Entrepreneur Spiritual
A
A
A
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Ada fenomena yang menarik diamati terkait dengan kegiatan training spiritual. Umumnya training spiritual diikuti kalangan muslim perkotaan. Waktunya pun dipilih pada setiap akhir pekan (weekend).
Paket pelatihan yang ditawarkan para entrepreneur spiritual ternyata laris manis. Padahal untuk mengikuti training spiritual peserta dikenakan biaya mahal. Pertanyaannya, mengapa kalangan muslim perkotaan antusias mengikuti training spiritual meski harus mengeluarkan biaya mahal? Training spiritual kini telah menjadi rutinitas sekaligus pengganti rekreasi yang biasa dilakukan kelompok menengah ke atas pada setiap akhir pekan.
Training spiritual telah menjadi sarana relaksasi pikiran setelah bekerja selama seminggu. Dengan mengikuti training spiritual, seseorang berharap terhindar dari penyakit stres yang seringkali dialami masyarakat perkotaan. Jika dicermati, training spiritual sejatinya telah menjadi fenomena global era 1990-an. Tepatnya sejak Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ).
Dengan EQ, seseorang dapat memahami perasaan orang lain sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan diri (self awareness). Danah Zohar dan Ian Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Melalui SQ, seseorang mampu meraih nilainilai, pengalaman, dan kenikmatan spiritual (the taste of spirituality).
Temuan tersebut menegaskan peranan EQ dan SQ sebagai faktor penting kesuksesan seseorang. Dengan demikian, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan melalui intelligence quotient (IQ). Begitu karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall diterbitkan dalam edisi Indonesia, kesadaran untuk mengoptimalkan potensi IQ, EQ, dan SQ, dalam rangka meraih sukses hidup menjadi tren.
Karya-karya itu telah menginspirasi munculnya buku bertemakan spiritualitas dan tasawuf. Kita pun menemukan karya penulis-penulis produktif semacam Ary Ginanjar Agustian (ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam serta ESQ Power), Agus Mustafa (penulis buku-buku bertemakan dialog tasawuf dan modernitas), Mohammad Sholeh (Salat Tahajud dan Kesehatan), Abu Sangkan (Salat Khusyuk), dan Yusuf Mansur (Belajar Salat).
Yang mengagumkan, ternyata buku-buku tersebut termasuk kategori best seller. Respons masyarakat yang luar biasa itulah yang kemudian mengilhami beberapa penggiat kajian spiritualitas dan tasawuf melakukan terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan. Tawaran training spiritual itu pun disambut muslim perkotaan dengan antusias. Maka itu, jadilah kegiatan training spiritual menjadi profesi bagi entrepreneur spiritual.
Kajian keagamaan dan paket training spiritual telah menjadi gejala di beberapa kota besar. Warga Jakarta pasti mengenal beberapa kelompok kajian keagamaan dan spiritualitas. Misalnya, Tazkia Sejati (Djalaluddin Rahmat), Klub Kajian Agama (almarhum Nurcholish Madjid), Training Meditasi (Anand Krishna), Training ESQ (Ary Ginanjar Agustian), dan Shalat Khusyuk (Abu Sangkan). Demam training spiritual pun menular ke Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan.
Selain training spiritual, kegiatan keagamaan dalam bentuk zikir juga berkembang pesat melalui kiprah Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar (AA Gym), dan Yusuf Mansur. Fenomena spiritualitas juga mewujud dalam kelompok-kelompok salawat. Misalnya, kelompok salawat Nabi pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
Bukan hanya itu, guru spiritual juga kini menjadi profesi yang menggiurkan di Ibu Kota. Itu terjadi karena umumnya elite politik, pejabat publik, bahkan selebritas di negeri ini membutuhkan guru spiritual. Para penggiat spiritual yang piawai memanfaatkan psikologi masyarakat perkotaan inilah yang disebut entrepreneur spiritual sejati. Mereka para penggiat training spiritual telah berhasil melakukan komodifikasi nilai-nilai keagamaan dan modernitas.
Entrepreneur spiritual dapat menyelami perasaan muslim perkotaan yang mengalami dahaga spiritual akibat kehidupan individualistik dan materialistik. Ibaratnya, muslim perkotaan sedang merindukan kehidupan yang bermakna (meaningful). Apalagi jika melihat kondisi bangsa yang pelan, tapi pasti mengalami degradasi moral.
