Tasawuf Kebajikan dan Kebijakan Hidup
A
A
A
Entah dengan alasan apa yang melatari Tuhan menciptakan manusia untuk menghuni dunia ini. Yang pasti, Tuhan mempunyai kehendak atas kehidupan umat manusia di dunia.
Karena Tuhan mempunyai kehendak, tentu saja Tuhan mempunyai tujuan atas penciptaan tersebut. Dalam kacamata tasawuf, manusia memang kecil dan kehendak Tuhan tidak mampu digapai oleh manusia. Namun, kita sebagai umat manusia hendaklah tidak terlalu larut dalam pertanyaan kehendak Tuhan.
Yang terpenting bagi kita adalah mengisi kehidupan ini sebagaimana kehendak Tuhan. Sudah barang tentu bahwa kita hidup tidak sekadar kehendak Tuhan, kita pun mempunyai kehendak dan tujuan hidup yang bisa kita ikatkan dengan kehendak Tuhan agar berjalan beriringan dan bersesuaian. Itulah yang menjadi benang merah dari pembahasan Komaruddin Hidayat dalam bukunya yang berjudul Path of Lifeini.
Kehidupan dan manusia menjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Sementara, Komaruddin Hidayat dalam buku ini mengawali pembahasannya justru perihal kematian. Kematian merupakan akhir kehidupan dunia dan awal untuk menuju kehidupan selanjutnya.
Bukankah kematian itu sangat terkait dengan kehidupan? Tidak berlebihan jika kematian merupakan pelajaran yang berharga untuk merenungkan kehidupan di dunia ini. Lebih dari sekadar pandangan yang pesimistis, kematian justru memotivasi umat manusia (seharusnya) untuk menapaki hidup yang bijak demi menggapai kebajikan dalam kebijakan kehidupan dunia.
Tidak sekadar itu, hidup dan mati merupakan kaitan erat karena pada dasarnya segala makhluk yang hidup itu pasti akan menemui kematian. Itulah kehidupan dunia. Sementara, nilai-nilai yang fundamental adalah motivasi dan prosedur yang benar, yang merupakan landasan dan pilar bagi seluruh aktivitas duniawi untuk meraih kualitas ukhrawi.
Duniawi artinya kehidupan yang pendek dan dekat, ukhrawi artinya kehidupan yang masih jauh di masa depan. Kita bisa berusaha memperoleh pencerahan dengan melihat dan merenungkan peristiwa kematian yang setiap menit terjadi sehingga kematian benar-benar menjadi momen wisuda dan metamorfosis untuk meraih kehidupan yang lebih indah dan lebih membahagiakan di balik kematian itu. (halaman 6).
Di sisi lain, kita hidup di dunia ini tidak sendirian. Kita adalah makhluk sosial yang mempunyai relasi dan hubungan sosial (solidaritas). Oleh karena itu, kita hidup tidak seenak kita sendiri, tidak sekehendak kita sendiri, dan tidak semau kita sendiri, tetapi kita juga harus mempertimbangkan orang lain yang ada di sekitar kita.
Untuk itu, kita harus memupus ego kita untuk bisa berdampingan secara bijak untuk meraih kebajikan. Dalam hal solidaritas dan bersosial, tentu kita mempunyai berbagai hal yang bisa kita bagi. Lebih dari itu, kita juga berhubungan dengan orang lain dan kita pun sering menolong dan ditolong oleh orang lain. Itulah potret kehidupan manusia yang dalam fitrahnya merupakan makhluk sosial.
Tentunya, kita pun harus memerhatikan orang lain pula dan menempatkan diri kita di antara mereka untuk saling menebar kebajikan. Akan tetapi, tidak selamanya kehidupan yang harmonis di antara kita dalam bingkai sosial tersebut itu tanpa ada duri. Nyatanya, kita pernah berbuat salah kepada orang lain.
Di sisi lain, kita juga pernah menolong orang lain dan juga ditolong. Dengan begitu, salah dan benar tentunya ada imbasnya. Ketika salah, kata maaf menjadi hal yang agung, dan ketika mendapat pertolongan dari orang lain, kata terima kasih merupakan hal yang mulia.
Maaf dan terima kasih yang disampaikan secara tulus akan membuka katup-katup penghubung empati dan simpati di antara kita yang sudah tertutup. Energi maaf dan terima kasih akan memperlebar saluran sambung rasa positif yang semula menyempit. Akan lebih terasa kalau ekspresi maaf dan terima kasih diperkuat dengan tatapan mata simpati, senyum apresiasi, dan jabat tangan persahabatan. (halaman 122).
