Bunga Kredit Tinggi
A
A
A
Mempercepat putaran roda sektor riil adalah salah satu kunci mengejar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Pemerintah sadar betul bagaimana cara menggenjot sektor riil agar bisa berperan lebih maksimal, yakni menurunkan suku bunga kredit perbankan agar ruang gerak dunia usaha bisa semakin lebar dan kuat untuk berkompetisi. Namun kenyataannya, suku bunga kredit perbankan masih tetap tergolong tinggi, bahkan belum ada tanda-tanda bakal melandai dalam waktu dekat.
Penasaran dengan kondisi suku bunga kredit perbankan yang masih kurang “bersahabat” dengan sektor riil, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengundang Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad, kemarin siang, untuk mendapat penjelasan. Presiden didampingi para anggota Kabinet Kerja yang berkaitan dengan perekonomian.
Persoalan suku bunga kredit tinggi adalah persoalan klasik yang masih selalu diwarnai perdebatan yang tajam dari mana harus memulai mengurai masalahnya. Dari hasil penjelasan pihak BI dan OJK, terungkap bahwa faktor yang terus menahan suku bunga kredit perbankan tetap dalam posisi tinggi adalah laju inflasi domestik yang tinggi di mana masih bertengger pada level di atas 4%.
Dalam publikasi BI pada November tahun lalu, suku bunga kredit korporasi pada kisaran 6,57% hingga 15,28%, suku bunga kredit ritel pada level 8,09% sampai dengan 18,5%. Adapun suku bunga kredit mikro berada pada kisaran 7,62% hingga 22,45%. Dan, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) sekitar 7,45% sampai dengan 18,5% serta suku kredit konsumsi non- KPR pada level 7,63% hingga 18,5%.
Dengan suku bunga kredit yang masih tergolong tinggi tersebut, sudah pasti akan berpengaruh pada penyaluran kredit perbankan terutama pada sektor pembiayaan dunia usaha. Hal itu sudah diprediksi oleh kalangan bankir yang tergabung dalam Ikatan Bankir Indonesia (IBI). Pertumbuhan kredit perbankan pada tahun ini, berdasarkan versi IBI akan mencapai di atas level 20% dengan catatan pertumbuhan ekonomi domestik mencapai 7%.
Namun, prediksi pertumbuhan kredit tersebut akan melorot pada posisi 12% apabila pertumbuhan ekonomi hanya menyasar sekitar 5,2%. Sebelumnya, BI mematok pertumbuhan kredit perbankan hanya pada kisaran 15% hingga 17% sepanjang tahun ini. Sementara itu, asumsi target pertumbuhan penyaluran kredit perbankan berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) 2015 sekitar 16,46%, oleh OJK dinilai relevan dengan potensi pertumbuhan industri perbankan, dan sejalan dengan perkembangan positif ekonomi makro.
Pihak OJK mengimbau kepada perbankan agar fokus memberikan kredit pada sektor produktif, terutama pada sektor yang menghasilkan barang bernilai tambah, dan menciptakan lapangan kerja baru. Sayangnya, imbauan pihak OJK masih kurang satu, yakni perbankan harus memberi suku bunga kredit yang tidak terlalu tinggi bagi pelaku usaha.
Meski pada kuartal pertama tahun ini pertumbuhan kredit belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, kalangan bankir tetap menaruh harapan besar bahwa pada kuartal kedua mendatang, seiring dengan pemberlakuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang kini masih dibahas antara pemerintah dan DPR bakal merangsang penyaluran kredit lebih besar.
Dalam APBN-P 2015, porsi terhadap pembangunan sektor infrastruktur mendapat porsi yang besar. Dampaknya, sejumlah bank papan atas mulai memberi perhatian khusus pada kredit konstruksi yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Selain itu, merujuk pada hasil survei perbankan versi BI akhir tahun lalu, terindikasi bahwa pertumbuhan kredit baru akan semakin menguat.
Peningkatan pengajuan kredit baru terjadi pada sektor konstruksi. Meski demikian, hasil survei itu tidak menampik bahwa pertumbuhan kredit sepanjang triwulan pertama 2015 masih melambat. Penyebabnya tak lain karena kebutuhan pembiayaan nasabah masih rendah, dan diperparah oleh kecenderungan kenaikan suku bunga kredit yang diprediksi masih berlanjut pada periode yang sama.
Jadi, para pelaku usaha di sektor riil sepertinya masih harus bersabar menunggu level suku bunga kredit yang ideal untuk menggerakkan roda usaha lebih kencang lagi.
