Mengawal Nilai Tukar Rupiah
A
A
A
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan minggu lalu menghadapi tekanan.
Pada Jumat (13/2), nilai tukar rupiah ditutup di posisi Rp12.798 per dolar AS dan sempat mencapai level Rp12.851 per dolar AS di hari sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah ini juga kita rasakan sepanjang 2014, di mana rupiah terdepresiasi sebesar 1,74% (year on year ).
Pelemahan nilai tukar rupiah dimulai menjelang berakhirnya tahun 2012 atau awal 2013 ketika The Fed mulai menyampaikan rencana percepatan penghentian program stimulus quantitative easing (QE III) hingga rencana kenaikan suku bunga The Fed. Secara umum kebijakan The Fed ini memicu pelemahan nilai tukar rupiah dan hampir sebagian besar nilai tukar negara berkembang (soft currency ).
Di saat bersamaan negara-negara di kawasan Eropa, China, dan Jepang, mengalami perlambatan ekonomi. Hal ini memperbesar bobot tekanan bagi nilai tukar rupiah mengingat kawasan Eropa, China, dan Jepang merupakan mitra strategis Indonesia. Pada Jumat (13/2), Bank Indonesia merilis neraca pembayaran triwulan IV 2014 surplus sebesar USD2,4 miliar akibat surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar yang melampaui defisit transaksi berjalan sebesar USD6,2 miliar (2,81% produk domestik bruto/PDB).
Dengan demikian, neraca pembayaran tahun 2014 mencatatkan surplus USD15,2 miliar setelah pada 2013 defisit USD7,3 miliar. Perbaikan tersebut ditopang oleh menyusutnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial. Surplus ini juga memberi efek pada peningkatan cadangan devisa yang hingga akhir Januari telah mencapai USD114,2 miliar.
Selain itu Bank Indonesia juga merilis kinerja transaksi berjalan, di mana defisit transaksi berjalan triwulan IV 2014 sebesar USD6,18 miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan defisit USD7 miliar (2,99% PDB) pada triwulan III 2014. Dengan demikian, sepanjang 2014, defisit transaksi berjalan tercatat USD26,2 miliar (2,95% PDB) atau lebih kecil dibanding tahun 2013 yang mencapai USD29,1 miliar (3,18% PDB).
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja neraca perdagangan 2014 masih defisit sebesar USD1,88 miliar dengannilaitotaleksportercatat USD 176,29 miliar, sementara impor USD178,18 miliar. Jika kita amati, surplus neraca pembayaran yang lebih banyak ditopang oleh transaksi finansial pada 2014, di mana nilainya mencapai USD43,6 miliar atau meningkat dua kali lipat dari 2013 yang sebesar USD21,9 miliar.
Sementara transaksi modal relatif stabil dari tahun ke tahun. Transaksi finansial pada periode 2014 banyak disumbangkan oleh investasi portofolio baik swasta maupun sektor publik. Di sisi lain neraca transaksi berjalan sejak triwulan IV 2011 hingga saat ini terus negatif (defisit) menunjukkan bahwa kinerja transaksi baik barang maupun jasa masih relatif kurang menggembirakan.
Defisit transaksi berjalan tercatat terus defisit sepanjang triwulan IV 2011-2014 atau telah berlangsung selama 13 triwulan berturut-turut.Ini merupakan catatan penting bagi perekonomian nasional mengingat ekonomi Indonesia baru periode tersebut mengalami defisit berturut-turut. Memang argumentasi di belakang realita tersebut adalah perlambatan ekonomi dunia yang juga menekan permintaan secara global.
Belum lagi dinamika ekonomi kawasan dan domestik yang juga memberi sentimen terhadap perekonomian nasional. Dari gambaran ini, pemerintah perlu mencermati dua hal. Pertama, potensi pembalikan modal (reverse) yang sewaktuwaktu dapat terjadi dan menekan transaksi finansial yang sebagian besar didominasi oleh investasi portofolio. Hal ini tentunya bukan hal yang mustahil mengingat The Fed telah memberi sinyal kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (cepat atau lambat).
Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan berdampak pada realokasi investasi dan pelarian modal keluar dari negara-negara berkembang ke Amerika Serikat. Termasuk investasi dan modal derivatif yang saat ini parkir di Indonesia. Kedua, dari sisi transaksi berjalan akan relatif sulit diharapkan terlalu banyak mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas dunia sementara sebagian besar kegiatan ekspor masih mengandalkan ekspor komoditas.
