Indonesia masih sering terjadi konflik, baik vertikal maupun horizontal. Tentu dalam memori bangsa, kita sulit melupakan konflik agama yang dialami warga Syiah di Sampang Madura, mereka dikebiri oleh sekelompok orang, warga Ahmadiyah di Pandeglang Banten diserang oleh “preman berjubah” yang membawa atribut agama, dan perusakan rumah ibadah seperti gereja.
Catatan buruk ini merupakan mimpi buruk bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang menekankan ke-Bhineka Tunggal Ika, serta negara menjamin warganya untuk meyakini keyakinannya dan beribadat sesuai keyakinannya, seperti termaktub dalam kitab UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Negara kerap abai terhadap kalangan minoritas dan takluk serta tunduk oleh suara mayoritas.
Penegak hukum kerap dipermalukan oleh “segerombolan” orang yang seenaknya membabi buta memperlihatkan “kegarangan” dengan membawa parang untuk membunuh sesama manusia di hadapan orang banyak. Hukum dilecehkan sehingga tak berdaya. Buku yang ditulis oleh Faisal Ismail mengulas Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama: Konflik, Rekonsiliasi dan Harmoni.
Faisal mengajak kita untuk mencari akar teologis bahwa agama diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia. Terutama Islam, merupakan agama dengan visi-misi yang secara totalitas mengajarkan umatnya untuk selalu menyebarkan keselamatan, menciptakan kedamaian, dan menegakkan perdamaian dalam semua aspek.
Dapatlah ditegaskan bahwa segala bentuk terorisme, brutalisme, anarkisme, keberingasan, perusakan, dan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok muslim “fundamentalisradikalis” yang me-ngatasnamakan Islam sebenarnya sangat bertentangan dengan watak dasar, visi-misi damai Islam itu sendiri. Buku ini dibagi ke dalam lima bab.
Pertama, membahas akarakar teologis kerukunan, toleransi dan perdamaian dalam doktrin Islam. Kedua, mengurai tentang strategi dan pola kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam upaya menata dan membina kerukunan antarumat beragama. Ketiga, mengkaji tentang terjadinya konflik-konflik komunal di beberapa daerah yang kemudian menyeret simbolsimbol dan sensitivitas agama ke dalam konflik.
Keempat, menyoroti secara spesifik tentang perlunya dilakukan berbagai upaya yang berkesinambungan untuk selalu memelihara dan merawat pilarpilar bangunan konstitusionalisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Kelima, pentingnya pemberdayaan dialog dan toleransi untuk membangun harmoni antarumat beragama.
Konflik yang menjadi titik rawan kerap menimbulkan gesekan antarumat beragama antara lain: pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari-hari besar keagamaan, penodaan agama, dan kegiatan aliran sempalan. Konflik ini terjadi akibat “kecurigaan” yang timbul dan tidak adanya ruang dialog yang difasilitasi oleh negara.
Tawaran menarik dari buku Faisal ini adalah melibatkan Universitas-Universitas Islam maupun non-Islam dengan melibatkan mahasiswa dan dosen untuk mengkaji agama secara dialogis. Bisa dilihat dalam beberapa strategi; pertama, studi agamaagama oleh para mahasiswa dan para calon pemuka agama hendaknya ditujukan untuk membangun suasana iman yang dialogis.
Kedua, untuk menumbuhkan etika pergaulan antarumat beragama. Ketiga, diarahkan untuk membangun kesadaran untuk menghilangkan biasbias pemahaman keagamaan. Keempat, menghancurkan “culture barriers “ (rintanganrintangan budaya) di antara komunitas-komunitas agama, kelima membangun kesadaran tumbuhnya pluralisme agama baik di Indonesia maupun suasana global, dan keenam menumbuhkan kepekaan akan nilai-nilai moralitas, demokrasi dan HAM.
Dengan begitu, “bina damai antarumat beragama” di Indonesia bisa berjalan dengan baik, tanpa hambatan. Akhirnya, buku ini sangat pas dibaca oleh semua kalangan, baik mahasiswa, akademisi, pemerintah, maupun masyarakat awan untuk menciptakan Indonesia tanpa diskriminasi.
Dirga Maulana,
Peneliti Junior Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
(bbg)