Karam di Karang Ketiga

Kamis, 22 Januari 2015 - 10:22 WIB
Karam di Karang Ketiga
Karam di Karang Ketiga
A A A
JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kapolri dinilai menyalahi undang-undang. Polisi bisa bak ayam kehilangan induk. Presiden Jokowi pergi begitu saja seusai menyampaikan pernyataan di Istana Merdeka, Jumat malam, pekan lalu.

Dia tidak menyalami dua petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang berdiri tegap mengapitnya bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjianto dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal, nasib kedua jenderal polisi itu Jenderal Pol Sutarman dan Komjen Pol Badrodin Haiti baru saja ditentukan oleh Sang Presiden.

Lewat dua buah keputusan presiden, Jokowi memberhentikan Sutarman sebagai kapolri dan menugaskan Badrodin, wakilkapolri( wakapolri), untukmelaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kapolri. Sementara terhadap calon kapolri, Komjen Pol Budi Gunawan yang Kamis pekan lalu sudah mengantongi restu politik DPR, Jokowi menyatakan untuk menunda pelantikannya.

Musababnya tak lain adalah penetapan Budi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya empat hari setelah Presiden resmi mencalonkannya sebagai calon kapolri. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Itu yang harus digarisbawahi,” tandas Presiden. Jokowi tampak sukses mendayung di antara dua karang.

Di satu sisi, dia berhasil mengatasi tekanan partai politik pendukung yang “ngotot” meminta Budi segera dilantik. Di sisi lain, Presiden masih bisa menambal kebocoran tabungan politiknya dari tudingan tidak peduli kepada pemberantasan korupsi karena mencalonkan tersangka korupsi sebagai Tri Brata 1.

“Menurut saya, keputusan itu bagus. Sekarang everybody is happy,” kata Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu pekan lalu. Serba terburu-buru. Itulah kesan yang tampak dari pencalonan Budi Gunawan yang kini menjabat sebagai kepala Lembaga Pendidikan Polisi.

Presiden misalnya, langsung memilih nama Budi kurang dari 24 jam setelah Komisi Kepolisian Nasional menyerahkan sembilan nama kandidat pada Jumat (9/1) pagi. “Prosesnya cepat sekali,” ujar Adrianus Meliala, anggota Kompolnas. Meski sudah menyerahkan nama-nama calon, Adrianus mengklaim bahwa Kompolnas sebenarnya masih akan melengkapi data dengan berkirim surat kepada KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Namun belum sempat itu dilakukan, surat pengajuan Presiden sudah mampir di Senayan sore harinya. “Kami tidak mau disalahkan karena proses yang tidak utuh ini,” katanya. Maklum, ketika akan memilih calon menteri untuk Kabinet Kerja, Presiden Jokowi masih menyempatkan mengirimkan daftar nama calon kepada KPK dan PPATK untuk mendapatkan pertimbangan.

Kali ini Jokowi seakan memunggungi KPK dan PPATK. Terlebih, menurut klaim eks Kepala PPATK Yunus Husein, nama Budi sempat mendapat “tanda merah” dari kedua lembaga itu saat pencalonan menteri. Meski Budi Gunawan telah menyandang status sebagai tersangka, anehnya Jokowi tetap mempertahankan pencalonan hingga DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi.

“Menunggu proses di DPR,” kilah Presiden. Keputusan Jokowi juga dinilai telah menciptakan ketidakpastian di tubuh kepolisian. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, pengangkatan pelaksana tugas kapolri membuat Polri berada dalam kondisi status quo tanpa kepemimpinan yang jelas.

“Jika terjadi kerusuhan massal di Indonesia saat ini, Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab, bukan pelaksana tugas kapolri,” katanya. Pelaksana tugas, menurut Neta, tidak bisa mengeluarkan kebijakan strategis. Pelaksana tugas hanya bisa mengeluarkan kebijakan rutin, misalnya anggaran untuk gaji. Alih-alih ingin mengayuh di antara dua karang, Presiden Jokowi kini bisa saja karam di karang ketiga.

Baca selengkapnya di SINDO Weekly,
Kamis 22 Januari 2015
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6856 seconds (0.1#10.140)