Punya Logika Ekonomi Tersendiri

Minggu, 15 Februari 2015 - 10:02 WIB
Punya Logika Ekonomi...
Punya Logika Ekonomi Tersendiri
A A A
Ada banyak cara yang dipilih para pemimpin perusahaan besar untuk mengisi waktu senggang mereka. Selain meluangkan waktu bersama keluarga, mereka juga memanjakan hobi. Sejumlah top executive begitu bersemangat menceritakan aktivitas hobi mereka.

Memimpin perusahaan besar memang sebuah prestasi dan prestise. Tapi di balik itu, ada beban dan tanggung jawab yang sangat besar. Seorang top executive dituntut memiliki pikiran dan stamina yang selalu prima agar mampu mengambil keputusan terbaik setiap saat.

Karena itu, waktu-waktu bersama keluarga, me time, dan menjalankan hobi merupakan cara paling mujarab untuk menghindari atau mengurangi stres di sela padatnya rutinitas dan beratnya tanggung jawab. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Gatot Mudiantoro Suwondo, misalnya. Bukan hal aneh menemukan Gatot mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi dan sepatu formal.

Namun, di saat akhir pekan, penampilannya bisa berubah 100%. Gatot akan membungkus dirinya dengan jaket hitam, sepatu bot, celana jins, dan berbagai aksesori khas biker, kemudian melaju di atas kuda besi nan gahar. Ya, Gatot memang pencinta motor gede. Pria kelahiran Jakarta, 11 Oktober 1954 ini mengaku menekuni hobi mengendarai motor gede atas ajakan teman-temannya di komunitas Bankers Bike.

“Mengendarai HD (Harley-Davidson) itu exiting buat refresh. Setiap Minggu, kalau enggak ada acara, mulai pagi kita bawa HD jalan keliling Ibu Kota,” katanya. Saat berkendara itu sesekali berhenti, lalu nongkrong, kemudian makan bubur ayam atau sekadar menyeruput teh hangat.

Tempat yang sering jadi tongkrongan adalah di Jalan Tanjung, kemudian di Mal Senayan City. Bukan cuma menyenangkan, menikmati hobi naik HD bagi Gatot juga menyehatkan. Bagaimana bisa? “Kita seperti sauna. Pakai jaket rapat, kacamata, jins, dan boot, padahal di sini panas. Keluar keringat semua,” ujarnya. Bagi Gatot,menekuni hobi merupakan hal penting. Seseorang, kata dia, bisa sejenak keluar dari rutinitas dan melakukan penyegaran.

“Orang yang tiap hari bekerja, sesekali harus rileks, nikmati kemerdekaan. Kalau enggak, untuk apalah kita hidup. Nikmatilah hidup ini. Kita kerja kan untuk hidup, bukan hidup untuk kerja. Kalau hidup untuk kerja, ya kalender kita enggak ada tanggal merahnya, item semua,” ucapnya.

Sementara itu, Presiden Komisaris PT Phapros Dandossi Matram punya hobi off-road. Pria yang juga menjabat sebagai direktur SDM dan keuangan di PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) ini mengaku “terjerumus” ke dunia offr o a d sejak 2004.

“Waktu itu, kakak ipar saya punya mobil jip besar, body-nya kekar dan gagah. Saya senang sekali melihatnya. Mobil itu saya beli tapi hanya untuk kerja dan belanja,” tutur Ossy -sapaan Dandossi. Suatu ketika, seorang teman mengajak Ossy ikut kegiatan off-road. “Masa jip hanya dipakai ke mal?” pancing temannya. Ossy pun langsung memenuhi tantangan tersebut.

Ternyata, dia justru menemukan keasyikan dan keseruan mengendalikan jipnya untuk menaklukkan medan terjal, curam, berkubang dan berlumpur. Setelah itu, Ossy menjajal menjadi navigator di kejuaraan off-road nasional. Selanjutnya, pada Desember 2004, dia tampil pertama kali di ajang extreme adventure off-road bertajuk Diplomat Challenge of Indonesia (DCI).

“Extreme adventure off-road ini membuat saya semakin asyik menggeluti dunia off-road . Dua minggu penuh di dalam hutan merupakan tantangan dan keasyikan tersendiri,” tutur pria yang pernah aktif sebagai anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia ini. Sejak saat itu, pendiri sekaligus ketua umum Indonesia Off-road eXpedition (IOX) ini semakin aktif menjadi off-roader dan hampir tak pernah absen mengikuti berbagai kegiatan extreme adventure offroad.

“Saya suka yang ekstrem dengan medan berat dan perjalanan panjang. Tidak suka petualangan yang pendek hanya 1-2 hari. “Ketika semua rintangan berhasil dilewati dan kita mencapai finis, itu adalah kepuasan yang tidak ternilai,” ujar pemilik Isuzu Panther dan Suzuki Corsica modifikasi 4X4 ini. Ossy mengakui, off-road adalah hobi yang mahal. Karena itu, mereka yang menjalani hobi off-road ini adalah mereka yang sudah “matang dan mapan”.

Biaya modifikasi mobilnya saja bisa mencapai miliaran rupiah. Itu belum termasuk biaya kegiatan yang meliputi kru, perjalanan, bahan bakar, dan lainnya. Biaya pendaftaran untuk mengikuti kegiatan IOX pun bisa mencapai Rp15 juta. Sementara itu, CEO PT Surya Sejahtera Otomotif (importir resmi Ferrari Indonesia) Arie Christopher mengaku sudah tertarik dan kagum dengan supercar Ferrari sejak kecil.

