Demi Berantas Korupsi, Akademisi Akan Jaga Eksistensi KPK
A
A
A
JAKARTA - Akademisi akan menjaga eksistensi KPK yang tengah dikriminalisasi agar pemberantasan korupsi di Indonesia tidak surut.
Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suyatno mengatakan, problem yang dihadapi bangsa saat ini adalah masalah korupsi.
Fakta menyebutkan bahwa kondisi bangsa setelah lama terjebak dalam krisis akibat korupsi juga belum mengalami perbaikan.
"Saat ini kita bisa merasakan dampak buruk yang ditimbulkan korupsi dalam seluruh aspek kehidupan," kata Suyatno di Kampus Uhamka, Jakarta, Sabtu (31/1/2015).
"Political will (Presiden Joko Widodo) Jokowi harus diperkuat, karena korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan atau kemungkaran," imbuhnya.
Suyatno menerangkan, sejak Indonesia merdeka, pemberantasan korupsi mengalami pasang surut. Di era Soekarno dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi.
Pada orde baru dibentuk tim pemberantasan korupsi yang diketuai jaksa agung. Kemudian diganti oleh komite empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang bersih dan berwibawa.
Di era reformasi Habibie mengeluarkan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN.
Berikut dibentuknya komisi baru seperti KPKPN, KPPU atau Ombudsman. Presiden Gusdur, ujarnya, pun membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara di era Megawati dan SBY ditunjukkan dengan eksistensi KPK yang menyeret para elite ke meja hukum.
"Fakta ini menunjukkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang hanya dapat diberantas dengan political will pemerintah," ujarnya.
Rektor Uhamka ini menerangkan, setelah mengikuti pergulatan antara KPK dan Polri Uhamka berpandangan pemberantasan korupsi tengah mengalami ancaman serius yang akan menyebabkan surutnya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu dia menyatakan, ada enam sikap yang dikeluarkan. Pertama, KPK adalah benteng terakhir pemberantasan korupsi sehingga eksistensinya harus dijaga.
"Kami mengecam tegas segala upaya kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK," tegasnya.
Kedua, kepada pengelola negara dia meminta Untuk berhenti mempolitisasi kasus ini dan jadikan hukum sebagai panglima dalam setiap penyelesaian masalah.
Ketiga, kami imbau KPK-polri Untuk bersinergi dan menjaga kewibawaanya sebagai institusi penegak hukum.
Keempat, pihaknya mendukung upaya KPK Untuk melakukan upaya pembongkaran kasus korupsi seperti rekening gendut, BLBI, Century, Hambalang tanpa pandang bulu.
Kelima, pihaknya mengajak seluruh komponen masyarakat Untuk memberikan dukungan KPK dalam memberantas korupsi.
Dan sikap keenam ialah bagi akademisi setiap upaya melemahkan dan upaya kriminalisasi KPK berarti berhadapan dengan rakyat.
"Saya akan mengajak para akademisi lain seperti ribuan ampus swasta lain yang tergabung dalam Aptisi Untuk menyampaikan sikap yang sama," terangnya.
Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suyatno mengatakan, problem yang dihadapi bangsa saat ini adalah masalah korupsi.
Fakta menyebutkan bahwa kondisi bangsa setelah lama terjebak dalam krisis akibat korupsi juga belum mengalami perbaikan.
"Saat ini kita bisa merasakan dampak buruk yang ditimbulkan korupsi dalam seluruh aspek kehidupan," kata Suyatno di Kampus Uhamka, Jakarta, Sabtu (31/1/2015).
"Political will (Presiden Joko Widodo) Jokowi harus diperkuat, karena korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan atau kemungkaran," imbuhnya.
Suyatno menerangkan, sejak Indonesia merdeka, pemberantasan korupsi mengalami pasang surut. Di era Soekarno dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi.
Pada orde baru dibentuk tim pemberantasan korupsi yang diketuai jaksa agung. Kemudian diganti oleh komite empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang bersih dan berwibawa.
Di era reformasi Habibie mengeluarkan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN.
Berikut dibentuknya komisi baru seperti KPKPN, KPPU atau Ombudsman. Presiden Gusdur, ujarnya, pun membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara di era Megawati dan SBY ditunjukkan dengan eksistensi KPK yang menyeret para elite ke meja hukum.
"Fakta ini menunjukkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang hanya dapat diberantas dengan political will pemerintah," ujarnya.
Rektor Uhamka ini menerangkan, setelah mengikuti pergulatan antara KPK dan Polri Uhamka berpandangan pemberantasan korupsi tengah mengalami ancaman serius yang akan menyebabkan surutnya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu dia menyatakan, ada enam sikap yang dikeluarkan. Pertama, KPK adalah benteng terakhir pemberantasan korupsi sehingga eksistensinya harus dijaga.
"Kami mengecam tegas segala upaya kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK," tegasnya.
Kedua, kepada pengelola negara dia meminta Untuk berhenti mempolitisasi kasus ini dan jadikan hukum sebagai panglima dalam setiap penyelesaian masalah.
Ketiga, kami imbau KPK-polri Untuk bersinergi dan menjaga kewibawaanya sebagai institusi penegak hukum.
Keempat, pihaknya mendukung upaya KPK Untuk melakukan upaya pembongkaran kasus korupsi seperti rekening gendut, BLBI, Century, Hambalang tanpa pandang bulu.
Kelima, pihaknya mengajak seluruh komponen masyarakat Untuk memberikan dukungan KPK dalam memberantas korupsi.
Dan sikap keenam ialah bagi akademisi setiap upaya melemahkan dan upaya kriminalisasi KPK berarti berhadapan dengan rakyat.
"Saya akan mengajak para akademisi lain seperti ribuan ampus swasta lain yang tergabung dalam Aptisi Untuk menyampaikan sikap yang sama," terangnya.
(maf)