Training spiritual juga dapat menjadi benteng bagi muslim perkotaan agar terjauhkan dari pengaruh dunia mistik, klenik, dan perdukunan, yang juga menjadi tren. Mengutip hasil workshop tentang Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and Modernity in Contemporary Islam, yang diselenggarakan oleh Griffith University, Brisbane, Australia dan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta (2001), dikatakan bahwa terdapat lima kecenderungan masyarakat kota terhadap sufisme atau spiritualitas pada umumnya yaitu:
(1) searching for meaningful life (pencarian makna hidup), (2) intellectual exercise and enrichment (perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan), (3) psychological escape (sebagai solusi problem psikologis), (4) religious justification (mengikuti tren keagamaan), dan (5) economic interest (komodifikasi agama untuk kepentingan ekonomi). Jika lima indikator itu digunakan untuk mengamati tren spiritualitas muslim perkotaan, faktor utama mereka mengikuti training spiritual adalah psychological escape.
Itu dapat dimaklumi karena muslim perkotaan merupakan kelompok yang bersentuhan langsung dengan dampak modernitas. Problem terbesar masyarakat modern umumnya adalah persoalan kemanusiaan seperti keterasingan, individualistik, materialistik, dan moralitas. Berkaitan dengan ada kecenderungan economic interest yang menyertai training spiritual, itu harus diakui sebagai bagian dari profesionalisme. Budaya kerja profesional menuntut pengelolaan training spiritual layaknya sebuah bisnis.
Karena itu, tidak mengherankan jika entrepreneur spiritual melaksanakan training spiritual di hotel berbintang. Entrepreneur spiritual juga memanfaatkan kecanggihan informasi dan teknologi (IT). Bahkan urusan penataan ruang, soundsystem, dan cahaya lampu, menjadi bagian yang diperhatikan entrepreneur spiritual. Dengan cara itu, entrepreneur spiritual dapat memainkan emosi keagamaan peserta pelatihan sehingga mampu menghadirkan penyesalan, kesedihan, keharuan, dan kesyahduan.
Puncaknya, ketika peserta training spiritual hanyut dalam penyesalan. Tanpa terasa air mata peserta pun menetes. Peserta training spiritual menangis tersedu-sedu sebagai tanda penyesalan atas segala kesalahan. Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti training spiritual itu seseorang dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah. Karena pasti butuh waktu untuk mengamati perubahan perilaku peserta training spiritual. Paling tidak entrepreneur spiritual telah membantu muslim perkotaan untuk merasakan kenikmatan spiritual.
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Ada fenomena yang menarik diamati terkait dengan kegiatan training spiritual. Umumnya training spiritual diikuti kalangan muslim perkotaan. Waktunya pun dipilih pada setiap akhir pekan (weekend).
Paket pelatihan yang ditawarkan para entrepreneur spiritual ternyata laris manis. Padahal untuk mengikuti training spiritual peserta dikenakan biaya mahal. Pertanyaannya, mengapa kalangan muslim perkotaan antusias mengikuti training spiritual meski harus mengeluarkan biaya mahal? Training spiritual kini telah menjadi rutinitas sekaligus pengganti rekreasi yang biasa dilakukan kelompok menengah ke atas pada setiap akhir pekan.
Training spiritual telah menjadi sarana relaksasi pikiran setelah bekerja selama seminggu. Dengan mengikuti training spiritual, seseorang berharap terhindar dari penyakit stres yang seringkali dialami masyarakat perkotaan. Jika dicermati, training spiritual sejatinya telah menjadi fenomena global era 1990-an. Tepatnya sejak Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ).
Dengan EQ, seseorang dapat memahami perasaan orang lain sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan diri (self awareness). Danah Zohar dan Ian Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Melalui SQ, seseorang mampu meraih nilainilai, pengalaman, dan kenikmatan spiritual (the taste of spirituality).
Temuan tersebut menegaskan peranan EQ dan SQ sebagai faktor penting kesuksesan seseorang. Dengan demikian, kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan melalui intelligence quotient (IQ). Begitu karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall diterbitkan dalam edisi Indonesia, kesadaran untuk mengoptimalkan potensi IQ, EQ, dan SQ, dalam rangka meraih sukses hidup menjadi tren.
Karya-karya itu telah menginspirasi munculnya buku bertemakan spiritualitas dan tasawuf. Kita pun menemukan karya penulis-penulis produktif semacam Ary Ginanjar Agustian (ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam serta ESQ Power), Agus Mustafa (penulis buku-buku bertemakan dialog tasawuf dan modernitas), Mohammad Sholeh (Salat Tahajud dan Kesehatan), Abu Sangkan (Salat Khusyuk), dan Yusuf Mansur (Belajar Salat).
