Kursi Panas Kapolri
A
A
A
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
Kursi jabatan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf kalla (JK) begitu panas. Saking panasnya, pengusulan calon Kepala Polri Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sesuai Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri justru menuai kontroversi.
Penyebabnya, Budi Gunawan ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 12 Januari 2015. Penetapan tersangka bagi calon kepala Polri tak pelak menimbulkan pro-kontra di ruang publik. Ada yang menuding KPK bermain politik lantaran pengumuman tersangka dilakukan sehari sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Dalam konferensi pers, KPK menyebut melakukan penyelidikan sejak Juni 2014 dan telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Bagi DPR, penetapan tersangka calon kepala Polri yang diajukan Presiden tidak menghalangi DPR melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Ternyata DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (15/1/ 2015) memberikan persetujuan calon kepala Polri untuk dilantik Presiden.
Padahal, publik berharap agar DPR tidak hanya memaknai undang-undang secara normatif, DPR perlu juga melihat secara jernih realitas proses hukum yang terjadi di KPK. Tanpa bermaksud melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menjadi salah satu dasar pertimbangan DPR, proses hukum di KPK semestinya bisa dijadikan pertimbangan bagi DPR untuk tidak memberikan persetujuan.
Bagi Presiden yang mengajukan calon kepala Polri berdasarkan usulan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebetulnya sudah punya sinyal dari KPK bahwa Komjen BG saat diajukan calon menteri telah diberi “stabilomerah”. Tetapi, karena ada surat dari Bareskrim Polri yang diajukan Kompolnas bahwa rekening BG tidak ada masalah, Presiden menganggap semuanya clear.
Sebetulnya Presiden punya waktu untuk menarik pencalonan itu sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan, tetapi tidak dilakukan. Akibat itu, saat ini bola panas ada di tangan Presiden yang boleh jadi akan menimbulkan kehebohan baru jika Presiden tidak mengambil langkah yang bijak. Akhirnya Presiden mengambil langkah sementara dengan mengangkat Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt) kapolri seraya menunda pencalonan Komjen pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri hingga waktu yang tidak ditentukan.
Jebakan Simalakama
Kontroversi pengusulan yang begitu kencang bergaung yang kemudian diamini DPR membuat publik bertanya kepada wakilnya di Senayan, apakah moralitas dan etika bernegara tidak menggelitik anggota DPR dalam memberikan persetujuan? Bagaimana jadinya jika institusi hukum sebesar Polri yang salah satu tugasnya menegakkan hukum dipimpin oleh sosok yang berstatus tersangka?
Apabila Presiden melantik calon kepala Polri dalam status tersangka, berarti ini sejarah baru dalam kenegaraan Indonesia. Kepala Polri baru terpaksa harus membagi perhatiannya. Selain melaksanakan tugas konstitusional seperti dimaksud Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, juga mengikuti proses hukum di KPK.
Perkara di KPK adalah urusan pribadi yang harus dituntaskan sembari melaksanakan tugas konstitusional. Apabila kembali menengok pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setiap menteri dan pejabat setingkat menteri diminta untuk mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Tiga menteri aktif semasa pemerintahan SBY langsung mengundurkan diri begitu ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK.
Tetapi, pemerintahan Jokowi justru berkutat pada persoalan penetapan tersangka KPK yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat. Apakah Presiden akan melantik atau melakukan langkah progresif dengan mengajukan calon lain? Beredar rumor bahwa Presiden tetap akan melantik kemudian menonaktifkan dan menunjuk pelaksana tugas kepala Polri.
Dua pilihan itu membuat Presiden harus hati-hati dari kemungkinan “jebakan simalakama”. Tidak mengikuti persetujuan DPR berarti Presiden mengingkari sendiri usulannya. Apabila melantik karena sudah mendapat persetujuan DPR, berarti siap-siaplah mendapat sorotan dan kecaman publik.
Presiden berada dalam situasi sulit antara memenuhi usulannya yang sudah disetujui DPR atau melihat realitas publik yang menganggap institusi Polri harus dipimpin oleh sosok yang tidak harus membagi perhatiannya menghadapi proses hukum. Ada juga yang berpendapat agar Presiden mengambil langkah ketiga, tidak melantik kepala Polri sambil menunggu berakhir masa bakti kepala Polri saat ini yang memasuki pensiun pada Oktober 2015.
