Brasil dan Belanda Tarik Duta Besar
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan eksekusi mati terhadap para terpidana narkoba mendapat respons keras dari Brasil dan Belanda. Mereka menarik duta besarnya dari Jakarta lantaran tidak terima atas kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut.
Presiden Brasil Dilma Rousseff menyatakan penarikan duta besarnya di Indonesia sebagai bentuk protes atas eksekusi mati warganya, Marco Archer Cardoso Moreira, 53.
“Hubungan antara kedua negara telah terpengaruh. Duta besar Brasil di Jakarta telah dipanggil,” kata Rousseff seperti dilansir BBC kemarin. Marco, kata Rousseff, merupakan warga negara pertama yang dieksekusi mati di luar negeri. Sebab itu, dia mengaku kecewa dan marah dengan Pemerintah Indonesia.
Rousseff juga mengaku telah menghubungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas eksekusi mati Marco. Namun Presiden Jokowi menolak untuk membatalkan eksekusi tersebut. Selain Brasil, Pemerintah Belanda juga berencana menarik duta besarnya di Indonesia. Penarikan tersebut juga sebagai protes terhadap hukuman mati warganya, Ang Kim Soei.
Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders mengatakan pihaknya sangat sedih dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada enam terpidana. Belanda sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan warga negaranya. Upaya tersebut bahkan dilakukan sendiri oleh Raja Belanda King Willem- Alexander beserta Perdana Menteri Mark Rutte.
Keduanya diketahui sudah menjalin kontak langsung dengan Presiden Jokowi dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menghentikan eksekusi, sayangnya tak berbuah hasil. “Hati saya bersedih untuk keluarga yang ditinggalkan. Bagi terpidana beserta keluarganya ini adalah akhir yang dramatis sepanjang tahun-tahun penantian. Balanda tetap menentang hukuman mati,” tegas Koenders.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir mengatakan penarikan duta besar merupakan hak negara yang bersangkutan. “Semua negara bisa melakukan permintaan konsultasi,” ujar Armanatha kemarin. Kendati dubes ditarik, dia meyakinkan bahwa Indonesia akan tetap berupaya meningkatkan hubungan bilateral dengan dua negara tersebut.
Sementara itu, mengenai masih banyaknya terpidana mati yang belum dieksekusi, Armanatha menegaskan Indonesia tetap berkomitmen untuk memberantas narkoba. Sebab narkoba telah merusak bangsa, terlebih berdasarkan catatan sebanyak 4,5 juta orang yang mengalami ketergantungan terhadap narkoba berusia 10-19 tahun.
“Situasi narkoba sudah sangat mendesak dan merusak negara. Sebanyak 40 sampai 50 orang meninggal tiap harinya akibat narkoba. Tidak hanya Indonesia, masyarakat internasional juga harus memerangi,” katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi terhadap enam orang terpidana mati yang masingmasing merupakan warga negara Indonesia, Brasil, Belanda, Malawi, Vietnam, dan Nigeria pada Minggu (18/1) dini hari.
Lima terpidana mati dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, yaitu Marco Archer Cardoso Moreira (warga negara Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), serta Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda).
Sementara seorang lainnya, yakni Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah. Eksekusi keenam terpidana mati ini dilaksanakan setelah grasi yang mereka ajukan ditolak Presiden Joko Widodo.
Siapkan Eksekusi Berikutnya
Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan proses eksekusi mati terhadap enam terpidana narkotika berlangsung cepat. Mereka tewas seketika tak lama setelah ditembak. Setelah itu tim dokter memeriksa untuk terakhir kalinya. Lima napi narkoba di Nusakambangan dieksekusi dini hari kemarin sekitar pukul 00.30 WIB.
“Saya mendapat laporan, di tim Nusakambangan pukul 00.41 WIB. Jadi setelah dilaksanakan eksekusi untuk meyakinkan sudah meninggal dunia, dokter memeriksa pukul 00.40 WIB. Sebenarnya setelah ditembak, terpidana langsung meninggal dunia, ini hanya untuk memastikan,” kata Prasetyo di Kejagung, Jakarta, kemarin.
Sementara itu untuk napi narkotika yang dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah, eksekusi dilaksanakan pada pukul 00.46 WIB. Napi tersebut adalah Tran Thi Bich Hanh (warga Vietnam). “Tim di Boyolali pukul 01.21 WIB, itu karena tim dokter untuk meyakinkan apakah betul-betul meninggal dunia, baru diperiksa pukul 01.20 WIB. Diturunkan dari tiang penyangga dan meninggal dunia,” terangnya.
