Bisnis Kesehatan dan MEA
A
A
A
Asrari Puadi
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Aktivis PMII
“Murah, kok, njaluk slamet!” Ucapan khas Suroboyoan itu mungkin dapat menggambarkan bagaimana “harga” dan “mutu pelayanan kesehatan” mempunyai hubungan kausalitas yang saling berkaitan.
Bisa dikatakan makin punya harga suatu pelayanan kesehatan, makin baik pula kualitas pelayanannya. Pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) mau tak mau menjadi sebuah hal yang harus dilakoni Indonesia sebagai salah satu anggota dan “pasar yang seksi” di ASEAN. Ironis jika pasar bebas ASEAN yang mengusung adanya kompetisi antarnegara ini hanya menjadikan Indonesia sebagai objek dari kompetisi tersebut tanpa mampu menjadi “dalang” dari lelakon pasar bebas.
Bisnis di dunia kesehatan memang tidak cukup famous dibandingkan bisnis di sektor lainnya. Namun dengan ketidak-famous-an ini bukan berarti bisnis di dunia kesehatan tidak menjadi sektor yang berpengaruh bagi perkembangan ekonomi di sebuah negara. Singapura sebagai contoh dikenal sebagai negara yang menjadi tempat favorit rujukan berobat terkhusus bagi warga Indonesia.
Kendati berobat jauh-jauh ke negeri seberang belum tentu mutlak menjadi sehat, persepsi masyarakat terhadap Singapura sudah melekat sebagai negara dengan kualitas pelayanan kesehatan terbaik di ASEAN. National Health Care Group International Business Development Unit (NHG-IBDU) Singapore pada tahun 2012 mencatat 50% pasien internasional yang berobat di Singapura adalah warga Indonesia, tentu ini bukan angka yang kecil bagi pendapatan sebuah negara.
Sebaliknya Indonesia hari ini masih terfokus pada hal bagaimana menciptakan pelayanan kesehatan yang “ murah” kalau perlu “gratis”dengan tuntutan kualitas dan hasil pelayanan yang terbaik. Tidak salah memang, tetapi kiranya perlu kita berkaca lagi pada petikan ucapan khas Suroboyoan di atas. Untuk ikut dalam percaturan bisnis kesehatan di era pasar bebas ini memang tidaklah mudah.
Banyak pembenahan yang harus dilakukan mulai dari standardisasi fasilitas kesehatan sesuai dengan standar internasional Joint Commission International (JCI), peningkatan mutu tenaga kesehatan hingga pembenahan “kemasan” promosi pelayanan kesehatan menjadi lebih menarik. Belum lagi tantangan hijrahnya tenaga kesehatan luar ke Indonesia yang berbekal kompetensi plus dibanding dengan tenaga kesehatan lokal.
Di satu sisi bisnis kesehatan menganut paham noble business yang artinya ada sisi sosial dan kemanusiaan yang tinggi di samping sisi ekonominya untuk mendapatkan profit .
Namun mau tidak mau Indonesia harus turut andil dalam kompetisi di bisnis kesehatan dengan juga ikut bertransformasi menjadi negara rujukan berobat bagi negara anggota ASEAN lainnya. Pertanyaannya, sudah siapkah kita untuk hijrah menjadi negara “wisata kesehatan”?
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Aktivis PMII
“Murah, kok, njaluk slamet!” Ucapan khas Suroboyoan itu mungkin dapat menggambarkan bagaimana “harga” dan “mutu pelayanan kesehatan” mempunyai hubungan kausalitas yang saling berkaitan.
Bisa dikatakan makin punya harga suatu pelayanan kesehatan, makin baik pula kualitas pelayanannya. Pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) mau tak mau menjadi sebuah hal yang harus dilakoni Indonesia sebagai salah satu anggota dan “pasar yang seksi” di ASEAN. Ironis jika pasar bebas ASEAN yang mengusung adanya kompetisi antarnegara ini hanya menjadikan Indonesia sebagai objek dari kompetisi tersebut tanpa mampu menjadi “dalang” dari lelakon pasar bebas.
Bisnis di dunia kesehatan memang tidak cukup famous dibandingkan bisnis di sektor lainnya. Namun dengan ketidak-famous-an ini bukan berarti bisnis di dunia kesehatan tidak menjadi sektor yang berpengaruh bagi perkembangan ekonomi di sebuah negara. Singapura sebagai contoh dikenal sebagai negara yang menjadi tempat favorit rujukan berobat terkhusus bagi warga Indonesia.
Kendati berobat jauh-jauh ke negeri seberang belum tentu mutlak menjadi sehat, persepsi masyarakat terhadap Singapura sudah melekat sebagai negara dengan kualitas pelayanan kesehatan terbaik di ASEAN. National Health Care Group International Business Development Unit (NHG-IBDU) Singapore pada tahun 2012 mencatat 50% pasien internasional yang berobat di Singapura adalah warga Indonesia, tentu ini bukan angka yang kecil bagi pendapatan sebuah negara.
Sebaliknya Indonesia hari ini masih terfokus pada hal bagaimana menciptakan pelayanan kesehatan yang “ murah” kalau perlu “gratis”dengan tuntutan kualitas dan hasil pelayanan yang terbaik. Tidak salah memang, tetapi kiranya perlu kita berkaca lagi pada petikan ucapan khas Suroboyoan di atas. Untuk ikut dalam percaturan bisnis kesehatan di era pasar bebas ini memang tidaklah mudah.
Banyak pembenahan yang harus dilakukan mulai dari standardisasi fasilitas kesehatan sesuai dengan standar internasional Joint Commission International (JCI), peningkatan mutu tenaga kesehatan hingga pembenahan “kemasan” promosi pelayanan kesehatan menjadi lebih menarik. Belum lagi tantangan hijrahnya tenaga kesehatan luar ke Indonesia yang berbekal kompetensi plus dibanding dengan tenaga kesehatan lokal.
Di satu sisi bisnis kesehatan menganut paham noble business yang artinya ada sisi sosial dan kemanusiaan yang tinggi di samping sisi ekonominya untuk mendapatkan profit .
Namun mau tidak mau Indonesia harus turut andil dalam kompetisi di bisnis kesehatan dengan juga ikut bertransformasi menjadi negara rujukan berobat bagi negara anggota ASEAN lainnya. Pertanyaannya, sudah siapkah kita untuk hijrah menjadi negara “wisata kesehatan”?
(bhr)