Defisit yang terjadi sepanjang 13 triwulan sejak akhir 2011 mencerminkan masih perlunya dorongan bagi produksi-produksi barang/ jasa yang bernilai tambah tinggi mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas terus meningkat seiring dengan anjloknya harga komoditas. Asumsi bahwa anjloknya nilai tukar rupiah akan memberi peluang bagi ekspor juga sulit dipertahankan lantaran eksportasi yang dilakukan masih didominasi sektor komoditas.
Artinya untuk dapat keluar dari persoalan defisit transaksi berjalan, maka produksi barang/ jasa bernilai tambah tinggi mutlak harus dilakukan Ketiga, stabilitas politik memerlukan kehati-hatian mengingat contagion effect -nya cukup signifikan terhadap stabilitas perekonomian nasional. Walaupun sentimen eksternal yang datang dari krisis Yunani pada pekan lalu ditengarai sebagai sebab dari pelemahan rupiah, tetapi pemerintah juga perlu menyadari situasi dan dinamika domestik yang kini berlaku di Indonesia.
Potensi tergerusnya kepercayaan investor, melemahnya animo pasar akan berdampak pada kinerja neraca pembayaran di masa mendatang. Persoalan-persoalan di atas tentunya sangat membutuhkan respons kebijakan agar tekanan baik eksternal maupun internal dapat dimitigasi sehingga ekonomi nasional dapat terus membaik. Proyeksi ekonomi global sepanjang 2015 masih berputar sekitarkenaikansukubungaThe Fed, tertekannya ekonomi Eropa, China, dan Jepang, konflik di sejumlah kawasan, akan berdampak sepanjang tahun 2015.
Pertama, permintaankomoditas masih terus melemah sepanjang 2015. Kedua, harga minyak dunia juga tetap berada pada level yang rendah akibat pasokan yang berlimpah setelah Amerika mengumumkan surplus minyak serpih. Ketiga, perbaikan ekonomi Amerika akan mendorong penguatan mata uang dolar AS terhadap sebagian besar mata uang negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Keempat, konflik Ukraina, Timur Tengah, dan persoalan-persoalan di perbatasan negara juga akan memberi kontribusi signifikan terhadap perlambatan ekonomi global sekaligus mendorong pelemahan permintaan dunia. Dengan berbagai proyeksi tersebut, pemerintah tetap perlu mencermati dan mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah mengingat dampak pelemahan ini dapat mengakibatkan tertahannya pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebutuhan bahan baku yang sebagian besar impor akan menghadapi masalah serius. Kedua , karena biaya bahan baku naik, harga-harga barang industri juga berpotensi meningkat pada harga akhir. Ketiga, daya beli masyarakat akan tergerus akibat kenaikan harga-harga tersebut padahal sebelumnya sudah dihadapkan pada kenaikan harga listrik dan elpiji.
Keempat, potensi pelarian modal dalam beberapa waktu ke depan memiliki nilai probabilitas cukup tinggi yang dapat sewaktu- waktu menekan kinerja neraca pembayaran. Kelima, kenaikan suku bunga The Fed dan potensi pelarian modal berdampak pada kebijakan otoritas moneter yang salah satu opsinya menaikkan suku bunga.
Kenaikan suku bunga ini tentunya akan berdampak pada tertekannya sektor riil yang langsung atau tidak langsung juga menekan daya beli masyarakat. Dari kelima potensi itu, hal paling mendasar bagi pemerintah saat ini adalah mempertahankan dan memastikan daya beli masyarakat tidak tergerus.
Ini dapat ditempuh melalui koordinasi kebijakan lintas sektoral untuk tetap menjaga baik melalui instrumen harga di tingkat akhir, maupun instrumen fiskal lain yang dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya terhadap sejumlah barang kebutuhan pokok dan barang penting lainnya. Setelah itu kinerja perdagangan perlu diarahkan pada produksi barang-barang bernilai tinggi sekaligus digunakan untuk memperkuat orientasi ekspor barang-barang bernilai tambah tinggi.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah memastikan stabilitas politik dan keamanan domestik untuk menjaga citra sebagai salah satu destinasi investasi yang atraktif saat ini. Dengan mencermati hal ini, kita berharap tekanan pelemahan rupiah dapat diantisipasi khususnya terkait dampaknya terhadap ekonomi sektor riil dan rumah tangga.
