Macet yang Makin Ruwet
A
A
A
Persoalan besar di DKI Jakarta ada dua, yaitu kemacetan dan banjir. Tanpa menghilangkan persoalan lainnya–keamanan dan lingkungan misalnya–macet dan banjir memang menjadi sorotan semua pihak baik yang ada di DKI Jakarta ataupun di luar.
Persoalan macet bisa dikatakan sudah sangat akut dan membutuhkan solusi atau langkah yang berani. Namun dari gubernur satu ke gubernur yang lain, persoalan macet tampaknya masih jalan di tempat. Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengurai persoalan macet ini, namun setidaknya langkah yang dilakukan tidak ter-manage dengan baik. Sehingga hasilnya, langkah yang sudah diambil seolah percuma.
Ketika Joko Widodo (Jokowi) memimpin DKI Jakarta, seolah memberi harapan bahwa kemacetan segera sedikit demi sedikit teratasi. Pembangunan monorel yang konon bisa menjadi salah satu solusi hingga saat ini, ketika Jokowi sudah menjabat sebagai presiden pun masih mandek.
Pengadaan bus Transjakarta yang dianggap mampu semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas angkutan umum pun, justru berujung ke ranah hukum karena ada dugaan korupsi dari proyek pengadaan bus tersebut. Satu lagi adalah ada bus Kopaja AC yang lebih nyaman dan tidak menggunakan sistem setoran, sehingga penumpang akan merasa nyaman dan aman. Setali tiga uang, langkah tersebut juga seolah percuma.
Jika monorel masih tarik-menarik hingga belum jelas kelanjutannya, Transjakarta justru ke ranah hukum, dan Kopaja AC kembali seperti layaknya bus Kopaja lama yang tak nyaman dan tak aman. Dari beberapa langkah tersebut sangat terlihat, bagaimana pemerintah DKI Jakarta belum mempunyai perencanaan yang baik. Meminjam istilah Jawa, semua proyek tersebut hanya obor blarak atau hanya panas di awal saja, selanjutnya ya tidak jelas dan sama saja.
Hanya proyek MRT yang mungkin tidak jalan di tempat karena sudah memasuki proses pengerjaan fisik. Toh , itu pun belum menjamin apakah proyek MRT akan 100% selesai, jika mengaca pada kasus monorel yang juga sudah mempunyai tiang-tiang penyangga. Memang salah satu solusi awal mengatasi kemacetan yang tepat dan realistis adalah membenahi angkutan massal.
Butuh manajemen yang tepat dari perencanaan, pengawasan hingga proyeksi ke depan. Dalam hal perencanaan, bisa dikatakan pemerintah DKI Jakarta cukup lumayan meski mungkin ini masih bisa diperdebatkan. Dan yang paling jelas menjadi persoalan adalah bagaimana mengawasi perencanaan yang sudah jalan tersebut.
Proyek lanjutan monorel yang dilakukanpeletakanbatupertamadikawasanTugu 66juga mangkrak karena perencanaan dan pengawasan lemah. Begitu juga dengan proyek Transjakarta yang sangat jelas lemahnya pengawasan. Dan, yang paling terlihat adalah pengawasan proyek Kopaja AC. Bus angkutan umum sedang yang dijadikan model baru Bus Kopaja justru kembali ke penyakit lama. Awalnya Kopaja AC tak menggunakan setoran, kini kembali lagi menggunakan sistem setoran.
Konon yang wajib melewati jalur Transjakarta (busway ) sekarang juga melintas di jalan-jalan biasa layaknya bus Kopaja dan Metromini. Gaya mengendarai pun tetap saja seperti Kopaja lama yang membahayakan penumpang atau pengguna jalan yang lain. Nah , kita juga tidak mau kebijakan pelarangan kendaraan roda melintas dijalan- jalan protokol di Jakarta juga bernasib sama dengan monorel, Transjakarta, dan Kopaja AC.
Kebijakan baru dikeluarkan, namun dalam hal pengawasan juga tidak berjalan dengan baik sehingga justru menimbulkan persoalan lain. Memang mungkin mengurangi kemacetan jalan-jalan protokol Jakarta, namun bisa jadi justru memunculkan kemacetan di jalan-jalan nonprotokol. Masyarakat membutuhkan solusi yang progresif dan berani dengan perencanaan serta pengawasan yang optimal.
Pemerintah DKI Jakarta dibantu pemerintah pusat harus mempunyai kebijakan yang jelas sehingga dari tahun ketahun kemacetan di DKI Jakarta bisa dikurangi. Saat ini kita masih melihat kemacetan DKI Jakarta yang makin ruwet.