Menurut Prasetyo, eksekusi mati itu harus dilakukan dalam menghadapi kejahatan narkotika yang saat ini sudah menjadikan Indonesia sebagai negara darurat narkoba. Maka dari itu pihaknya akan gencar dalam penumpasan kasus narkotika. “Kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa dan harus dihadapi dan ditangani secara luar biasa. Indonesia harus diselamatkan dari bahaya narkotika ini,” ujarnya.
Dia menegaskan Kejagung dalam hal ini sebagai pihak eksekutor tidak main-main menghadapi kasus narkotika. Eksekusi mati sudah sesuai dengan perundang-undangan. Para terpidana pun sebelumnya sudah menempuh seluruh cara yang dimungkinkan dalam proses peradilan, termasuk pemenuhan hak-haknya sebelum dieksekusi.
“Kita dikejar untuk memberikan informasi secara transparan dan hal itu sudah kita lakukan,” terangnya. Prasetyo memastikan pihaknya akan menyiapkan eksekusi mati untuk para terpidana gelombang berikutnya. Persiapan dilakukan dengan teliti dan cermat. “Jangan sampai ada permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Kalau ada yang sudah terpenuhi, tentunya secepat itu pula kita rencanakan untuk eksekusi matinya,” imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya menyatakan Pemerintah Belanda dan Brasil harus menghargai penegakan hukum di Indonesia atas pelaksanaan hukuman mati terhadap enam pengedar narkoba. “Pelaksanaan hukuman mati (terhadap enam terpidana kasus narkoba) tersebut merupakan bentuk penegakan hukum yang berlangsung di Indonesia,” kata Tantowi di Jakarta.
Dia menyebutkan sebanyak 40 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Menurut Tantowi, hukuman mati untuk para pengedar narkoba tidak hanya di Indonesia, tapi juga berlaku di banyak negara seperti China, Singapura, Vietnam, Malaysia. Menurut dia, hak Pemerintah Brasil dan Belanda untuk menarik duta besarnya di Indonesia atas ketidaksetujuannya terhadap eksekusi hukuman mati terhadap warga negara mereka.
Upaya yang telah dilakukan Presiden Dilma Rousseff dan Raja Willem Alexander yang juga telah berkomunikasi dengan Presiden Jokowi merupakan upaya yang sungguhsungguh untuk melindungi warga negara mereka. Tantowi menilai hal tersebut merupakan hal yang wajar. Apabila pelaksanaan hukuman mati telah berimplikasi terhadap ditariknya duta besar mereka di Indonesia, itu merupakan hak kedua negara.
Dia berharap sikap kedua negara tersebut merupakan reaksi sesaat. Menurut dia, pemerintahan Jokowi harus mengintensifkan komunikasi dalam kerangka menjelaskan pelaksanaan hukuman mati merupakan bagian dari penegakan hukum. “Hal itu harus dilakukan apabila nantinya penarikan tersebut berdampak terhadap hubungan diplomasi kedua negara,” katanya.
Tak Perlu Khawatir
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menegaskan pemerintah tidak perlu khawatir atas adanya penarikan duta besar Belanda dan Brasil itu. “Pemerintah tidak perlu kendur dalam pelaksanaan hukuman mati untuk terpidana mati berikutnya,” katanya kemarin.
Hikmahanto kemudian memaparkan beberapa alasan atas sikap tersebut. Pertama, penarikan mundur tersebut harus dipahami sebagai ketidaksukaan negara sahabat terhadap kebijakan pelaksanaan hukuman mati. “Namun negara tersebut sangat paham, mereka tidak mungkin melakukan intervensi terhadap kebijakan hukuman mati Indonesia,” tegasnya.
Kedua, penarikan dubes merupakan respons Pemerintah Brasil atau Belanda terhadap tuntutan publik dalam negerinya. Publik dalam negeri pasti akan menuntut pemerintah mereka untuk memprotes keras kebijakan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Kemudian penarikan dubes tidak akan lama mengingat saat ini banyak negara yang justru membutuhkan Indonesia.
Misalnya saja kepentingan ekonomi Brasil ke Indonesia lebih tinggi dibandingkan kepentingan Indonesia terhadap Brasil. Menurut dia, Indonesia tidak akan diisolasi atas pelaksanaan hukuman mati. Untuk mengantisipasi dampak pemberlakuan hukuman mati, ada baiknya menteri luar negeri dan kepala perwakilan melakukan pendekatan dengan berbagai negara dan menjelaskan pelaksanaan hukuman mati tersebut.
“Jelaskan Indonesia mengalami darurat narkoba,” kata dia. Yang tak kalah penting, adanya hukuman mati dan pelaksanaannya merupakan wujud dari kedaulatan dan penegakan hukum suatu negara. Tidak ada negara asing yang berhak untuk melakukan intervensi. Hal ini sepanjang due process of law dipenuhi dan dapat dipastikan tidak adanya proses hukum yang sesat.