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan minggu lalu menghadapi tekanan.
Pada Jumat (13/2), nilai tukar rupiah ditutup di posisi Rp12.798 per dolar AS dan sempat mencapai level Rp12.851 per dolar AS di hari sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah ini juga kita rasakan sepanjang 2014, di mana rupiah terdepresiasi sebesar 1,74% (year on year ).
Pelemahan nilai tukar rupiah dimulai menjelang berakhirnya tahun 2012 atau awal 2013 ketika The Fed mulai menyampaikan rencana percepatan penghentian program stimulus quantitative easing (QE III) hingga rencana kenaikan suku bunga The Fed. Secara umum kebijakan The Fed ini memicu pelemahan nilai tukar rupiah dan hampir sebagian besar nilai tukar negara berkembang (soft currency ).
Di saat bersamaan negara-negara di kawasan Eropa, China, dan Jepang, mengalami perlambatan ekonomi. Hal ini memperbesar bobot tekanan bagi nilai tukar rupiah mengingat kawasan Eropa, China, dan Jepang merupakan mitra strategis Indonesia. Pada Jumat (13/2), Bank Indonesia merilis neraca pembayaran triwulan IV 2014 surplus sebesar USD2,4 miliar akibat surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar yang melampaui defisit transaksi berjalan sebesar USD6,2 miliar (2,81% produk domestik bruto/PDB).
Dengan demikian, neraca pembayaran tahun 2014 mencatatkan surplus USD15,2 miliar setelah pada 2013 defisit USD7,3 miliar. Perbaikan tersebut ditopang oleh menyusutnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial. Surplus ini juga memberi efek pada peningkatan cadangan devisa yang hingga akhir Januari telah mencapai USD114,2 miliar.
Selain itu Bank Indonesia juga merilis kinerja transaksi berjalan, di mana defisit transaksi berjalan triwulan IV 2014 sebesar USD6,18 miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan defisit USD7 miliar (2,99% PDB) pada triwulan III 2014. Dengan demikian, sepanjang 2014, defisit transaksi berjalan tercatat USD26,2 miliar (2,95% PDB) atau lebih kecil dibanding tahun 2013 yang mencapai USD29,1 miliar (3,18% PDB).
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja neraca perdagangan 2014 masih defisit sebesar USD1,88 miliar dengannilaitotaleksportercatat USD 176,29 miliar, sementara impor USD178,18 miliar. Jika kita amati, surplus neraca pembayaran yang lebih banyak ditopang oleh transaksi finansial pada 2014, di mana nilainya mencapai USD43,6 miliar atau meningkat dua kali lipat dari 2013 yang sebesar USD21,9 miliar.
Sementara transaksi modal relatif stabil dari tahun ke tahun. Transaksi finansial pada periode 2014 banyak disumbangkan oleh investasi portofolio baik swasta maupun sektor publik. Di sisi lain neraca transaksi berjalan sejak triwulan IV 2011 hingga saat ini terus negatif (defisit) menunjukkan bahwa kinerja transaksi baik barang maupun jasa masih relatif kurang menggembirakan.
Defisit transaksi berjalan tercatat terus defisit sepanjang triwulan IV 2011-2014 atau telah berlangsung selama 13 triwulan berturut-turut.Ini merupakan catatan penting bagi perekonomian nasional mengingat ekonomi Indonesia baru periode tersebut mengalami defisit berturut-turut. Memang argumentasi di belakang realita tersebut adalah perlambatan ekonomi dunia yang juga menekan permintaan secara global.
Belum lagi dinamika ekonomi kawasan dan domestik yang juga memberi sentimen terhadap perekonomian nasional. Dari gambaran ini, pemerintah perlu mencermati dua hal. Pertama, potensi pembalikan modal (reverse) yang sewaktuwaktu dapat terjadi dan menekan transaksi finansial yang sebagian besar didominasi oleh investasi portofolio. Hal ini tentunya bukan hal yang mustahil mengingat The Fed telah memberi sinyal kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (cepat atau lambat).
Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan berdampak pada realokasi investasi dan pelarian modal keluar dari negara-negara berkembang ke Amerika Serikat. Termasuk investasi dan modal derivatif yang saat ini parkir di Indonesia. Kedua, dari sisi transaksi berjalan akan relatif sulit diharapkan terlalu banyak mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas dunia sementara sebagian besar kegiatan ekspor masih mengandalkan ekspor komoditas.
