DPR Dukung Kejagung Lanjutkan Eksekusi Mati
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang akan melanjutkan eksekusi mati terhadap terpidana mati.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Daeng Muhammad mengatakan, Kejagung selaku eksekutor terpidana hukuman mati harus tegas, apalagi bagi mereka yang putusannya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). “Harusnya langsung ada eksekusinya. Sebabnya persoalan bandar narkoba punya dampak pengerusakan terhadap generasi bangsa,” kata Daeng dalam rapat kerja (raker) dengan Kejagung di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, bandar narkoba yang sudah inkracht putusannya tidak perlu lagi ada proses pembinaan. Ketegasan ini bisa menjadi pelajaran bagi bandar narkoba bahwa Indonesia bukan negara yang bisa mereka permainkan dalam persoalan narkoba. “Apalagi saat ini 40-60% penghuni lapas merupakan pemakai narkoba. Penyebabnya, bandar narkoba dibiarkan berkeliaran sehingga memakan banyak korban,” ucapnya.
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin meminta pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua lebih dipersiapkan lagi. Eksekusi tahap kedua ini akan dilaksanakan di Nusakambangan, Jawa Tengah. Dia pun meminta daerah eksekusi di Nusakambangan lebih disterilkan dari penduduk dan kegiatan masyarakat.
“Tinjau dulu supaya tidak ada kegiatan selagi mau dieksekusi. Pengamanan juga harus diperkuat,” ucapnya. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, eksekusi mati salah satu wujud sikap negara dalam menghadapi kejahatan serius. Dalam proses menuju eksekusi memang diperlukan persiapan dari aspek yuridis. Namun, Kejagung juga masih menemui kendala dalam pelaksanaan eksekusi mati ini.
Salah satunya kendala legislasi yakni ada permohonan peninjauan kembali (PK) yang sempat menjadi perdebatan. “Surat Edaran MA soal PK yang dibatasi sekali bertentangan dengan putusan MK soal dimungkinkannya PK lebih dari sekali. Karena itu, perlu peraturan pemerintah yang mengatur soal ini,” ungkapnya. Jika aspek yuridis ini terpenuhi, Kejagung akan lebih mudah beranjak ke aspek teknis. Kendala lain, ujar Prasetyo, adalah alokasi anggaran dana.
Eksekusi mati terpidana membutuhkan dana yang tidak sedikit. “Untuk eksekusi di Nusakambangan saja membutuhkan Rp100 juta untuk transportasi per dua orang. Kendala lain yang seringkali dihadapi misalnya terkait cuaca yang menyebabkan eksekusi bisa molor,” ungkapnya. Kendala lain adalah pemenuhan terhadap permintaan napi dan keluarganya. Dia mencontohkan napi yang sudah dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah beberapa waktu lalu minta disiapkan baju Vietnam.
“Untungnya, kita bisa temui, termasuk minta diapakan jenazah setelah meninggal,” paparnya. Mengenai lokasi eksekusi di Nusakambangan, Prasetyo mengaku, sebenarnya lokasi itu juga tidak terlalu steril untuk dilaksanakannya eksekusi sebab ada pulau kecil di sebelahnya yang dihuni 125 kepala keluarga.
Mula akmal
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Daeng Muhammad mengatakan, Kejagung selaku eksekutor terpidana hukuman mati harus tegas, apalagi bagi mereka yang putusannya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). “Harusnya langsung ada eksekusinya. Sebabnya persoalan bandar narkoba punya dampak pengerusakan terhadap generasi bangsa,” kata Daeng dalam rapat kerja (raker) dengan Kejagung di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, bandar narkoba yang sudah inkracht putusannya tidak perlu lagi ada proses pembinaan. Ketegasan ini bisa menjadi pelajaran bagi bandar narkoba bahwa Indonesia bukan negara yang bisa mereka permainkan dalam persoalan narkoba. “Apalagi saat ini 40-60% penghuni lapas merupakan pemakai narkoba. Penyebabnya, bandar narkoba dibiarkan berkeliaran sehingga memakan banyak korban,” ucapnya.
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin meminta pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua lebih dipersiapkan lagi. Eksekusi tahap kedua ini akan dilaksanakan di Nusakambangan, Jawa Tengah. Dia pun meminta daerah eksekusi di Nusakambangan lebih disterilkan dari penduduk dan kegiatan masyarakat.
“Tinjau dulu supaya tidak ada kegiatan selagi mau dieksekusi. Pengamanan juga harus diperkuat,” ucapnya. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, eksekusi mati salah satu wujud sikap negara dalam menghadapi kejahatan serius. Dalam proses menuju eksekusi memang diperlukan persiapan dari aspek yuridis. Namun, Kejagung juga masih menemui kendala dalam pelaksanaan eksekusi mati ini.
Salah satunya kendala legislasi yakni ada permohonan peninjauan kembali (PK) yang sempat menjadi perdebatan. “Surat Edaran MA soal PK yang dibatasi sekali bertentangan dengan putusan MK soal dimungkinkannya PK lebih dari sekali. Karena itu, perlu peraturan pemerintah yang mengatur soal ini,” ungkapnya. Jika aspek yuridis ini terpenuhi, Kejagung akan lebih mudah beranjak ke aspek teknis. Kendala lain, ujar Prasetyo, adalah alokasi anggaran dana.
Eksekusi mati terpidana membutuhkan dana yang tidak sedikit. “Untuk eksekusi di Nusakambangan saja membutuhkan Rp100 juta untuk transportasi per dua orang. Kendala lain yang seringkali dihadapi misalnya terkait cuaca yang menyebabkan eksekusi bisa molor,” ungkapnya. Kendala lain adalah pemenuhan terhadap permintaan napi dan keluarganya. Dia mencontohkan napi yang sudah dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah beberapa waktu lalu minta disiapkan baju Vietnam.
“Untungnya, kita bisa temui, termasuk minta diapakan jenazah setelah meninggal,” paparnya. Mengenai lokasi eksekusi di Nusakambangan, Prasetyo mengaku, sebenarnya lokasi itu juga tidak terlalu steril untuk dilaksanakannya eksekusi sebab ada pulau kecil di sebelahnya yang dihuni 125 kepala keluarga.
Mula akmal
(ars)