Demikianlah etika sosial kita dalam bermasyarakat. Tentunya, kehidupan bersosial itu melingkupi relasi majemuk dan mempunyai keterkaitan diri kita dengan orang lain di sekitar kita bahkan orang yang ada di kejauhan. Oleh karena itu, etika sosial tersebut menjadi semacam norma yang tidak tertulis tetapi menjadi patokan sakral dalam bersosial untuk mewujudkan kebajikan dan hidup yang bijak.
Hidup saling menolong, saling membantu, dan saling menghargai-menghormati menjadi hal-hal yang tergaris secara imajiner tetapi konkret adanya. Benar saja bahwa jika kita melanggar etika tersebut, hukum sosial pun berlaku. Jika kita menyakiti orang lain, tentu kita akan dijauhinya sehingga relasi kita dengannya terputus.
Sementara itu, kebajikan akan menyambungkannya kembali. Lain halnya jika kita menebar kebajikan kepada orang lain. Apa yang kita dapat dari penebaran kebajikan tersebut adalah kebajikan pula sehingga orang lain pun akan membalas kita dengan kebajikan. Dengan begitu, sesungguhnya kebaikan itu akan kembali kepada kita jika kita menebarkannya. Ibarat menanam buah, kita memang kehilangan benihnya.
Akan tetapi, benih tersebut akan memberikan kita lebih daripada sekadar yang kita lepas (baca: tanam) tersebut. Untuk itu, tidaklah kita melewatkan hari tanpa menolong dan menggembirakan orang lain (menebar kebaikan), khususnya mereka yang dalam kesulitan. Kalaupun tidak bisa harian, minimal dilakukan setiap minggu secara sadar, dengan tulus. (halaman 271).
Tentunya, buku setebal 300 halaman ini menjadi bacaan yang renyah untuk merefleksikan kehidupan kita. Sungguh, hidup ini akan terasa hampa jika kita tidak punya tujuan hidup. Sementara itu, buku ini mengajak kita untuk memusatkan tujuan hidup dalam kebajikan yang berproses secara beriringan dengan bijaknya kehidupan. Akhirnya, tujuan hidup adalah meraih kebajikan secara bijak dan menggapai kebijakan dengan berbuat kebajikan.
Lusiana Dewi,
pembaca buku,
tinggal di Cirebon
Karena Tuhan mempunyai kehendak, tentu saja Tuhan mempunyai tujuan atas penciptaan tersebut. Dalam kacamata tasawuf, manusia memang kecil dan kehendak Tuhan tidak mampu digapai oleh manusia. Namun, kita sebagai umat manusia hendaklah tidak terlalu larut dalam pertanyaan kehendak Tuhan.
Yang terpenting bagi kita adalah mengisi kehidupan ini sebagaimana kehendak Tuhan. Sudah barang tentu bahwa kita hidup tidak sekadar kehendak Tuhan, kita pun mempunyai kehendak dan tujuan hidup yang bisa kita ikatkan dengan kehendak Tuhan agar berjalan beriringan dan bersesuaian. Itulah yang menjadi benang merah dari pembahasan Komaruddin Hidayat dalam bukunya yang berjudul Path of Lifeini.
Kehidupan dan manusia menjadi satu kesatuan yang saling mengisi. Sementara, Komaruddin Hidayat dalam buku ini mengawali pembahasannya justru perihal kematian. Kematian merupakan akhir kehidupan dunia dan awal untuk menuju kehidupan selanjutnya.
Bukankah kematian itu sangat terkait dengan kehidupan? Tidak berlebihan jika kematian merupakan pelajaran yang berharga untuk merenungkan kehidupan di dunia ini. Lebih dari sekadar pandangan yang pesimistis, kematian justru memotivasi umat manusia (seharusnya) untuk menapaki hidup yang bijak demi menggapai kebajikan dalam kebijakan kehidupan dunia.
Tidak sekadar itu, hidup dan mati merupakan kaitan erat karena pada dasarnya segala makhluk yang hidup itu pasti akan menemui kematian. Itulah kehidupan dunia. Sementara, nilai-nilai yang fundamental adalah motivasi dan prosedur yang benar, yang merupakan landasan dan pilar bagi seluruh aktivitas duniawi untuk meraih kualitas ukhrawi.