Defisit yang terjadi sepanjang 13 triwulan sejak akhir 2011 mencerminkan masih perlunya dorongan bagi produksi-produksi barang/ jasa yang bernilai tambah tinggi mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas terus meningkat seiring dengan anjloknya harga komoditas. Asumsi bahwa anjloknya nilai tukar rupiah akan memberi peluang bagi ekspor juga sulit dipertahankan lantaran eksportasi yang dilakukan masih didominasi sektor komoditas.
Artinya untuk dapat keluar dari persoalan defisit transaksi berjalan, maka produksi barang/ jasa bernilai tambah tinggi mutlak harus dilakukan Ketiga, stabilitas politik memerlukan kehati-hatian mengingat contagion effect -nya cukup signifikan terhadap stabilitas perekonomian nasional. Walaupun sentimen eksternal yang datang dari krisis Yunani pada pekan lalu ditengarai sebagai sebab dari pelemahan rupiah, tetapi pemerintah juga perlu menyadari situasi dan dinamika domestik yang kini berlaku di Indonesia.
Potensi tergerusnya kepercayaan investor, melemahnya animo pasar akan berdampak pada kinerja neraca pembayaran di masa mendatang. Persoalan-persoalan di atas tentunya sangat membutuhkan respons kebijakan agar tekanan baik eksternal maupun internal dapat dimitigasi sehingga ekonomi nasional dapat terus membaik. Proyeksi ekonomi global sepanjang 2015 masih berputar sekitarkenaikansukubungaThe Fed, tertekannya ekonomi Eropa, China, dan Jepang, konflik di sejumlah kawasan, akan berdampak sepanjang tahun 2015.
Pertama, permintaankomoditas masih terus melemah sepanjang 2015. Kedua, harga minyak dunia juga tetap berada pada level yang rendah akibat pasokan yang berlimpah setelah Amerika mengumumkan surplus minyak serpih. Ketiga, perbaikan ekonomi Amerika akan mendorong penguatan mata uang dolar AS terhadap sebagian besar mata uang negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Keempat, konflik Ukraina, Timur Tengah, dan persoalan-persoalan di perbatasan negara juga akan memberi kontribusi signifikan terhadap perlambatan ekonomi global sekaligus mendorong pelemahan permintaan dunia. Dengan berbagai proyeksi tersebut, pemerintah tetap perlu mencermati dan mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah mengingat dampak pelemahan ini dapat mengakibatkan tertahannya pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebutuhan bahan baku yang sebagian besar impor akan menghadapi masalah serius. Kedua , karena biaya bahan baku naik, harga-harga barang industri juga berpotensi meningkat pada harga akhir. Ketiga, daya beli masyarakat akan tergerus akibat kenaikan harga-harga tersebut padahal sebelumnya sudah dihadapkan pada kenaikan harga listrik dan elpiji.
Keempat, potensi pelarian modal dalam beberapa waktu ke depan memiliki nilai probabilitas cukup tinggi yang dapat sewaktu- waktu menekan kinerja neraca pembayaran. Kelima, kenaikan suku bunga The Fed dan potensi pelarian modal berdampak pada kebijakan otoritas moneter yang salah satu opsinya menaikkan suku bunga.
Kenaikan suku bunga ini tentunya akan berdampak pada tertekannya sektor riil yang langsung atau tidak langsung juga menekan daya beli masyarakat. Dari kelima potensi itu, hal paling mendasar bagi pemerintah saat ini adalah mempertahankan dan memastikan daya beli masyarakat tidak tergerus.
Ini dapat ditempuh melalui koordinasi kebijakan lintas sektoral untuk tetap menjaga baik melalui instrumen harga di tingkat akhir, maupun instrumen fiskal lain yang dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya terhadap sejumlah barang kebutuhan pokok dan barang penting lainnya. Setelah itu kinerja perdagangan perlu diarahkan pada produksi barang-barang bernilai tinggi sekaligus digunakan untuk memperkuat orientasi ekspor barang-barang bernilai tambah tinggi.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah memastikan stabilitas politik dan keamanan domestik untuk menjaga citra sebagai salah satu destinasi investasi yang atraktif saat ini. Dengan mencermati hal ini, kita berharap tekanan pelemahan rupiah dapat diantisipasi khususnya terkait dampaknya terhadap ekonomi sektor riil dan rumah tangga.
(ars)