Menurut Arie, Ferrari itu unik karena DNA-nya adalah untuk balap F1. Dia memiliki dan mengendarai Ferrari bukan lantaran menjadi pimpinan di perusahaan importir Ferrari di Indonesia, tapi memang lantaran sudah menjadi mimpinya sejak kecil. “Mimpi itu menjadi hobi ketika sudah menjadi kenyataan,” tuturnya.

Arie menggunakan kendaraan mewah ini ketika ada acara club atau weekend. Dia menambahkan, Ferrari mengedepankan ekslusivitas. Setiap orang yang membeli Ferrari harus memahami apa itu Ferrari. Bukan hanya sekadar untuk gaya atau pamer. Pemilik Ferrari 612 Scaglietti ini mengungkapkan, ada sensasi tersendiri mengendarai mobil yang mengadopsi langsung teknologi F1 namun sekarang sudah didesain user friendly.

Saat ini, Ferrari dapat dinikmati di tengah kemacetan, kapan saja, dan di mana saja. Arie hampir setiap minggu hadir dalam kegiatan bersama dengan anggota klub Ferrari Owners Club Indonesia (FOCI). Mereka sering kali menggelar gathering dan bakti sosial. Setiap kali gathering diikuti sekitar 80 mobil. Saat ini jumlah anggota FOCI sekitar 150 orang didominasi kalangan pengusaha.

Arie tak sabar menantikan turing Singapura-Malaysia 2015 yang diikuti 58 mobil Ferrari dari Indonesia dan bergabung dengan para pemilik Ferrari dari Singapura serta Malaysia dalam Ferrari Southeast Asia Grand Tour. “Agenda berikutnya adalah Ferrari Challenge Asia Pacific 2015 di Sirkuit Sentul,” ujar Arie. Presiden Direktur PT Mabua Harley- Davidson Djonnie Rahmat juga hobi mengendarai Ferrari.

“Awalnya bisa dibilang ini antara hobi dan tugas, sebab saya juga ditunjuk sebagai salah satu komisaris di Ferrari Indonesia. Tapi akhirnya saya menikmati dan menjadi pengguna Ferrari sejak 2013,” tutur pria yang aktif di FOCI ini. Dalam acara komunitas bersama para pemilik Ferrari, dia bukan lagi sebagai perwakilan dari perusahaan, tapi sudah menjadi bagian dari anggota klub.

Menurut Djonnie, dia senang dengan sensasi adventure dan challenge yang disuguhkan Ferrari. Sama seperti saat mengendarai motor Harley-Davidson yang juga menjadi koleksinya. Menurut pengamat budaya pop, Hikmat Darmawan, tingginya jabatan atau jenjang karier dan besarnya penghasilan tidak berkorelasi langsung dengan mahalnya biaya untuk menjalankan hobi seseorang.

“Itu kembali pada ketertarikan dan minatnya sejak masa remaja bahkan sejak kecil. Nah, kekayaan menunjang yang bersangkutan agar bisa maksimal melakukan aktivitas kegemarannya,” ujar dosen tamu Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta ini.

Hikmat menekankan, banyak sosok sukses yang senang melakoni hobi murah meriah bahkan berangkat dari keinginan untuk berbagi. Tapi banyak pula yang tidak segan-segan merogoh dana besar demi hobi mereka. Anggota Akademi Film Indonesia ini mengakui, ada pula top executive yang melakoni aktivitas hobi berangkat dari tuntutan pekerjaan. Misalnya golf. Berawal dari kebutuhan membangun jaringan dan memelihara hubungan baik, akhirnya banyak eksekutif top yang menjadikan golf sebagai hobi.

“Bahkan sekarang hobi bisa menjadi bagian dari membangun citra positif atau personal branding,” jelas Hikmat. Manajer program di MP Book Point dan Managing Editor RumahFilm.org ini menambahkan, kalaupun ada beberapa top executive yang memiliki hobi mahal atau ekstrem, itu lantaran sudah menjadi bagian dari gaya hidup atau perubahan gaya hidup. Ini erat kaitannya dengan perkembangan pergaulan seseorang dan struktur kelas masyarakat kota.

“Motivasinya beragam. Ada yang sekadar senang, kepuasan batin, demi kebugaran tubuh, sensasi, atau gabungan semua itu,” terang Hikmat. Tak bisa dimungkiri, lanjut dia, semakin mapan seseorang, semakin maksimal yang bersangkutan mampu mengakses bahkan “menggilai” hobinya. “Ketika berbagai kebutuhan primer dan sekunder bagi diri, keluarga, dan orangorang di sekitarnya sudah sangat tercukupi, maka hobi akan membangun logika ekonomi tersendiri,” ungkap penulis buku Pagi di Amerika,Tuhan Tak Sembunyi, dan Life Goes On ini.

Menurut Hikmat, pemenuhan kebutuhanhobitakbisabegitusaja disebut sebagai perilaku konsumtif, melainkan aktivitas konsumsi tahap lanjut. Ketika seseorang sudah begitu mendalami hobinya, maka dia naik dari sekadar aktivitas ke tahap pengetahuan. Diskusi antarpelakunya pun sering kali cukup serius.

“Menariknya, ada yang berangkat dari pekerjaan akhirnya menjadi hobi atau dari hobi menjadi karier dan bahkan bisnis. Ini bisa menjadi dunia kedua bagi seseorang atau dunia utama,” jelas Hikmat. Yang tak kalah menarik, tambah pakar komik ini, ketika sudah bersama komunitas hobinya, seseorang bisa melepas segala atribut yang dalam keseharian melekat dengan pekerjaan atau bisnisnya.

“Untuk top executive yang kesehariannya diposisikan untuk selalu memimpin banyak orang, dianggap setara dalam komunitas hobi tentu fun saja. Tak ada beban,” pungkas Hikmat.

Inda susanti/Dina angelina/
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6756 seconds (0.1#10.140)