Wantimpres dan Revolusi Mental

Rabu, 21 Januari 2015 - 11:12 WIB
Wantimpres dan Revolusi Mental
Wantimpres dan Revolusi Mental
A A A
Dengan hak prerogatifnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik sembilan tokoh sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sayangnya, sebagian besar dari sembilan anggota Wantimpres berasal dari kalangan partai politik.

Sisanya tokoh organisasi massa keagamaan dan kampus. Anggota Wantimpres yang dilantik adalah Suharso Monoarfa (PPP), Subagyo Hadisiswoyo (Hanura), Sidarto Danusubroto (PDI Perjuangan), Rusdi Kirana (PKB), Jan Darmadi (NasDem), Yusuf Kartanegara (PKPI), Ahmad Hasyim Muzadi (Nahdlatul Ulama), Abdul Malik Fajar (Muhammadiyah), dan Sri Adiningsih (UGM).

Mereka ditetapkan sebagai anggota Wantimpres berdasarkan Keppres No.6/P/2015. Mereka mendapatkan hak dan fasilitas negara setara dengan menteri negara. Karena enam dari sembilan anggota Wantimpres adalah berlatar belakang partai politik pendukung Jokowi, wajar jika banyak kalangan menyebut bahwa penetapan ini sebagai bentuk balas jasa.

Tudingan sekadar bagi-bagi kekuasaan di pemerintahan Jokowi ini jauh dari janji saat kampanye yang tidak ingin bagi-bagi kekuasaan. Meski semua anggota Wantimpres dari parpol berjanji akan mundur dari struktur organisasi parpol, tetap saja tidak menghalangi tudingan adanya bagi-bagi kekuasaan atau politik balas jasa Jokowi.

Boleh-boleh saja pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Praktikno membantahnya bahwa tidak ada upaya transaksional dalam pemilihan anggota Wantimpres. Begitu juga ketika menganggap wajar tentang anggota Wantimpres berlatar belakang parpol pendukung Jokowi, karena mempunyai hubungan yang erat. Namun tetap saja, bahwa pembentukan Wantimpres ini sangat kental beraroma bagi-bagi kekuasaan, transaksional, dan politik balas jasa.

Apa yang dilakukan Jokowi dalam hal ini toh sama saja dengan presiden-presiden sebelumnya, atau budaya politik yang oleh masyarakat sebagai budaya yang kurang etis. Jokowi dalam setiap kampanyenya pun berjanji akan menghindari transaksional atau bagi-bagi kekuasaan.

Meskipun pemerintah terus membantah, tudingan itu tetap saja ada. Atau mungkin pemerintah mempunyai definisi lain tentang budaya politik bagi-bagi kekuasaan atau transaksional? Jika dilihat dari konsep revolusi mental yang diusung Jokowi saat kampanye, tentu ini bertentangan.

Kita semua tahu bahwa politik transaksional bukan berdasarkan profesionalitas telah menjadi problem bangsa ini. Mental bangsa ini telah dirusak caracara transaksional yang hanya menguntungkan kelompok atau pihak tertentu dengan mengorbankan kepentingan bangsa. Mental seperti ini yang semestinya mendapat porsi yang besar untuk dilakukan revolusi. Dan awalnya, pemerintah Jokowi menjanjikan akan memberikan ini.

Namun, tampaknya apa yang disuguhkan dalam penunjukan anggota Wantimpres ini sama sekali tidak mencerminkan revolusi mental ala Jokowi. Ekspektasi atau harapan memang tidak selalu seiring dengan kenyataan. Selalu ada jurang antara harapan dan kenyataan. Akan menjadi persoalan dan kekecewaan yang mendalam ketika jurang itu terasa sangat dalam.

Nah , pemerintahan Jokowi yang masih dalam hitungan bulan ini tampaknya mulai memperdalam jurang antara harapan dan kenyataan. Apakah pemerintahan Jokowi akan terus akan membuat kebijakan atau keputusan yang semakin jurang semakin dalam? Itu pilihan pemerintah. Tentu pilihannya ingin memperdangkaljurang, makasemestinya Jokowimembuatkebijakan dan keputusan yang sesuai dengan apa yang dijanjikan saat kampanye.

Janji Jokowi yang menjadi jargon adalah melakukan revolusi mental. Kita semua menunggu realisasi revolusi mental. Bangsa ini menunggu bahwa revolusi mental yang dulu diteriakkan bisa diwujudkan, bukan justru disingkirkan. Masih ada waktu untuk menunjukkan bahwa revolusi mental bukan hanya jargon. Namun jika waktu itu kembali diisi dengan upaya yang jauh dengan revolusi mental, Jokowi terus menggali jurang antara harapan dan kenyataan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3018 seconds (0.1#10.140)