Ekspose Perkara BG Dilakukan Sekali

Jum'at, 13 Februari 2015 - 10:39 WIB
Ekspose Perkara BG Dilakukan...
Ekspose Perkara BG Dilakukan Sekali
A A A
JAKARTA - Penyelidik aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iguh Sipurba mengakui gelar perkara (ekspose) kasus Komjen Pol Budi Gunawan (BG) hanya dilakukan satu kali di hadapan empat pimpinan KPK.

Itu diungkapkan Iguh saat menjadi saksi dari pihak KPK pada hari keempat persidangan gugatan praperadilan antara Komjen Pol Budi Gunawan (BG) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) kemarin. Iguh merupakan penyelidik aktif KPK yang ikut memproses berkas penetapan BG sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Dalam kesaksian Iguh menjelaskan bahwa proses penetapan tersangka BG berawal dari laporan masyarakat kepada Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK pada 2008. Laporan itu kemudian diteruskan oleh Direktorat Pengaduan Masyarakat untuk diverifikasi lebih lanjut. “Diverifikasi dan dikumpulkan bahan-bahan untuk memastikan apakah ada indikasi korupsi,” ungkap Iguh di hadapan majelis hakim tunggal Saprin Rizaldi.

Menurut dia, selain laporan masyarakat, pada tahun yang sama KPK juga memiliki data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) yang isinya menerangkan ada kejanggalan sejumlah transaksi keuangan perwira kepolisian. “Laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK yakni transaksi antara 2004-2008,” kata Iguh.

Data PPATK itu diperoleh kembali oleh KPK pada Juni 2014 ketika surat perintah penyelidikan dikeluarkan pimpinan KPK. Namun, untuk LHA yang kedua ini bukan atas inisiatif KPK. Ketika itu penyelidik hanya meminta kepada PPATK apakah masih memiliki data yang berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani. “Di LHA itu ternyata transaksi sudah berubah ada sejak 2003-2008,” sebut Iguh. Seusai mendapatkan dua LHA itu, bukti dan berkas dinyatakan cukup. Oleh tim penyelidik kemudian sepakat untuk dilakukan gelar perkara (ekspose).

Proses gelar perkara dilakukan satu kali di hadapan empat orang komisioner dan pejabat struktural KPK lain. “Ekspose dilakukan sekali setelah kami kumpulkan semua fakta-fakta,” ungkap Iguh. Dalam proses gelar perkara, pimpinan KPK memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk menyampaikan pendapatnya dan pandangannya terkait hasil penyelidikan yang telah dilakukan. Apabila sudah dinyatakan cukup, masuk tahap kesimpulan apakah hasil penyelidikan bisa ditingkatkan menjadi penyidikan.

“Seusai kami paparkan hasil penyelidikan, kemudian pimpinan KPK menyampaikan pendapat, bila ada hal yang tidak jelas, bisa dikatakan,” paparnya. Dari hasil gelar perkara tersebut, menurut Iguh, BG dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 ayat 2, 11 atau Pasal 12 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Pada saat ekspose, kami juga sudah sampaikan pihak-pihak yang diduga (terlibat) dan kami sudah sebutkan calon tersangkanya BG,” ucapnya. Setelah gelar perkara dilaksanakan, pimpinan KPK menyepakati keluar surat perintah penyidikan (sprindik). Dalam sprindik, menurut Iguh, hanya ada nama BG sebagai tersangkanya. “Sepengetahuan saya, minimal satu orang tersangka sudah disebutkan (dalam sprindik),” ujarnya.

Tim kuasa hukum BG kemudian sempat bertanya kepada saksi perihal tidak pernah dipanggilnya BG untuk memberikan keterangan dalam kasus yang disangkakan kepadanya. Iguh menerangkan bahwa itu karena telah terpenuhinya dua alat bukti untuk menjerat kepala Lemdikpol Polri itu sebagai tersangka. “Kami mengacu pada Pasal 44 tentang KPK yakni tujuan dari penyelidikan adalah menemukan bukti permulaan cukup. Itu sekurangkurangnya dua alat bukti,” ungkap Iguh.

Dua alat bukti itu berasal dari keterangan saksi dan dokumen- dokumen yang semua menunjukkan ada tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan kepala Biro Pembinaan Karier Polri itu. “Dalam dua alat bukti itu sudah berkesesuaian satu sama lain sehingga kami tidak perlu menanyakan lagi kepada calon tersangka,” ucapnya. Saat ditanya dokumen-dokumen apakah yang dimaksud, Iguh menolak memaparkan karena sudah masuk dalam ranah penyidikan.

“Kami juga ada petunjuk yang tidak bisa kami sampaikan saat ini,” ujarnya. Kuasa hukum BG, Maqdir Ismail, mempersoalkan kehadiran saksi fakta dari termohon yang nyatanya seorang penyelidik, bukan berasal dari kepolisian maupun kejaksaan. Itu menunjukkan bahwa proses penanganan kasus BG tidak tepat dan telah melenceng dari UU KPK karena dilakukan oleh penyelidik dan penyidik yang tidak berhak memproses kasus.

“Saya kira ada satu kesalahan substansial KPK berkenaan dengan siapa yang berhak menjadi penyelidik. SOP mereka dan UU KPK pun semua sumbernya adalah KUHAP,” ungkapnya. Maqdir pun mengatakan, saat digali keterangan, saksi mengaku berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), namun yang bersangkutan tidak dapat menjawab ketika ditanyakan soal landasan penyelidik dan penyidik KPK.

“Soal laik atau tidak, itu soal pilihan siapa yang mau menghadirkannya. Saya tidak mau berkomentar itu, tapi paling tidak proses yang mereka lakukan itu tidak sesuai UU. Itu saja,” katanya. Kuasa hukum KPK, Chatarina Maliana Girsang, menganggap apa yang diutarakan pihak termohon dalam persidangan hanya untuk membentuk opini persidangan. Namun, itu justru tidak dilakukan dengan benar karena menyerang latar belakang saksi dan justru tidak menguatkan dalildalil yang disampaikan sebelumnya.

“Itu hanya membentuk opini. Ada dalil yang tidak konsisten dengan apa yang ingin mereka buktikan dengan cara yang diajukan dalam praperadilan,” kata Chatarina. Menurut Chatarina, persoalan pengangkatan penyelidik dan penyidik memang bisa dilakukan KPK.

Dian ramdhani
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0717 seconds (0.1#10.140)