Tetapi, pilihan ini juga tidak akan memberikan jalan keluar sebab kasus korupsi yang sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan atau penuntutan, KPK tidak berwenang menghentikan itu. Artinya, kasus tersebut akan sampai di pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan dijatuhi vonis apakah bersalah atau tidak bersalah. Publik berharap agar Presiden Jokowi konsisten pada janjinya yang akan membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Konsistensi KPK
Untuk menangani berbagai kasus korupsi, KPK harus tetap konsisten, berani, dan profesional agar tidak menimbulkan kegaduhan baru. Ada yang menuding bahwa penetapan tersangka calon kepala Polri sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR lantaran diboncengi kepentingan politis. Meski ini baru sekadar rumor, KPK harus menjawabnya dengan langkah tegas.
Betapa tidak, sejumlah tersangka belum ada tindak lanjutnya meski sudah berbulan-bulan. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam catatan akhir tahun 2014 yang ditulis Emerson Yuntho (KORAN SINDO, 31/ 12/2014) menyebut sedikitnya 11 tersangka korupsi belum ditahan meski sudah lebih dari tiga bulan berstatus tersangka. Malah ada tersangka korupsi yang sudah lebih dari tiga tahun, tetapi belum juga ditahan.
Menurut ICW, ada 11 kasus korupsi yang sudah lama dalam penyidikan, tetapi belum dilimpahkan ke penuntutan. Jangan sampai anggapan bahwa KPK “hanya mahir mengungkap kasus”, tetapi lamban menuntaskannya, menjadi senjata yang bisa dipakai menyerang balik. Maka itu, KPK tidak boleh lagi beralasan kekurangan penyidik.
Perhatian publik saat ini tertuju pada konsistensi KPK agar mempercepat proses penyidikan dan penuntutan. Setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka mempunyai hak untuk secepatnya menjalani proses hukum untuk mendapat kepastian apakah bersalah atau tidak bersalah. Kita tidak ingin kontroversi yang telanjur panas itu memengaruhi proses hukum. Jangan sampai proses hukum yang tertunda memunculkan pandangan untuk memereteli kewenangan KPK.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
Kursi jabatan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf kalla (JK) begitu panas. Saking panasnya, pengusulan calon Kepala Polri Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sesuai Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri justru menuai kontroversi.
Penyebabnya, Budi Gunawan ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 12 Januari 2015. Penetapan tersangka bagi calon kepala Polri tak pelak menimbulkan pro-kontra di ruang publik. Ada yang menuding KPK bermain politik lantaran pengumuman tersangka dilakukan sehari sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Dalam konferensi pers, KPK menyebut melakukan penyelidikan sejak Juni 2014 dan telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Bagi DPR, penetapan tersangka calon kepala Polri yang diajukan Presiden tidak menghalangi DPR melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Ternyata DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (15/1/ 2015) memberikan persetujuan calon kepala Polri untuk dilantik Presiden.
Padahal, publik berharap agar DPR tidak hanya memaknai undang-undang secara normatif, DPR perlu juga melihat secara jernih realitas proses hukum yang terjadi di KPK. Tanpa bermaksud melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menjadi salah satu dasar pertimbangan DPR, proses hukum di KPK semestinya bisa dijadikan pertimbangan bagi DPR untuk tidak memberikan persetujuan.
Bagi Presiden yang mengajukan calon kepala Polri berdasarkan usulan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebetulnya sudah punya sinyal dari KPK bahwa Komjen BG saat diajukan calon menteri telah diberi “stabilomerah”. Tetapi, karena ada surat dari Bareskrim Polri yang diajukan Kompolnas bahwa rekening BG tidak ada masalah, Presiden menganggap semuanya clear.
Sebetulnya Presiden punya waktu untuk menarik pencalonan itu sebelum DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan, tetapi tidak dilakukan. Akibat itu, saat ini bola panas ada di tangan Presiden yang boleh jadi akan menimbulkan kehebohan baru jika Presiden tidak mengambil langkah yang bijak. Akhirnya Presiden mengambil langkah sementara dengan mengangkat Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt) kapolri seraya menunda pencalonan Komjen pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri hingga waktu yang tidak ditentukan.