Semakin ruwet karena transportasi massal yang belum memadai, sedangkan jumlah kendaraan setiap tahun meningkat 12%. Kita berharap kemacetan DKI Jakarta tak semakin ruwet.
Persoalan macet bisa dikatakan sudah sangat akut dan membutuhkan solusi atau langkah yang berani. Namun dari gubernur satu ke gubernur yang lain, persoalan macet tampaknya masih jalan di tempat. Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengurai persoalan macet ini, namun setidaknya langkah yang dilakukan tidak ter-manage dengan baik. Sehingga hasilnya, langkah yang sudah diambil seolah percuma.
Ketika Joko Widodo (Jokowi) memimpin DKI Jakarta, seolah memberi harapan bahwa kemacetan segera sedikit demi sedikit teratasi. Pembangunan monorel yang konon bisa menjadi salah satu solusi hingga saat ini, ketika Jokowi sudah menjabat sebagai presiden pun masih mandek.
Pengadaan bus Transjakarta yang dianggap mampu semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas angkutan umum pun, justru berujung ke ranah hukum karena ada dugaan korupsi dari proyek pengadaan bus tersebut. Satu lagi adalah ada bus Kopaja AC yang lebih nyaman dan tidak menggunakan sistem setoran, sehingga penumpang akan merasa nyaman dan aman. Setali tiga uang, langkah tersebut juga seolah percuma.
Jika monorel masih tarik-menarik hingga belum jelas kelanjutannya, Transjakarta justru ke ranah hukum, dan Kopaja AC kembali seperti layaknya bus Kopaja lama yang tak nyaman dan tak aman. Dari beberapa langkah tersebut sangat terlihat, bagaimana pemerintah DKI Jakarta belum mempunyai perencanaan yang baik. Meminjam istilah Jawa, semua proyek tersebut hanya obor blarak atau hanya panas di awal saja, selanjutnya ya tidak jelas dan sama saja.
Hanya proyek MRT yang mungkin tidak jalan di tempat karena sudah memasuki proses pengerjaan fisik. Toh , itu pun belum menjamin apakah proyek MRT akan 100% selesai, jika mengaca pada kasus monorel yang juga sudah mempunyai tiang-tiang penyangga. Memang salah satu solusi awal mengatasi kemacetan yang tepat dan realistis adalah membenahi angkutan massal.
Butuh manajemen yang tepat dari perencanaan, pengawasan hingga proyeksi ke depan. Dalam hal perencanaan, bisa dikatakan pemerintah DKI Jakarta cukup lumayan meski mungkin ini masih bisa diperdebatkan. Dan yang paling jelas menjadi persoalan adalah bagaimana mengawasi perencanaan yang sudah jalan tersebut.
Proyek lanjutan monorel yang dilakukanpeletakanbatupertamadikawasanTugu 66juga mangkrak karena perencanaan dan pengawasan lemah. Begitu juga dengan proyek Transjakarta yang sangat jelas lemahnya pengawasan. Dan, yang paling terlihat adalah pengawasan proyek Kopaja AC. Bus angkutan umum sedang yang dijadikan model baru Bus Kopaja justru kembali ke penyakit lama. Awalnya Kopaja AC tak menggunakan setoran, kini kembali lagi menggunakan sistem setoran.
Konon yang wajib melewati jalur Transjakarta (busway ) sekarang juga melintas di jalan-jalan biasa layaknya bus Kopaja dan Metromini. Gaya mengendarai pun tetap saja seperti Kopaja lama yang membahayakan penumpang atau pengguna jalan yang lain. Nah , kita juga tidak mau kebijakan pelarangan kendaraan roda melintas dijalan- jalan protokol di Jakarta juga bernasib sama dengan monorel, Transjakarta, dan Kopaja AC.
Kebijakan baru dikeluarkan, namun dalam hal pengawasan juga tidak berjalan dengan baik sehingga justru menimbulkan persoalan lain. Memang mungkin mengurangi kemacetan jalan-jalan protokol Jakarta, namun bisa jadi justru memunculkan kemacetan di jalan-jalan nonprotokol. Masyarakat membutuhkan solusi yang progresif dan berani dengan perencanaan serta pengawasan yang optimal.
Pemerintah DKI Jakarta dibantu pemerintah pusat harus mempunyai kebijakan yang jelas sehingga dari tahun ketahun kemacetan di DKI Jakarta bisa dikurangi. Saat ini kita masih melihat kemacetan DKI Jakarta yang makin ruwet.
Semakin ruwet karena transportasi massal yang belum memadai, sedangkan jumlah kendaraan setiap tahun meningkat 12%. Kita berharap kemacetan DKI Jakarta tak semakin ruwet.
(ars)