Pemerintah sadar betul bagaimana cara menggenjot sektor riil agar bisa berperan lebih maksimal, yakni menurunkan suku bunga kredit perbankan agar ruang gerak dunia usaha bisa semakin lebar dan kuat untuk berkompetisi. Namun kenyataannya, suku bunga kredit perbankan masih tetap tergolong tinggi, bahkan belum ada tanda-tanda bakal melandai dalam waktu dekat.
Penasaran dengan kondisi suku bunga kredit perbankan yang masih kurang “bersahabat” dengan sektor riil, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengundang Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad, kemarin siang, untuk mendapat penjelasan. Presiden didampingi para anggota Kabinet Kerja yang berkaitan dengan perekonomian.
Persoalan suku bunga kredit tinggi adalah persoalan klasik yang masih selalu diwarnai perdebatan yang tajam dari mana harus memulai mengurai masalahnya. Dari hasil penjelasan pihak BI dan OJK, terungkap bahwa faktor yang terus menahan suku bunga kredit perbankan tetap dalam posisi tinggi adalah laju inflasi domestik yang tinggi di mana masih bertengger pada level di atas 4%.
Dalam publikasi BI pada November tahun lalu, suku bunga kredit korporasi pada kisaran 6,57% hingga 15,28%, suku bunga kredit ritel pada level 8,09% sampai dengan 18,5%. Adapun suku bunga kredit mikro berada pada kisaran 7,62% hingga 22,45%. Dan, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) sekitar 7,45% sampai dengan 18,5% serta suku kredit konsumsi non- KPR pada level 7,63% hingga 18,5%.
Dengan suku bunga kredit yang masih tergolong tinggi tersebut, sudah pasti akan berpengaruh pada penyaluran kredit perbankan terutama pada sektor pembiayaan dunia usaha. Hal itu sudah diprediksi oleh kalangan bankir yang tergabung dalam Ikatan Bankir Indonesia (IBI). Pertumbuhan kredit perbankan pada tahun ini, berdasarkan versi IBI akan mencapai di atas level 20% dengan catatan pertumbuhan ekonomi domestik mencapai 7%.
Namun, prediksi pertumbuhan kredit tersebut akan melorot pada posisi 12% apabila pertumbuhan ekonomi hanya menyasar sekitar 5,2%. Sebelumnya, BI mematok pertumbuhan kredit perbankan hanya pada kisaran 15% hingga 17% sepanjang tahun ini. Sementara itu, asumsi target pertumbuhan penyaluran kredit perbankan berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) 2015 sekitar 16,46%, oleh OJK dinilai relevan dengan potensi pertumbuhan industri perbankan, dan sejalan dengan perkembangan positif ekonomi makro.
Pihak OJK mengimbau kepada perbankan agar fokus memberikan kredit pada sektor produktif, terutama pada sektor yang menghasilkan barang bernilai tambah, dan menciptakan lapangan kerja baru. Sayangnya, imbauan pihak OJK masih kurang satu, yakni perbankan harus memberi suku bunga kredit yang tidak terlalu tinggi bagi pelaku usaha.
Meski pada kuartal pertama tahun ini pertumbuhan kredit belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, kalangan bankir tetap menaruh harapan besar bahwa pada kuartal kedua mendatang, seiring dengan pemberlakuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yang kini masih dibahas antara pemerintah dan DPR bakal merangsang penyaluran kredit lebih besar.
Dalam APBN-P 2015, porsi terhadap pembangunan sektor infrastruktur mendapat porsi yang besar. Dampaknya, sejumlah bank papan atas mulai memberi perhatian khusus pada kredit konstruksi yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Selain itu, merujuk pada hasil survei perbankan versi BI akhir tahun lalu, terindikasi bahwa pertumbuhan kredit baru akan semakin menguat.
Peningkatan pengajuan kredit baru terjadi pada sektor konstruksi. Meski demikian, hasil survei itu tidak menampik bahwa pertumbuhan kredit sepanjang triwulan pertama 2015 masih melambat. Penyebabnya tak lain karena kebutuhan pembiayaan nasabah masih rendah, dan diperparah oleh kecenderungan kenaikan suku bunga kredit yang diprediksi masih berlanjut pada periode yang sama.
Jadi, para pelaku usaha di sektor riil sepertinya masih harus bersabar menunggu level suku bunga kredit yang ideal untuk menggerakkan roda usaha lebih kencang lagi.
(ftr)