Rini agustina/ Alfian faisal/Dita angga/ Okezone/ant
Presiden Brasil Dilma Rousseff menyatakan penarikan duta besarnya di Indonesia sebagai bentuk protes atas eksekusi mati warganya, Marco Archer Cardoso Moreira, 53.
“Hubungan antara kedua negara telah terpengaruh. Duta besar Brasil di Jakarta telah dipanggil,” kata Rousseff seperti dilansir BBC kemarin. Marco, kata Rousseff, merupakan warga negara pertama yang dieksekusi mati di luar negeri. Sebab itu, dia mengaku kecewa dan marah dengan Pemerintah Indonesia.
Rousseff juga mengaku telah menghubungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas eksekusi mati Marco. Namun Presiden Jokowi menolak untuk membatalkan eksekusi tersebut. Selain Brasil, Pemerintah Belanda juga berencana menarik duta besarnya di Indonesia. Penarikan tersebut juga sebagai protes terhadap hukuman mati warganya, Ang Kim Soei.
Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders mengatakan pihaknya sangat sedih dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepada enam terpidana. Belanda sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan warga negaranya. Upaya tersebut bahkan dilakukan sendiri oleh Raja Belanda King Willem- Alexander beserta Perdana Menteri Mark Rutte.
Keduanya diketahui sudah menjalin kontak langsung dengan Presiden Jokowi dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menghentikan eksekusi, sayangnya tak berbuah hasil. “Hati saya bersedih untuk keluarga yang ditinggalkan. Bagi terpidana beserta keluarganya ini adalah akhir yang dramatis sepanjang tahun-tahun penantian. Balanda tetap menentang hukuman mati,” tegas Koenders.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir mengatakan penarikan duta besar merupakan hak negara yang bersangkutan. “Semua negara bisa melakukan permintaan konsultasi,” ujar Armanatha kemarin. Kendati dubes ditarik, dia meyakinkan bahwa Indonesia akan tetap berupaya meningkatkan hubungan bilateral dengan dua negara tersebut.
Sementara itu, mengenai masih banyaknya terpidana mati yang belum dieksekusi, Armanatha menegaskan Indonesia tetap berkomitmen untuk memberantas narkoba. Sebab narkoba telah merusak bangsa, terlebih berdasarkan catatan sebanyak 4,5 juta orang yang mengalami ketergantungan terhadap narkoba berusia 10-19 tahun.
“Situasi narkoba sudah sangat mendesak dan merusak negara. Sebanyak 40 sampai 50 orang meninggal tiap harinya akibat narkoba. Tidak hanya Indonesia, masyarakat internasional juga harus memerangi,” katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi terhadap enam orang terpidana mati yang masingmasing merupakan warga negara Indonesia, Brasil, Belanda, Malawi, Vietnam, dan Nigeria pada Minggu (18/1) dini hari.
Lima terpidana mati dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, yaitu Marco Archer Cardoso Moreira (warga negara Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), serta Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda).
Sementara seorang lainnya, yakni Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah. Eksekusi keenam terpidana mati ini dilaksanakan setelah grasi yang mereka ajukan ditolak Presiden Joko Widodo.
Siapkan Eksekusi Berikutnya
Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan proses eksekusi mati terhadap enam terpidana narkotika berlangsung cepat. Mereka tewas seketika tak lama setelah ditembak. Setelah itu tim dokter memeriksa untuk terakhir kalinya. Lima napi narkoba di Nusakambangan dieksekusi dini hari kemarin sekitar pukul 00.30 WIB.
“Saya mendapat laporan, di tim Nusakambangan pukul 00.41 WIB. Jadi setelah dilaksanakan eksekusi untuk meyakinkan sudah meninggal dunia, dokter memeriksa pukul 00.40 WIB. Sebenarnya setelah ditembak, terpidana langsung meninggal dunia, ini hanya untuk memastikan,” kata Prasetyo di Kejagung, Jakarta, kemarin.
Sementara itu untuk napi narkotika yang dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah, eksekusi dilaksanakan pada pukul 00.46 WIB. Napi tersebut adalah Tran Thi Bich Hanh (warga Vietnam). “Tim di Boyolali pukul 01.21 WIB, itu karena tim dokter untuk meyakinkan apakah betul-betul meninggal dunia, baru diperiksa pukul 01.20 WIB. Diturunkan dari tiang penyangga dan meninggal dunia,” terangnya.
Menurut Prasetyo, eksekusi mati itu harus dilakukan dalam menghadapi kejahatan narkotika yang saat ini sudah menjadikan Indonesia sebagai negara darurat narkoba. Maka dari itu pihaknya akan gencar dalam penumpasan kasus narkotika. “Kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa dan harus dihadapi dan ditangani secara luar biasa. Indonesia harus diselamatkan dari bahaya narkotika ini,” ujarnya.