Jebakan Simalakama
Kontroversi pengusulan yang begitu kencang bergaung yang kemudian diamini DPR membuat publik bertanya kepada wakilnya di Senayan, apakah moralitas dan etika bernegara tidak menggelitik anggota DPR dalam memberikan persetujuan? Bagaimana jadinya jika institusi hukum sebesar Polri yang salah satu tugasnya menegakkan hukum dipimpin oleh sosok yang berstatus tersangka?
Apabila Presiden melantik calon kepala Polri dalam status tersangka, berarti ini sejarah baru dalam kenegaraan Indonesia. Kepala Polri baru terpaksa harus membagi perhatiannya. Selain melaksanakan tugas konstitusional seperti dimaksud Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, juga mengikuti proses hukum di KPK.
Perkara di KPK adalah urusan pribadi yang harus dituntaskan sembari melaksanakan tugas konstitusional. Apabila kembali menengok pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setiap menteri dan pejabat setingkat menteri diminta untuk mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Tiga menteri aktif semasa pemerintahan SBY langsung mengundurkan diri begitu ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK.
Tetapi, pemerintahan Jokowi justru berkutat pada persoalan penetapan tersangka KPK yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat. Apakah Presiden akan melantik atau melakukan langkah progresif dengan mengajukan calon lain? Beredar rumor bahwa Presiden tetap akan melantik kemudian menonaktifkan dan menunjuk pelaksana tugas kepala Polri.
Dua pilihan itu membuat Presiden harus hati-hati dari kemungkinan “jebakan simalakama”. Tidak mengikuti persetujuan DPR berarti Presiden mengingkari sendiri usulannya. Apabila melantik karena sudah mendapat persetujuan DPR, berarti siap-siaplah mendapat sorotan dan kecaman publik.
Presiden berada dalam situasi sulit antara memenuhi usulannya yang sudah disetujui DPR atau melihat realitas publik yang menganggap institusi Polri harus dipimpin oleh sosok yang tidak harus membagi perhatiannya menghadapi proses hukum. Ada juga yang berpendapat agar Presiden mengambil langkah ketiga, tidak melantik kepala Polri sambil menunggu berakhir masa bakti kepala Polri saat ini yang memasuki pensiun pada Oktober 2015.
Tetapi, pilihan ini juga tidak akan memberikan jalan keluar sebab kasus korupsi yang sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan atau penuntutan, KPK tidak berwenang menghentikan itu. Artinya, kasus tersebut akan sampai di pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan dijatuhi vonis apakah bersalah atau tidak bersalah. Publik berharap agar Presiden Jokowi konsisten pada janjinya yang akan membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Konsistensi KPK
Untuk menangani berbagai kasus korupsi, KPK harus tetap konsisten, berani, dan profesional agar tidak menimbulkan kegaduhan baru. Ada yang menuding bahwa penetapan tersangka calon kepala Polri sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR lantaran diboncengi kepentingan politis. Meski ini baru sekadar rumor, KPK harus menjawabnya dengan langkah tegas.
Betapa tidak, sejumlah tersangka belum ada tindak lanjutnya meski sudah berbulan-bulan. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam catatan akhir tahun 2014 yang ditulis Emerson Yuntho (KORAN SINDO, 31/ 12/2014) menyebut sedikitnya 11 tersangka korupsi belum ditahan meski sudah lebih dari tiga bulan berstatus tersangka. Malah ada tersangka korupsi yang sudah lebih dari tiga tahun, tetapi belum juga ditahan.
Menurut ICW, ada 11 kasus korupsi yang sudah lama dalam penyidikan, tetapi belum dilimpahkan ke penuntutan. Jangan sampai anggapan bahwa KPK “hanya mahir mengungkap kasus”, tetapi lamban menuntaskannya, menjadi senjata yang bisa dipakai menyerang balik. Maka itu, KPK tidak boleh lagi beralasan kekurangan penyidik.
Perhatian publik saat ini tertuju pada konsistensi KPK agar mempercepat proses penyidikan dan penuntutan. Setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka mempunyai hak untuk secepatnya menjalani proses hukum untuk mendapat kepastian apakah bersalah atau tidak bersalah. Kita tidak ingin kontroversi yang telanjur panas itu memengaruhi proses hukum. Jangan sampai proses hukum yang tertunda memunculkan pandangan untuk memereteli kewenangan KPK.
(bbg)