Yang mengagumkan, ternyata buku-buku tersebut termasuk kategori best seller. Respons masyarakat yang luar biasa itulah yang kemudian mengilhami beberapa penggiat kajian spiritualitas dan tasawuf melakukan terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan. Tawaran training spiritual itu pun disambut muslim perkotaan dengan antusias. Maka itu, jadilah kegiatan training spiritual menjadi profesi bagi entrepreneur spiritual.
Kajian keagamaan dan paket training spiritual telah menjadi gejala di beberapa kota besar. Warga Jakarta pasti mengenal beberapa kelompok kajian keagamaan dan spiritualitas. Misalnya, Tazkia Sejati (Djalaluddin Rahmat), Klub Kajian Agama (almarhum Nurcholish Madjid), Training Meditasi (Anand Krishna), Training ESQ (Ary Ginanjar Agustian), dan Shalat Khusyuk (Abu Sangkan). Demam training spiritual pun menular ke Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan.
Selain training spiritual, kegiatan keagamaan dalam bentuk zikir juga berkembang pesat melalui kiprah Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar (AA Gym), dan Yusuf Mansur. Fenomena spiritualitas juga mewujud dalam kelompok-kelompok salawat. Misalnya, kelompok salawat Nabi pimpinan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
Bukan hanya itu, guru spiritual juga kini menjadi profesi yang menggiurkan di Ibu Kota. Itu terjadi karena umumnya elite politik, pejabat publik, bahkan selebritas di negeri ini membutuhkan guru spiritual. Para penggiat spiritual yang piawai memanfaatkan psikologi masyarakat perkotaan inilah yang disebut entrepreneur spiritual sejati. Mereka para penggiat training spiritual telah berhasil melakukan komodifikasi nilai-nilai keagamaan dan modernitas.
Entrepreneur spiritual dapat menyelami perasaan muslim perkotaan yang mengalami dahaga spiritual akibat kehidupan individualistik dan materialistik. Ibaratnya, muslim perkotaan sedang merindukan kehidupan yang bermakna (meaningful). Apalagi jika melihat kondisi bangsa yang pelan, tapi pasti mengalami degradasi moral.
Training spiritual juga dapat menjadi benteng bagi muslim perkotaan agar terjauhkan dari pengaruh dunia mistik, klenik, dan perdukunan, yang juga menjadi tren. Mengutip hasil workshop tentang Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and Modernity in Contemporary Islam, yang diselenggarakan oleh Griffith University, Brisbane, Australia dan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta (2001), dikatakan bahwa terdapat lima kecenderungan masyarakat kota terhadap sufisme atau spiritualitas pada umumnya yaitu:
(1) searching for meaningful life (pencarian makna hidup), (2) intellectual exercise and enrichment (perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan), (3) psychological escape (sebagai solusi problem psikologis), (4) religious justification (mengikuti tren keagamaan), dan (5) economic interest (komodifikasi agama untuk kepentingan ekonomi). Jika lima indikator itu digunakan untuk mengamati tren spiritualitas muslim perkotaan, faktor utama mereka mengikuti training spiritual adalah psychological escape.
Itu dapat dimaklumi karena muslim perkotaan merupakan kelompok yang bersentuhan langsung dengan dampak modernitas. Problem terbesar masyarakat modern umumnya adalah persoalan kemanusiaan seperti keterasingan, individualistik, materialistik, dan moralitas. Berkaitan dengan ada kecenderungan economic interest yang menyertai training spiritual, itu harus diakui sebagai bagian dari profesionalisme. Budaya kerja profesional menuntut pengelolaan training spiritual layaknya sebuah bisnis.
Karena itu, tidak mengherankan jika entrepreneur spiritual melaksanakan training spiritual di hotel berbintang. Entrepreneur spiritual juga memanfaatkan kecanggihan informasi dan teknologi (IT). Bahkan urusan penataan ruang, soundsystem, dan cahaya lampu, menjadi bagian yang diperhatikan entrepreneur spiritual. Dengan cara itu, entrepreneur spiritual dapat memainkan emosi keagamaan peserta pelatihan sehingga mampu menghadirkan penyesalan, kesedihan, keharuan, dan kesyahduan.
Puncaknya, ketika peserta training spiritual hanyut dalam penyesalan. Tanpa terasa air mata peserta pun menetes. Peserta training spiritual menangis tersedu-sedu sebagai tanda penyesalan atas segala kesalahan. Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti training spiritual itu seseorang dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak mudah. Karena pasti butuh waktu untuk mengamati perubahan perilaku peserta training spiritual. Paling tidak entrepreneur spiritual telah membantu muslim perkotaan untuk merasakan kenikmatan spiritual.
(bbg)