Dia menegaskan Kejagung dalam hal ini sebagai pihak eksekutor tidak main-main menghadapi kasus narkotika. Eksekusi mati sudah sesuai dengan perundang-undangan. Para terpidana pun sebelumnya sudah menempuh seluruh cara yang dimungkinkan dalam proses peradilan, termasuk pemenuhan hak-haknya sebelum dieksekusi.
“Kita dikejar untuk memberikan informasi secara transparan dan hal itu sudah kita lakukan,” terangnya. Prasetyo memastikan pihaknya akan menyiapkan eksekusi mati untuk para terpidana gelombang berikutnya. Persiapan dilakukan dengan teliti dan cermat. “Jangan sampai ada permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Kalau ada yang sudah terpenuhi, tentunya secepat itu pula kita rencanakan untuk eksekusi matinya,” imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya menyatakan Pemerintah Belanda dan Brasil harus menghargai penegakan hukum di Indonesia atas pelaksanaan hukuman mati terhadap enam pengedar narkoba. “Pelaksanaan hukuman mati (terhadap enam terpidana kasus narkoba) tersebut merupakan bentuk penegakan hukum yang berlangsung di Indonesia,” kata Tantowi di Jakarta.
Dia menyebutkan sebanyak 40 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Menurut Tantowi, hukuman mati untuk para pengedar narkoba tidak hanya di Indonesia, tapi juga berlaku di banyak negara seperti China, Singapura, Vietnam, Malaysia. Menurut dia, hak Pemerintah Brasil dan Belanda untuk menarik duta besarnya di Indonesia atas ketidaksetujuannya terhadap eksekusi hukuman mati terhadap warga negara mereka.
Upaya yang telah dilakukan Presiden Dilma Rousseff dan Raja Willem Alexander yang juga telah berkomunikasi dengan Presiden Jokowi merupakan upaya yang sungguhsungguh untuk melindungi warga negara mereka. Tantowi menilai hal tersebut merupakan hal yang wajar. Apabila pelaksanaan hukuman mati telah berimplikasi terhadap ditariknya duta besar mereka di Indonesia, itu merupakan hak kedua negara.
Dia berharap sikap kedua negara tersebut merupakan reaksi sesaat. Menurut dia, pemerintahan Jokowi harus mengintensifkan komunikasi dalam kerangka menjelaskan pelaksanaan hukuman mati merupakan bagian dari penegakan hukum. “Hal itu harus dilakukan apabila nantinya penarikan tersebut berdampak terhadap hubungan diplomasi kedua negara,” katanya.
Tak Perlu Khawatir
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menegaskan pemerintah tidak perlu khawatir atas adanya penarikan duta besar Belanda dan Brasil itu. “Pemerintah tidak perlu kendur dalam pelaksanaan hukuman mati untuk terpidana mati berikutnya,” katanya kemarin.
Hikmahanto kemudian memaparkan beberapa alasan atas sikap tersebut. Pertama, penarikan mundur tersebut harus dipahami sebagai ketidaksukaan negara sahabat terhadap kebijakan pelaksanaan hukuman mati. “Namun negara tersebut sangat paham, mereka tidak mungkin melakukan intervensi terhadap kebijakan hukuman mati Indonesia,” tegasnya.
Kedua, penarikan dubes merupakan respons Pemerintah Brasil atau Belanda terhadap tuntutan publik dalam negerinya. Publik dalam negeri pasti akan menuntut pemerintah mereka untuk memprotes keras kebijakan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Kemudian penarikan dubes tidak akan lama mengingat saat ini banyak negara yang justru membutuhkan Indonesia.
Misalnya saja kepentingan ekonomi Brasil ke Indonesia lebih tinggi dibandingkan kepentingan Indonesia terhadap Brasil. Menurut dia, Indonesia tidak akan diisolasi atas pelaksanaan hukuman mati. Untuk mengantisipasi dampak pemberlakuan hukuman mati, ada baiknya menteri luar negeri dan kepala perwakilan melakukan pendekatan dengan berbagai negara dan menjelaskan pelaksanaan hukuman mati tersebut.
“Jelaskan Indonesia mengalami darurat narkoba,” kata dia. Yang tak kalah penting, adanya hukuman mati dan pelaksanaannya merupakan wujud dari kedaulatan dan penegakan hukum suatu negara. Tidak ada negara asing yang berhak untuk melakukan intervensi. Hal ini sepanjang due process of law dipenuhi dan dapat dipastikan tidak adanya proses hukum yang sesat.
Rini agustina/ Alfian faisal/Dita angga/ Okezone/ant
(ars)