Duniawi artinya kehidupan yang pendek dan dekat, ukhrawi artinya kehidupan yang masih jauh di masa depan. Kita bisa berusaha memperoleh pencerahan dengan melihat dan merenungkan peristiwa kematian yang setiap menit terjadi sehingga kematian benar-benar menjadi momen wisuda dan metamorfosis untuk meraih kehidupan yang lebih indah dan lebih membahagiakan di balik kematian itu. (halaman 6).
Di sisi lain, kita hidup di dunia ini tidak sendirian. Kita adalah makhluk sosial yang mempunyai relasi dan hubungan sosial (solidaritas). Oleh karena itu, kita hidup tidak seenak kita sendiri, tidak sekehendak kita sendiri, dan tidak semau kita sendiri, tetapi kita juga harus mempertimbangkan orang lain yang ada di sekitar kita.
Untuk itu, kita harus memupus ego kita untuk bisa berdampingan secara bijak untuk meraih kebajikan. Dalam hal solidaritas dan bersosial, tentu kita mempunyai berbagai hal yang bisa kita bagi. Lebih dari itu, kita juga berhubungan dengan orang lain dan kita pun sering menolong dan ditolong oleh orang lain. Itulah potret kehidupan manusia yang dalam fitrahnya merupakan makhluk sosial.
Tentunya, kita pun harus memerhatikan orang lain pula dan menempatkan diri kita di antara mereka untuk saling menebar kebajikan. Akan tetapi, tidak selamanya kehidupan yang harmonis di antara kita dalam bingkai sosial tersebut itu tanpa ada duri. Nyatanya, kita pernah berbuat salah kepada orang lain.
Di sisi lain, kita juga pernah menolong orang lain dan juga ditolong. Dengan begitu, salah dan benar tentunya ada imbasnya. Ketika salah, kata maaf menjadi hal yang agung, dan ketika mendapat pertolongan dari orang lain, kata terima kasih merupakan hal yang mulia.
Maaf dan terima kasih yang disampaikan secara tulus akan membuka katup-katup penghubung empati dan simpati di antara kita yang sudah tertutup. Energi maaf dan terima kasih akan memperlebar saluran sambung rasa positif yang semula menyempit. Akan lebih terasa kalau ekspresi maaf dan terima kasih diperkuat dengan tatapan mata simpati, senyum apresiasi, dan jabat tangan persahabatan. (halaman 122).
Demikianlah etika sosial kita dalam bermasyarakat. Tentunya, kehidupan bersosial itu melingkupi relasi majemuk dan mempunyai keterkaitan diri kita dengan orang lain di sekitar kita bahkan orang yang ada di kejauhan. Oleh karena itu, etika sosial tersebut menjadi semacam norma yang tidak tertulis tetapi menjadi patokan sakral dalam bersosial untuk mewujudkan kebajikan dan hidup yang bijak.
Hidup saling menolong, saling membantu, dan saling menghargai-menghormati menjadi hal-hal yang tergaris secara imajiner tetapi konkret adanya. Benar saja bahwa jika kita melanggar etika tersebut, hukum sosial pun berlaku. Jika kita menyakiti orang lain, tentu kita akan dijauhinya sehingga relasi kita dengannya terputus.
Sementara itu, kebajikan akan menyambungkannya kembali. Lain halnya jika kita menebar kebajikan kepada orang lain. Apa yang kita dapat dari penebaran kebajikan tersebut adalah kebajikan pula sehingga orang lain pun akan membalas kita dengan kebajikan. Dengan begitu, sesungguhnya kebaikan itu akan kembali kepada kita jika kita menebarkannya. Ibarat menanam buah, kita memang kehilangan benihnya.
Akan tetapi, benih tersebut akan memberikan kita lebih daripada sekadar yang kita lepas (baca: tanam) tersebut. Untuk itu, tidaklah kita melewatkan hari tanpa menolong dan menggembirakan orang lain (menebar kebaikan), khususnya mereka yang dalam kesulitan. Kalaupun tidak bisa harian, minimal dilakukan setiap minggu secara sadar, dengan tulus. (halaman 271).
Tentunya, buku setebal 300 halaman ini menjadi bacaan yang renyah untuk merefleksikan kehidupan kita. Sungguh, hidup ini akan terasa hampa jika kita tidak punya tujuan hidup. Sementara itu, buku ini mengajak kita untuk memusatkan tujuan hidup dalam kebajikan yang berproses secara beriringan dengan bijaknya kehidupan. Akhirnya, tujuan hidup adalah meraih kebajikan secara bijak dan menggapai kebijakan dengan berbuat kebajikan.
Lusiana Dewi,
pembaca buku,
tinggal di Cirebon
(bbg)